Esok hari, kalender usang yang tertempel di tembok-tembok rumah, sekolah, kampus, hingga perkantoran mungkin sudah siap untuk digantikan. Bahkan, sebagian orang mungkin sudah menggantinya sejak beberapa hari yang lalu sebab tahu bahwa tahun baru akan segera menyapa. Kini, 2024 sudah berdiri tegap di depan mata; dengan segala misteri akan nelangsa dan bahagia yang tidak seorang pun mengetahuinya. Hari ini pun, mungkin setiap pribadi sudah bisa mengucapkan selamat tinggal untuk 2023 yang penuh warna; dengan segala memori akan ragam peristiwanya. Barangkali ucapan ‘selamat tinggal’ dan ‘selamat datang’ ini bisa membawa perbedaan kecil ke depannya. Entah untuk sekadar memahami, mengikhlaskan, atau melupakan hari-hari yang telah berlalu — bersikap tegar, percaya, lalu bangkit untuk hari-hari baru yang akan melambai datang. 365 hari telah berlalu, apa yang bisa diceritakan?
Sejujurnya, tulisan ini tidak pernah saya rencanakan untuk tampil di penghujung tahun seperti sekarang ini. Hal ini karena biasanya, saya sudah memetakan jadwal menulis tahunan dengan sedikit menengok ke belakang dan merangkum segala peristiwa penting yang terjadi di bumi pertiwi. Sebuah refleksi dan doa kemudian akan menjadi inti sari dari bahasan tulisan tersebut. Hanya saja, khusus tahun 2023 yang istimewa ini, sebuah cerita pendek nyata ingin saya kisahkan. Saya kurang yakin memang apakah tulisan ini bisa diterima oleh pembaca yang budiman sebab satu dan lain hal. Tapi, rasa-rasanya kurang afdhol jika cerita yang kita anggap menarik tidak diketahui oleh banyak orang. Bukan karena mau adu pamer; tapi dengan cerita ini, semoga ada hati yang kemudian terbuka, ada pikir yang kemudian mengerti, serta ada langkah yang kemudian bisa terkendali — untuk hari ini, esok di tahun 2024, atau pada penghujung tahun berikutnya dalam 365 hari hitungan mundur.
Awal Mula Cerita
Oktober hingga Desember 2023 ini, saya mendapatkan kepercayaan untuk menjadi salah satu peserta dalam pesta demokrasi kampus tercinta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat itu, saya dipercaya untuk maju menjadi kandidat calon ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Saya, yang notabene memang memiliki banyak aktivitas intra dan ekstra kampus saat itu, awalnya menolak tawaran ini karena takut tidak bisa memposisikan diri secara layak dan profesional terhadap tugas dan tanggungjawab yang sudah ada. Namun, setelah mempertimbangkan beragam hal matang-matang, saya berpikir dengan positif bahwa mungkin ini adalah salah satu kesempatan untuk mengembangkan kemampuan diri jauh lebih baik lagi. Toh meski sudah banyak kesibukan, nyatanya saya memang masih memiliki waktu yang cukup banyak untuk bermain-main.
Singkat cerita, pada akhir November lalu, rangkaian dari berbagai acara inti Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) UIN Jakarta pun dimulai. Alhasil tim sukses (timses) yang telah dibentuk kemudian dengan semangat menyusun rencana untuk memaksimalkan kesempatan yang ada. Sebenarnya, persiapan ini sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum tanggal tetap diumumkan. Persiapan-persiapan seperti shooting video kampanye, photoshoot untuk keperluan poster, pemetaan kekuatan dari probabilitas dukungan suara, serta masih banyak lagi. Saat itu, saya seperti sedang benar-benar mendapatkan perhatian dan semangat untuk berkompetisi semaksimal mungkin agar ada akhir kebahagiaan yang bisa tercapai. Apalagi, saat itu mayoritas yang ikut bergabung menjadi timses adalah adik-adik tingkat angkatan 2022 dan 2023. Rasa-rasanya sangat bingung untuk mengganti jerih payah mereka selain dengan hasil yang diimpi-impikan.
