Mematahkan Stereotip Buruk, Menebar Asa dan Semangat untuk Generasi Penerus

Sampai detik ini, stereotip tentang kehidupan santri yang asal-asalan, kuno, monoton, gaptek, dan lain-lain masih sangat umum ditemui pada banyak perbincangan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari cara pandang masyarakat itu sendiri akan sistem pendidikan yang berjalan di pesantren. Namun, pada dasarnya, setiap unsur yang tumbuh dalam sistem pendidikan pesantren ini tidak pernah terlepas dari lima panca jiwa pondok; keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah, serta kebebasan. Kelima nilai-nilai ini saling berkesinambungan, saling melengkapi, dan saling menguatkan satu-sama lain.

Mari sejenak memikirkan bagaimana hebatnya sistem pendidikan yang berjalan di pondok pesantren; utamanya pesantren dengan basis mu’allimien yang sudah sejak lama diakui setara dengan sekolah-sekolah formal negeri lainnya. Santri, dengan segala pengalamannya selama mengenyam pendidikan di pesantren adalah bagian penting untuk terwujudnya generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga cerdas dalam pola pikir dan tingkah-lakunya dalam bersosial.

Dulu, Islam hampir menguasai separuh bagian bumi dengan kejayaannya. Sekitar tahun 750 – 1258 M., Islam berada dalam fase multi-ekspansi dan integrasi yang begitu gemilang. Pada periode ini, Islam membentangkan sayapnya hingga ke Afrika bagian utara dan Spanyol bagian barat. Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Haitsam, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, serta Jabir Al-Hayyan merupakan beberapa nama masyhur yang mengangkat nama Islam dengan segala bentuk kontribusinya dalam pengembangan pendidikan dan kebudayaan. Sejarah The Golden Age of Islam ini selayaknya bisa menjadi motivasi dan inspirasi untuk generasi-generasi penerus bangsa; khususnya mereka yang berada di dalam pesantren – di mana semangat juang dari panca jiwa pondok dapat menjadi bekal untuk kembali menaklukkan dunia; tentu dengan syarat cerdas secara intelektual plus cerdas dalam adab bersosial.

Hal inilah yang sempat saya sampaikan di tengah-tengah sharing session bersama para santri di Pondok Pesantren Riyadhul Huda, Bogor. Pada kesempatan ini, saya mendapat kepercayaan untuk menjadi pembicara dalam salah-satu rangkaian acara akbar pondok bertajuk English Week 2022. Salah-satu pengurus pondok – yang kebetulan adalah teman satu angkatan saya dulu – meminta saya untuk memberikan materi tentang peningkatan kepercayaan diri dalam berbahasa Inggris. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung mengiyakan tawaran tersebut.

Pondok Pesantren Riyadhul Huda, Bogor, merupakan pondok pesantren yang berbasis mu’allimien; sama persis seperti pondok pesantren tempat saya menimba ilmu dulu. Pendiri dari pondok pesantren ini ternyata juga seorang alumni dari pondok pesantren saya tadi. Sistem pendidikan yang menjadi ciri khas pada model pendidikan mu’allimien adalah penggunaan bahasa asing (Arab dan Inggris) dalam kegiatan sehari-harinya; termasuk kegiatan belajar-mengajar dan sejenisnya. Karena hal inilah, kemampuan berbahasa Arab dan Inggris (atau salah-satunya) mutlak harus dimiliki oleh para santri. Pada setengah atau satu tahun pertamanya, santri dengan status ‘baru’ memiliki keringanan untuk tetap menggunakan Bahasa Indonesia (dengan tetap memperhatikan beberapa batasan) dalam komunikasi aktif hariannya. Pada setengah atau satu tahun berikutnya, mereka akan mendapat hak setara dengan santri-santri terdahulu; di mana berbahasa asing menjadi tanggung-jawab penuh sebagai bentuk disiplin terhadap diri dan lingkungan.

Salah-satu fasilitas yang diberikan oleh pondok untuk mengembangkan minat dan bakat santri dalam berbahasa asing adalah pengadaan festival bahasa tahunan; biasanya disebut Usbu’ul Lughah al-Arabiyah atau English Week; atau Semarak Dua/Tiga Bahasa pada beberapa momentum istimewa. Beberapa kegiatan yang pasti ada di dalam acara-acara ini adalah perlombaan, seminar, dan kelas bahasa. English Week 2022 yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Riyadhul Huda dua bulan lalu ini memiliki agenda Short Learning yang diadakan setiap hari selepas jam makan siang.

Saya sempat dibuat bingung akan materi seperti apa yang harus saya bawakan. Perkara yang satu ini, saya benar-benar dibuat kewalahan dalam berpikir; mengingat ini merupakan kali pertama saya menjadi pembicara di luar instansi saya sendiri. Beban akan nama baik pondok pesantren, nama baik kampus, nama baik yayasan, serta nama baik masyarakat daerah tiba-tiba saja seperti jatuh menimpa satu per satu. Di sisi lain, saat itu saya belum tahu pasti seperti apa suasana tempat, peserta, pembawa acara, moderator, dan lain sebagainya. Namun akhirnya, sebuah wise word; experience is the best teacher! – yang dulunya sering menjadi sajian dalam ujian lisan Bahasa Inggris di pondok – akhirnya muncul sebagai sebuah solusi.

Hari itu, saya mendapat bagian materi ‘How to Speak English Confidently’ dengan durasi sesi sekitar satu jam. Dalam kesempatan ini, saya hanya membawakan tujuh salindia materi; satu cover pembuka, satu cover penutup, serta satu tips pada masing-masing salindia.

