DKI Jakarta, 2024
“Jangankan percaya, kata mayat hidup saja sudah tak masuk akal, lantas bagaimana saya bisa menganggukkan kepala untuk cerita konyol ini?”
Riko, lelaki kepala tiga yang saat ini sedang bekerja di Jakarta itu memalingkan mukanya. Ia sudah nampak lelah meladeni cerita yang terus diulang-ulang oleh pelanggan setianya itu. Ya, di pinggir jalan yang menghubungkan dua area kumuh kampung dan perkotaan itu, Riko memiliki sebuah toko kelontong tempatnya menjajalkan beberapa kebutuhan pasar. Setiap senja sebelum gelap menidurkan siang yang semangat, seorang pelanggan setianya selalu datang menghampiri. Pelanggan itu selalu datang tepat waktu—tidak kurang dan tidak lebih. Riko, yang memang selalu membuka toko kelontongnya seusai matahari lengser, tidak sekalipun pernah mendapati pelanggan yang satu ini mampir di waktu yang berbeda; hanya pada saat semburat cahaya merah berkilau di cakrawala barat. Selalu.
Jono, begitu Riko memanggilnya. Nama itu sebetulnya Riko sebut asal-asalan sebab si pelanggan setianya memang sedikit tidak waras. Jangankan memperkenalkan diri, si Jono pun tidak pernah mau untuk sekadar diajak berbincang tentang hal-hal yang menurut Riko ringan lagi masuk akal. Pernah sekali, air dari panci yang baru Riko panaskan ia siram ke arah Jono yang terus-terusan mengoceh perkara mayat-mayat yang katanya bertengger di atas kepalanya itu. Sial, ternyata saat itu si Jono sudah menghilang dari pandangan. Selalu saja begitu, Jono punya kebiasaan menghilang tepat sesudah amarah Riko memuncak.
Begitulah hari-hari si Riko berjalan. Saat ini ia menjadi narahubung dari kontraktor raksasa yang menginginkan lahan seluas mungkin di tempat tinggalnya itu. Tentu saja, dengan tumpukan uang yang sudah ditimbun ke dalam otak si Riko, para kontraktor itu sepenuhnya yakin bahwa misi mereka akan segera berhasil. Apalagi di lahan seluas dua kali stadion bola itu hanya dihuni oleh kurang lebih 30-an kepala keluarga yang semuanya merupakan para pendatang. Dalam pikiran kejamnya, para kontraktor itu bisa saja langsung menggusur hunian buluk di sana dan mengambil alih semua lahan. Namun, sebab mereka masih merasa was-was akan hukum, akhirnya si Riko lah yang mereka utus diam-diam.
“Jadi, seperti ini bapak-ibu sekalian, sekali lagi saya jamin bahwa dipindahkannya kita dari sini bukan berarti kita diusir dan kudu mencari tempat tinggal baru. Para pengusaha yang tempo hari menemui saya itu sudah menyiapkan rumah susun di kota sana untuk kita tempati. Jadi, tidak perlu khawatir tentang ini dan itu.”
Malam ini Riko kembali mengundang beberapa kepala keluarga dari penghuni lahan itu sembari menyeduhkan secangkir teh hangat dan menyodorkan kudapan ala kadarnya. Berulang, Riko selalu menjelaskan hal yang sama kepada mereka tentang rencananya itu. Lahan akan diambil alih oleh pengusaha, para penduduk akan mendapatkan tempat tinggal baru, serta tentunya hunian tersebut akan jauh lebih layak daripada yang saat ini mereka tempati.
“Paman, bolehkah aku bertanya?” tanya seorang bocah; namanya Alif, anak yatim piatu yang juga ikut tinggal di sana dan menjadi asisten seorang pemulung. Alif adalah satu-satunya anak kecil di area pemukiman tersebut yang kebetulan mengenyam pendidikan di sebuah sekolah dasar di kampung seberang sana.
“Iya, Alif?” Riko langsung mengarahkan pandangannya kepada Alif; seakan ia juga berharap percakapan malam itu tidak berakhir begitu saja dengan keputusan yang tetap menggantung.
“Paman, apakah kalau aku setuju dengan rencana paman aku juga akan mendapatkan banyak lembaran uang merah seperti yang paman terima dari om-om berdasi yang menemui paman di pinggir jalan sana?” Alif berucap dengan polos sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah jalan raya tepat di atas pemukiman tersebut.
Seketika mata Riko melotot seperti tidak siap menerima pertanyaan sekaligus kenyataan itu. Riko tidak pernah membayangkan bahwa pertemuannya siang itu dengan sang kontraktor benar-benar terlihat oleh orang. Ia juga tidak habis pikir mengapa Alif bisa mengerti konsep serah terima tumpukan uang pelicin itu sedang ia masih seumuran jagung di pagi hari.
“Aaa.. aa.. Alif? Uang apa?” Riko lanjut berpura-pura dengan gemetar.
