Dua tahun pasca peristiwa proklamasi kemerdekaan, Rentjana Pendidikan 1947 menjadi kurikulum pendidikan pertama di Indonesia dengan istilah Leerplan (bahasa Belanda). Berada dalam pergolakan dan kekacauan akibat agresi militer Belanda, rancangan awal kurikulum ini masih sangat terbatas pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat, serta sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Lima tahun berikutnya, pemerintah melakukan penyempurnaan dengan menghadirkan Rentjana Pendidikan Terurai 1952 yang mengatur tentang keharusan adanya keterkaitan pada masing-masing mata pelajaran dengan nilai-nilai kehidupan yang ada di masyarakat. 12 tahun kemudian, pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keterampilan, serta jasmani menjadi titik fokus pengembangan kurikulum Rentjana Pendidikan 1964. Tak berselang lama, empat tahun berikutnya, kurikulum pendidikan kembali mengalami pengembangan. Kurikulum 1968 menawarkan korelasi baik antara jenjang pendidikan rendah menuju jenjang pendidikan selanjutnya.
Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun pada masa Orde Baru kemudian membawa perubahan yang cukup signifikan. Kurikulum 1975 saat itu sudah memiliki perincian penggunaan metode, materi, serta tujuan pengajaran. Saat hampir menyentuh usia satu dekade, Kurikulum 1984 hadir menggantikan kurikulum sebelumnya yang dianggap terlalu lambat dalam merespon laju perkembangan masyarakat. Selanjutnya, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 hadir sebagai hasil kombinasi dua kurikulum sebelumnya. Pada pengembangan kurikulum ini, pembagian jurusan SMA menjadi program IPA, IPS, dan Bahasa mulai diberlakukan.
Abad ke-21 menjadi titik pengembangan super cepat dari kualitas kurikulum pendidikan negeri. Tahun 2004, KBK atau Kurikulum Berbasis Kompetensi menjadi pengganti dari Kurikulum 1994. Dua tahun berikutnya, kurikulum pendidikan kembali berganti menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP 2006. Pada tahun 2013, K-13 atau Kurikulum 2013 hadir dengan empat aspek utama — pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku — dan menggantikan KTSP. Pada akhirnya, Kemdikbudristek RI mengumumkan hadirnya Kurikulum Merdeka pada Februari 2022 lalu sebagai respon cepat dan tanggap untuk menjawab problematika dari krisis pembelajaran di Indonesia. Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan kepada para pendidik untuk menciptakan kualitas pembelajaran yang responsif serta inklusif untuk kebutuhan belajar peserta didik beserta lingkungannya.
Pertanyaannya, setelah sepuluh kali berganti kurikulum, apakah kualitas pendidikan Indonesia sudah sesuai harapan? Apakah kemudian hadirnya kurikulum terbaru ini sudah berhasil menjawab problematika-problematika pendidikan negeri dengan segala tanda tanyanya? Menanggapi hal ini, saya telah membicarakannya bersama mahasiswa-mahasiswi baru pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2023.
Akhir September lalu, saya mendapatkan kesempatan berharga untuk menjadi salah satu pembicara pada sebuah acara jurusan. Legodee atau Let’s Go Out with DEE ini merupakan acara masa keakraban jurusan atau yang lebih masyhur dikenal dengan istilah makrab. Berlangsung selama dua hari dua malam di sebuah villa di Puncak, Bogor; saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembicara pertama saat itu. Sebagai pemateri pertama yang mengisi ruang rangkai acara, saya menyadari betul bahwa kesan pertama pada titik ini sangat amat menentukan. Di lain sisi, status mereka yang masih sangat dini di bangku perkuliahan juga menuntut saya untuk mempersiapkan sesuatu yang berbeda; sebuah materi yang penuh dengan isi namun tetap ringan untuk dicerna.
Setelah berpacu dengan desakan hari yang semakin matang, saya pun memutuskan untuk membuat materi malam itu menjadi sangat sederhana dengan rencana penyampaian yang interaktif. Saya membuka sesi materi dengan meminta mereka untuk mengambil swafoto pada kamera ponselnya masing-masing. Cukup unik memang, tapi hal ini saya lakukan untuk memantik semangat mereka yang mungkin sebagian kecil sudah layu setelah dua jam perjalanan Ciputat-Bogor.
Sesaat setelah sesi pengambilan swafoto itu, saya kemudian menyampaikan beberapa patah kata — yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan sederhana;
“Sebagai mahasiswa pendidikan, kira-kira apa sih problematika pendidikan di negeri kita yang teman-teman rasakan, sadari, dan bisa diungkapkan di sini?”.