Hari demi hari berganti, jarak menuju puncak pesta demokrasi pun semakin terasa terpangkas sangat cepat. Saat memiliki sedikit saja waktu luang di sela-sela tugas kuliah sekaligus tugas kerja sebagai penerima beasiswa KSE yang menumpuk, saya langsung berpindah haluan untuk persiapan pemilwa ini. Apa saja yang bisa saya kerjakan langsung saya kerjakan. Ketika belum sampai pada hari yang ditentukan sebagai jadwal rapat mingguan, saya pasti mempersiapkan diri sebaik mungkin; seperti menyusun visi misi yang pas, kemudian memahami hubungannya dengan visi misi jurusan, fakultas, hingga universitas; mencari titik kuat dan lemah dari visi misi tersebut; memperbaikinya dengan seksama; berlatih berbicara dengan membawa gagasan visi misi; mempersiapkan pertanyaan yang mungkin saja muncul saat debat kandidat; menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang berpotensi diajukan kepada lawan; melakukan penelitian mini guna mencari referensi debat; menonton video-video gagasan para tokoh; mengobrol dengan diri sendiri seakan sedang kampanye; mempersiapkan gagasan program-program unggulan; serta masih banyak lagi. Hari itu, saya benar-benar merasa harus menuntaskan perjuangan ini sampai akhir. Jika mental, sikap, dan hati saja belum siap, bagaimana mungkin saya dengan percaya diri mendeklarasikan kepercayaan ini sebagai sebuah perjuangan?
Bahkan dedaunan pun tidak pernah mengerti mengapa angin harus membuatnya jatuh di tengah kekeringan yang melanda. Rumput juga tidak pernah paham mengapa harus mereka yang menjadi hantaman akhir dari milyaran tetes air hujan dari langit sana. Demikian dengan pepohonan yang harus ditumbangkan oleh badai saat dirinya mungkin masih merasa pantas untuk tetap hidup dan menjadi penyambung hidup dari dunia sekitarnya. Saat hari itu tiba pun, saya masih tidak menyangka dan tidak percaya bahwa saya dan pasangan saya tidak lolos dalam tahap pemberkasan. Siapa sangka? Semuanya di luar kehendak; semuanya di luar kuasa yang ada.
Semua pernyataan dalam tulisan ini baik tertulis atau tidak adalah murni atas kehendak saya pribadi dengan disandarkan pada fakta lapangan sesuai dengan pengalaman yang telah dilalui. Jika kemudian muncul kalimat-kalimat kritik, maka hal tersebut juga murni berasal dari opini pribadi sebagai seorang mahasiswa yang berhak bersuara.
Pemilwa 2023: Sebuah Kritik!
1. Tertutup, Terbatas, dan Eksklusif
Dalam opini saya pribadi, Pemilwa UIN Jakarta 2023 kala itu dapat digambarkan secara sekilas dengan tiga kata tersebut. Secara pemahaman umum, seharusnya tiga kata ini tidak boleh muncul pada acara, tempat, atau waktu dan keadaan yang mengusung tema asas demokrasi.
Masalah pertama sebetulnya sudah menjadi kekhawatiran plus kekecewaan saya terhadap Pemilwa tahun ini. Bagaimana tidak, seharusnya Pemilwa UIN Jakarta sudah memasuki tahap akhir pagelaran acara pada masa-masa habis semester genap (jika melihat pada pelaksanaan pemilwa tahun lalu). Namun sangat disayangkan, Senat Mahasiswa (SEMA) Universitas yang memiliki wewenang sekaligus tanggungjawab terhadap pelaksanaan pemilwa ini bahkan tidak menampakkan tanda-tanda dari pelaksanaan tugas mereka. Hal ini kemudian berimbas pada penambahan masa jabatan SEMA-U itu sendiri; berikut DEMA-U, SEMA-F, DEMA-F, serta HMPS di UIN Jakarta menjadi kurang lebih 18 bulan (Mei 2022—Oktober 2023 (atau sesuai masing-masing organisasi)). Sebagai salah satu anggota Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) FITK tahun 2022 kemarin, saya pun merasakan imbas buruk dari keteledoran rekan-rekan SEMA-U ini. Program unggulan Divisi Pengembangan Bahasa, kelas pembelajaran dua bahasa (Tarbiyah Language Club) khusus mahasiswa/i baru FITK yang kami inisiasi tahun lalu pun menjadi sangat kabur antara harus dilaksanakan atau tidak.
Alih-alih cepat berbenah dengan bersikap lebih profesional, SEMA-U kemudian membuat kesalahan kedua secara terang-terangan. Pembentukan panitia pelaksana dan pengawas Pemilwa 2023 yang mereka sah-kan secara daring pada akhir Oktober lalu disinyalir sebagai ‘tindak kecurangan terhadap publik yang dipertontonkan’. Bagaimana tidak, Komisi Pemilihan Mahasiswa (KPM) dan Badan Pengawas Pemilihan Mahasiswa (BPPM) dibentuk sesuka hati. Kenyataannya, pembentukan dua instruktur pesta demokrasi ini memang sudah melalui seleksi berkas secara resmi. Namun, hal yang membuat kenyataan tersebut menjadi pahit adalah tidak adanya transparansi berkas dan dasar yang menjadi acuan selektif atas lolos atau tidaknya para pendaftar. Perlu dipertanyakan memang mengapa ‘mahasiswa a’ tidak lolos serta mengapa ‘mahasiswa b’ lolos. Apalagi, saat fakta bahwa seluruh anggota KPM dan BPPM ternyata berasal hanya dari satu golongan organisasi eksternal tervalidasi, keyakinan akan politik kampus yang sedang disetir semakin menjadi-jadi.