Sebab saya berasal dari pesantren yang berbasis mu’allimien pula, peminat Bahasa Inggris pula, menjadi pengurus di bagian dengan program yang sama pula; maka materi yang saya bawakan murni berdasarkan pengalaman yang sudah dilewati. Saat moderator mempersilahkan saya untuk berbicara, 60 menit kesempatan untuk menginspirasi pun dimulai.

Kesederhanaan itu terlihat. Aula berbentuk persegi panjang itu memiliki dua sekat pembatas seperti pintu berbentuk tirai. Pembatas ini yang kemudian membagi ruangan tersebut ke dalam tiga bagian. Bagian paling depan diisi oleh saya sebagai pembicara bersama sang moderator; serta beberapa santri yang berbaris rapi sampai ke ruangan bagian tengah. Setelah baris ini, ada sekitar 2-3 meter jarak yang memisahkan tempat santriwati di bagian paling belakang.

Melihat suasana ini, saya teringat betul dengan masa-masa saat menjadi santri dulu. Semangat, antusias, ambisi, serta senyuman mereka dalam interaksi aktif pada satu jam pertemuan ini membuat saya yakin bahwa stereotip buruk tentang pondok pesantren di Indonesia saat ini memang ada – tapi mungkin berasal dari mereka yang belum mengerti dan tidak pernah tahu bagaimana lelah pada setiap langkah, tangis serta canda-tawa pada setiap momen, serta rasa rindu akan pelukan orang tua, harus terorganisir dengan baik bersamaan dengan harapan indah dan cita-cita tinggi yang harus segera dicapai.

Melihat semangat 300-an santriwan dan santriwati ini pula, saya teringat betul akan perjuangan saat masih sangat terbata-bata dalam membaca, mengeja, dan berbicara Bahasa Inggris dulu. Selain memang karena lidah belum begitu akrab dengan pelafalan bahasa internasional ini, peminat Bahasa Inggris juga tidak sebesar peminat Bahasa Arab. Hal ini disebabkan karena kebutuhan berbahasa Arab lebih dominan dalam kegiatan akademik. Namun, dengan semua pengalaman yang ada, saya sangat bersemangat untuk meyakinkan mereka bahwa memiliki kemampuan berbahasa Inggris adalah satu privilege untuk seorang santri. Di hadapan mereka, saya sedikit-banyak mengaitkan sejarah The Golden Age of Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dengan kemampuan berbahasa Inggris pada zaman ini.

“Dulu, dunia pernah dibuat takjub dan tunduk atas keberanian, kecerdasan, serta karisma orang-orang Islam. Melalui pengembangan pendidikan dan kebudayaan yang tidak pernah terlepas dari perhatian pemerintah; orang-orang Islam pada zamannya bertranformasi menjadi satu-kesatuan yang padu. Mereka berhasil menuliskan satu-dua paragraf sejarah penting; bahwa dengan pendidikan yang baik; menaklukkan dunia dari ujung timur Asia hingga ujung barat Amerika bukanlah suatu hal yang mustahil. Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya, Al-Kindi dengan filsafatnya, Al-Biruni dengan sainsnya, serta masih banyak lagi tokoh-tokoh masyhur lainnya adalah bukti nyata dari masa lalu bahwa kita – yang sekarang berkumpul bersama di tempat ini – memang dilahirkan untuk memimpin dunia menuju peradaban umat yang sempurna. Dengan kemampuan berbahasa Inggris yang baik, kesempatan kita untuk keluar dari tempat tinggal kita; baik untuk melanjutkan masa studi atau menjadi orang di negeri sana akan terbuka lebih lebar lagi. Membangun peradaban, menebar benin kebaikan, serta menjadi khalifah terbaik di muka bumi; li’izzil islam wal muslimin. Jadi, Bahasa Inggris ini merupakan satu di antara banyak kunci penting untuk membuka pintu menuju peradaban itu. Masa depan yang baik dimulai dari setiap langkah kecil kita saat ini; so kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? If the people before us can not make that happen; then today is our time to prove it. So, keep going and never surrender!” (22/11/2023)

Sesi foto bersama dengan pengurus organisasi pada bidang pengembangan bahasa.

Pada hakikatnya, tidak ada yang kurang – bahkan salah – dari dunia pendidikan dengan sistemnya yang berjalan di pondok pesantren. Stereotip buruk yang selama ini dicap dan dinisbatkan pada satu lembaga pendidikan ini muncul akibat ketidak-tahuan masyarakat akan betapa besarnya pengaruh dari nilai-nilai panca jiwa pondok untuk bekal para santrinya saat terjun ke tengah-tengah masyarakat nanti. Bisa saja mereka mengetahui, namun tetap tidak mengerti karena belum pernah mengalami. Barangkali, setiap kepala harus memikirkan kembali sejauh apa peran yang diambil oleh pondok pesantren dengan para santrinya dalam membangun peradaban bangsa sepanjang sejarah dicatat.

Dengan sistem core & integrated curriculum yang berjalan di pondok pesantren; basis mu’allimien yang mewajibkan para santrinya untuk berbahasa resmi (Arab-Inggris) dalam setiap kegiatan hariannya seharusnya sudah mutlak dapat mematahkan stereotip buruk itu.

Mari buang stereotip buruk, bangun kepercayaan diri mereka, kemudian tebar asa serta semangat untuk Indonesia yang lebih baik lagi! Jika tidak bisa seutuhnya di hadapan ratusan-ribuan orang, mari memulai dari diri kita masing-masing – keluarga – kerabat – hingga lingkungan tempat kita berada.

Jika tidak bisa membuat – setidaknya jangan merusak.

It’s time to shine!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!