Saya kemudian mempersilakan siapa saja yang yang ingin maju dan berkomentar. Saat itu, ada beberapa mahasiswa yang kemudian dengan berani dan percaya diri maju ke depan untuk menyampaikan pendapatnya. Setidaknya, masalah gaji guru yang belum sesuai harapan dan akses pendidikan yang belum merata menjadi bahasan yang cukup dominan.
Gaji untuk Seorang Pahlawan Peradaban
Sudah bukan rahasia lagi jika nasib para guru di Indonesia memang sering digantung bebas dengan kecilnya gaji yang mereka terima. Sebuah grafik paparan data terbaru pada situs databoks menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru di Indonesia hanya berkisar pada angka 2,4 juta rupiah setiap bulannya. Angka tersebut sangat jauh bila dibandingkan dengan Singapura yang rata-rata gaji guru di sana bisa sampai 11,9 juta rupiah setiap bulannya. Dari lima negara yang ter-indeks (Singapura, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia), gaji guru untuk ‘pahlawan peradaban’ di negeri kita tercinta ini ternyata tenggelam di posisi paling dasar.
Tentu saja, problematika yang mungkin dianggap sepele ini setidaknya mampu membuat calon-calon pendidik bangsa di masa yang akan datang merasa khawatir — termasuk saya. Beberapa orang mungkin biasa melempar pernyataan bahwa mendidik itu harus ikhlas sepenuh hati; tidak perlu memikirkan tinggi atau rendahnya upah; karena mendidik adalah tentang kebaikan sepanjang hayat. Hanya saja, pernyataan tersebut tidak selalu diiringi dengan fakta bahwa setiap guru juga memiliki tanggungjawab luar biasa untuk kehidupannya, kehidupan keluarganya, hingga kehidupan ber-masyarakat-nya di mana materi menjadi penunjang dasar yang sangat menentukan. Meninggikan sosok guru sebagai seorang pahlawan artinya menempatkan sosok guru pada posisi yang mulia; sejahtera jiwa dan raga misalnya. Probabilitas ini sepertinya belum cukup tinggi untuk sekedar diterawang.
Akses atas Pendidikan yang Layak dan Berkualitas
Problematika yang terpapar pada poin pertama di atas mungkin (secara tak kasatmata) menyebabkan hadirnya problematika kedua ini. Akses terhadap pendidikan yang berkualitas secara merata mungkin seringkali dipertanyakan. Bonus demografi Indonesia 2045 yang akan segera hadir patut mendapatkan perhatian lebih. Pada tahun tersebut, Indonesia diprediksi akan memiliki 70% penduduk berusia produktif (15-64 tahun) dan 30% tidak produktif (<14 tahun / >65 tahun). Pertanyaannya, apakah kuantitas SDM besar tersebut (>226 juta penduduk Indonesia saat itu) bisa dipastikan sejalan dengan kualitas yang diharapkan?
Pertanyaan tersebut mungkin bisa dijawab dengan baik bilamana jaminan terhadap akses pendidikan yang berkualitas benar-benar ada. Nyatanya, hari ini, ketertinggalan kualitas dan kuantitas pendidikan di daerah 3T sangat patut untuk mendapatkan perhatian lebih. Perlu disadari bersama bahwa perhitungan bonus demografi yang akan terjadi nanti melibatkan semua wilayah di Indonesia; termasuk daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. SDM yang ada saat ini ataupun nanti memang tidak seyogianya dapat diandalkan. Namun, pendidikan yang baik mungkin bisa memberikan sudut pandang yang berbeda; dari segi proses yang saat itu terasa atau hasil yang pada kemudian hari diharapkan. Bergantung hanya pada kuantitas yang besar (dan tidak pada kualitas yang baik) tentu tidak akan pernah cukup. Merevitalisasi sesuatu tentu membutuhkan usaha dan kuasa yang besar.
— dan Problematika-Problematika Lainnya
Diskusi tetap berlanjut. Beberapa mahasiswa dengan antusias maju satu-per-satu untuk menyampaikan opini yang mereka miliki. Selain dua masalah umum di atas, secarik kertas putih yang saya bawa akhirnya penuh dengan coretan tentang PR untuk Indonesia dalam ihwal pendidikan. Sebagian berpendapat bahwa sistem pendidikan yang ada saat ini belum mengedepankan pembentukan etika atau moral para pelajar. Ada yang berpendapat bahwa dinamika perubahan sistem atau kurikulum yang terlalu sering belum memberikan efek yang cukup signifikan. Ada juga yang bilang bahwa adanya kesenjangan digital di tengah-tengah masyarakat juga memberikan dampak buruk untuk pendidikan itu sendiri.