Namun kepalang tertangkap basah kuyup oleh seorang bocah, semua pasang mata pun langsung menyoroti tajam pada Riko. Belasan pasang telinga yang kala itu mendengar langsung pertanyaan dari Alif akhirnya langsung bergegas berdiri dan meninggalkan Riko dengan teh berasap yang bahkan belum tersentuh sama-sekali. Beberapa sembari mencemooh niat buruk Riko ini kemudian berjalan pulang.
“Sudahlah mas Riko, kami tidak perlu tempat tinggal yang lebih bagus. Di sini saja sudah cukup bagi kami. Yang terpenting semuanya aman dan kami bisa tinggal dengan nyaman.”
“Sudah ku duga pasti ada yang tidak beres dengan rencana ini. Kau yang betul saja. Pendatang kok malah menentang!”
Plak!
Pak Arman, orang tua asuh Alif langsung melayangkan telapak tangan kanan kerasnya ke wajah Riko. Tak ada kata terucap, hanya pandangan mata yang begitu tajam tersorot. Tak satu pun ada yang peduli pada diri Riko, semuanya bahkan sudah mengepalkan tangannya masing-masing guna bersiap bila saja Riko berani menggertakkan suara atau bergerak walau sejengkal saja.
“Dasar gila! Cepat beresi warung kelontong tak jelasmu itu dan segera pergi dari sini! Ajak sekalian pelanggan kosong-mu itu agar tak lagi membuat kebisingan!” bu Siti, orang yang terkenal paling garang itu kemudian menunjuk-nunjuk lahan kosong di samping tempat tinggal si Riko dengan mata melotot.
Malam itu, langit yang semula tenang dengan gugus bintang-bintang kemudian berubah menjadi jutaan pasang mata yang seakan memandangi Riko dengan tatapan amarah. Cahaya rembulan yang lembut dengan dekap dingin dari semilir angin melambai-lambai menyapa dedaunan; kemudian berubah seketika seakan sedang menyoraki Riko dan menenggelamkan pikirannya ke dalam rasa aneh. Ketakutan, malu, serta sedih yang dibungkus dengan amarah dan dendam kini berkecamuk dalam diri Riko.
“Alif!” Teriaknya keras dalam hati.
“Baiknya memang sudah begini. Tak perlu merasa kesal atau dendam, beruntung saja Alif melihat kejadian itu dan mengungkapnya dengan polos di hadapan warga. Jadinya kamu tak perlu mengorbankan apa-apa. Ingat, uang itu tidak sebanding dengan 100 mayat hidup yang mungkin akan betul-betul bertengger di atas kepalamu itu!” si Jono tiba-tiba hadir dan ikut duduk di sebelahnya.
“Kau lagi, kau lagi!” Teriak Riko dengan penuh emosi.
“Jangankan percaya, kata mayat hidup saja sudah tak masuk akal, lantas bagaimana saya bisa menganggukkan kepala untuk pernyataan konyol itu, hah?” Kali ini Riko benar-benar berteriak. Si Jono tiba-tiba pergi dan menghilang dari pandangan; sedang warga hanya menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan langkah kakinya untuk segera tidur memeluk mimpi.
“Alif, Alif, Alif!” rintih suara pelan Riko bergemuruh. Ia memandangi anak kecil itu dengan tatapan penuh dendam.
Riko mulai bangkit dari duduknya. Rasa sakit sebab tempelengan pak Arman tadi sudah tak lagi ia rasakan. Malam ini adalah kesempatan terakhir Riko untuk membawa seluruh penduduk di sana sesuai perjanjian dengan sang kontraktor. Bila berhasil, Riko sudah pasti mendapatkan timbunan uang itu dengan sangat bahagia. Namun, tidak hanya imbalan, Riko tentunya juga harus menerima risikonya jika gagal. Menderita.. atau mati.
Langit yang saat itu gelap kemudian menjadi merah panas seketika. Sesaat sebelum sang fajar membangunkan pagi, rumput-rumput mungil, dedaunan, ranting, gerobak sampah, hingga rumah-rumah warga merah menyala. Sang api melahap tanpa ampun.
Daerah Khusus Jakarta, 2044
“Mengapa ia bisa jadi seperti itu?” tanya seorang wartawan kepada seorang petugas kepolisian yang saat itu sedang mengawasi pembangunan sebuah pabrik swasta.
“Dulu, ia kehilangan tetangga-tetangganya sebab ditipu oleh seorang kontraktor. Awalnya, ia menolak sebab tempat ini sudah menjadi rumahnya dan rumah-rumah orang-orang yang terusir dari pembebasan lahan di beberapa area seberang. Namun, sepertinya bertumpuk-tumpuk lembar uang berhasil menggoyahkan prinsipnya itu. Apalagi, katanya ia dijanjikan dengan sebuah lahan baru yang juga telah dibebaskan di hulu sana untuk mereka tempati secara gratis. Alhasil, ia pun menerimanya dengan tangan terbuka dan berhari-hari mencoba meyakinkan penduduk yang tinggal di area itu untuk menerima tawaran emas tersebut. Dua minggu kemudian, meski harus melewati beragam cemoohan dan pertengkaran dengan sesama warga di sana, lahan tersebut kemudian benar-benar berhasil didapatkan oleh kontraktor itu.” jelas petugas itu.
“Hmm, tetapi kenapa kemudian ia menjadi gila seperti sekarang? Pasti ada yang salah dengan dirinya?” sang wartawan kembali menanyakan, kali ini dengan nada yang agak serius dan makin penasaran.
“Sepertinya ia bukan sepenuhnya gila hanya seperti yang terlihat sekarang. Dulu, setelah bertemu dengan utusan dari sang kontraktor, ia terlihat semringah sekali. Ke sana ke sini ia pamerkan lembaran-lembaran putih yang ia tempel di gubuk-gubuk milik warga. Ya, kertas-kertas itu semacam surat bertanda-tangan dengan beberapa penjabaran poin tentang perjanjian yang sudah dibuat. Sejak saat itu, kelakuannya makin hari makin aneh saja. Tertawa sendiri, menangis sendiri, kadang berdiri menghadap rembulan semalaman, kadang tidur di bawah terik matahari seharian, dan lain-lain. Yang paling aneh, ia bertindak seakan-akan memiliki warung kelontong sebagai usahanya. Anehnya, setiap matahari tenggelam dan sinar lampu-lampu bohlam warga mulai hidup meredup, ia kemudian akan mengobrol sendiri dengan pelanggan ghaibnya. Seakan-akan ada seorang pelanggan yang selalu menghampirinya di waktu itu namun tidak pernah membeli apa-apa. Tiba-tiba saja, ia mengagetkan warga dengan berteriak, “Jangankan percaya, kata mayat hidup saja sudah tak masuk akal, lantas bagaimana saya bisa menganggukkan kepala untuk cerita konyol ini?”. Kalimat ini hampir didengar oleh penduduk setiap waktu. Dari sinilah kemudian orang-orang menganggapnya sudah tak waras lagi. Kalau kata orang-orang, ia mungkin sudah tertekan sebab harus dihadapkan pada dua pilihan sulit di hidupnya. Orang-orang juga menganggap kalau yang hadir di setiap senja itu mungkin memang nyata tetapi tidak terlihat. Menurut kebanyakan orang yang kenal dekat dengan dia sebelumnya, mungkin itu adalah sisi dirinya yang baik yang selalu datang untuk mengingatkan sisi lain dari dirinya yang sudah terpengaruh oleh niat dan pikiran jahat.”
“Lalu, mengapa ia masih di sini?” sang wartawan itu kembali bertanya, kali ini ia sudah sigap dengan sebuah tablet tipis dan pulpen elektronik di kedua tangannya.
“Oh, iya! Tentu saja, kontraktor itu ternyata lebih licik dan lebih kejam daripada yang dibayangkan. Malam itu, setelah rencana jahatnya dengan sang kontraktor ketahuan, amarahnya memuncak dan tidak bisa lagi dipendam. Tiba-tiba saja saat semuanya sedang terlelap, api menyambar area itu dan melahap habis semuanya. Untung tidak untung, saat itu ia baru saja dihajar hingga babak belur oleh tangan-tangan beton sang kontraktor dan kawanannya. Delapan mobil tronton yang direncanakan akan mengangkut warga akhirnya benar-benar bisa digunakan. Warga sebetulnya cukup ragu, mereka menuding bahwa ini adalah hasil perbuatannya atau kontraktor itu. Namun, melihat sudah tidak ada yang tersisa, akhirnya para warga pun mau tidak mau mengikuti rencana awalnya dengan harapan memang benar-benar ada lahan pengganti yang sudah dijanjikan. Total ada 102 penduduk, namun si anak kecil yang membocorkan rahasianya dengan sang kontraktor malam itu menghilang entah ke mana. Alhasil ia pun ditugaskan untuk terakhir kalinya mencari sang anak kecil itu sampai ketemu. Nahas, 100 nyawa kemudian merenggang sia-sia saat mobil tumpangan itu terperosok ke dalam jurang.”
“Sungguh kasihan! Omong-omong, siapa nama orang gila itu?”
“Namanya om Riko, kalau orang yang selalu datang sebagai tamu ghaibnya di kala senja itu namanya om Jono. Namun, Riko ataupun Jono sebenarnya satu orang. Riko itu nama kecilnya, sedangkan Jono adalah nama yang tertera di tanda-tangan surat kesepakatan itu. Mungkin Riko sebelumnya sudah memalsukan namanya kepada sang kontraktor. Hasil investigasi kemudian berhasil mengungkap dalang di balik kebakaran besar malam itu beserta kecelakaan yang ternyata memang disengaja sebagai usaha untuk menghilangkan jejak. Riko yang membakar, sang kontraktor itu yang merencanakannya; termasuk kecelakaan malam itu.”
Percakapan terhenti. Ada bayang-bayang yang belum bisa diraih pasti oleh sang wartawan. Ia kemudian melihat nama sang petugas kepolisian di dada kanannya; “Alif!”