Saya pun tak mau kalah. Mendengarkan banyak opini-opini yang didominasi oleh subjektivitas para mahasiswa/i baru ini berdasarkan perspektif mereka masing-masing, saya menambahkan bahwa mutu dari guru itu sendiri harus diperhatikan. Saya menyampaikan dengan perlahan bahwa setelah menuntut ragam objek pendidikan agar bertransformasi lebih baik, maka sebagai subjek (calon pendidik) pendidikan di masa yang akan datang, kita harus mulai berbenah; dari segi apapun, dari sisi manapun.
Sebelum mengakhiri sesi bincang malam itu, saya pun menyodorkan pertanyaan kedua kepada mereka;
“Ternyata, pendidikan kita masih memiliki banyak masalah yang belum terentaskan. Jika ada masalah, tentu ada solusi. Nah, saya kira, masalah-masalah ini akan teratasi jika seandainya kita memiliki satu atau beberapa super hero. Jika satu hero itu benar-benar ada, kira-kira siapa yang paling kita butuhkan saat ini dan apa keajaiban yang bisa ia hadirkan?”
Sebelum mempersilakan mereka menjawab, saya memberikan kebebasan pahlawan super mana yang bisa mereka ambil. Bisa karakter nyata atau fiksi, dari luar ataupun dalam negeri, serial kartun atau film, atau apapun itu. Intinya mereka harus menyertakan alasan kenapa memilih pahlawan super itu dan bagaimana kekuatannya dapat mendatangkan keajaiban. Saya memberikan contoh dengan mengambil salah satu super hero yang ada di serial film Marvel, Dr. Strange.
“Jika kita memiliki Dr. Strage, mungkin kekuatan untuk menjelajahi ruang dan waktu tanpa batas bisa kita manfaatkan. Kita bisa memperbaiki apa-apa yang kurang di masa lampau; atau mempersiapkan apa-apa yang akan hadir di masa yang akan datang. Dengan begitu, kita akan dengan sangat mudah menemukan sumber masalah dan segera menemukan solusi apa yang paling tepat. Pendidikan di Indonesia tentu akan menjadi sangat maju.”
Beberapa saat kemudian, beragam tokoh baik fiksi maupun nonfiksi mereka hadirkan. Ada yang ingin Ki Hadjar Dewantara dengan inovasi pendidikannya kembali. Ada yang berpendapat bahwa R. A. Kartini adalah sosok pahlawan yang kita butuhkan. Ada yang mengatakan bahwa pahlawan super itu adalah para ibu dari anak-anak negeri yang memegang peran penting sebagai sekolah pertama. Ada juga yang menyebutkan beberapa tokoh serial animasi kartun dengan kecerdasan dan kekuatan yang mereka miliki serta masih banyak lagi. Pada akhirnya, sebuah jawaban yang sudah saya tulis di atas selembar kertas saya buka. Saya meminta salah satu mahasiswa untuk membacakan siapa sebenarnya pahlawan super yang saat ini kita butuhkan; untuk pendidikan negeri, untuk peradaban bangsa yang lebih baik lagi. Jawaban dari pertanyaan itu kemudian ia bacakan dengan pelan; “Orang paling terakhir yang ada di dalam galeri foto hp kalian”.
Beberapa mahasiswa tersenyum, beberapa yang lain masih menolah-noleh kebingungan, serta beberapa lainnya hanya diam nampak terheran-teran. Diskusi malam itupun saya akhiri dengan pernyataan sederhana tentang apa yang kita butuhkan untuk pendidikan negeri yang lebih baik lagi.
“Jika terus-terusan hanya bisa mengeluh perihal ini dan itu, mungkin jalan yang akan kita temui tetap akan buntu. Jika kemudian berharap banyak pada keajaiban dari kekuatan super hero semacam itu, mungkin harapan yang kita inginkan hanya berhenti pada sebuah imajinasi. Karena pada akhirnya, keajaiban yang mungkin kita nanti-nantikan atau kita harapkan itu ternyata adalah kita sendiri; sebagai mahasiswa, sebagai generasi hebat penerus dan pembaharu peradaban bangsa.”