Hal serupa kemudian berlanjut saat proses seleksi berkas para mahasiswa yang mencalonkan diri baik sebagai anggota SEMA-U, anggota SEMA-F, calon ketua dan wakil ketua DEMA-U, calon ketua dan wakil ketua DEMA-F, serta calon ketua dan wakil ketua HMPS. Pada hari pengumuman hasil seleksi berkas, sebagian besar calon dari kelima organisasi intra ini dinyatakan tidak lolos berkas. Namun lagi-lagi, tidak ada transparansi berkas antara calon yang dinyatakan lolos dan tidak lolos. Padahal, skema seperti ini seharusnya sudah dipikirkan baik-baik oleh SEMA-U, KPM, serta BPPM agar dugaan tentang adanya kecurangan dan ketimpangan seleksi tidak muncul kembali di hadapan publik. Parahnya, calon-calon yang saat itu dinyatakan tidak lolos juga tidak mengetahui letak kesalahan berkas yang mereka ajukan. Hal tersebut terjadi karena memang tidak adanya pemberitahuan yang jelas dari KPM itu sendiri.
Arah Pemilwa 2023 ini memang susah ditebak. Namun yang pasti, kata terbuka untuk semua, bebas akses, serta inklusif sama-sekali tidak dapat diidentifikasi.
2. Berkas yang Dipaksa Gagal
Durasi antara pengumuman hasil verifikasi berkas dan akhir pengajuan sidang sengketa saat itu hanya berjarak sekitar delapan jam saja. Sebagai seorang mahasiswa yang baru berkecimpung di dunia politik kampus seperti saya, tentu kata ‘bingung’ adalah apa yang saya rasakan dan alami selama kurun waktu delapan jam tersebut. Semua hanya tentang (1) apa yang salah? (2) Apa yang harus saya perbaiki jika memang ada yang salah? (3) Apa yang harus saya siapkan untuk setidaknya mengajukan banding atas kesalahan yang mungkin ada, jika letak dari kesalahan itu sendiri tidak saya ketahui? Jika begini, apakah kemudian saya salah jika beranggapan bahwa skema seperti ini memang sengaja dilakukan agar calon yang berkasnya dinyatakan gagal tidak bisa bersiap-sedia? Kemudian dengan hal tersebut, berkas mereka lebih mudah untuk dinyatakan tetap gagal sampai akhir sidang?
Sejujurnya, pada titik tersebut saya sudah sedikit putus asa karena memang tidak tahu harus berbuat apalagi. Untungya, saya masih memiliki timses yang tetap suportif. Mereka mencari tahu ke sana dan ke sini guna memastikan bahwa memang ada kesalahan pada berkas yang saya ajukan. Akhirnya, salah satu kakak tingkat saya waktu itu berhasil menghubungi salah satu anggota KPM dan menanyakan secara baik-baik tentang masalah apa yang sebenarnya terjadi. Pada pembicaraan via panggilan WhatsApp ini, saya kemudian mengetahui letak kesalahan yang ada dalam berkas pengajuan; yaitu format foto yang tidak sesuai dengan peraturan serta presensi pelaksanaan tes baca dan tulis Al-Quran yang terlewati.
Masalah pertama adalah ketidaksesuaian format foto yang disertakan dalam berkas dengan format foto yang tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Mahasiswa (PKPM). Dalam salah satu pasalnya, pas foto yang diunggah seharusnya memiliki format JPEG, sedangkan pas foto saya waktu itu memiliki format JPG. Kemudian, masalah kedua adalah terlewatinya presensi saat pelaksanaan tes baca tulis Al-Qur’an. Khusus masalah kedua ini, tidak ada satu peraturan pun yang menjelaskan secara spesifik bahwa kandidat harus lebih dulu menghubungi koordinator fakultas (penanggungjawab fakultas yang ditunjuk KPM) dan meminta tanda-tangan presensi sebelum melaksanakan tes BTQ kepada kaprodi atau dekan yang dituju. Peraturan tersebut hanya diunggah dalam cerita Instagram KPM.
Mengetahui dua hal tersebut, sontak membuat saya agak sedikit geli. Saya tidak habis pikir bahwa organisasi internal selevel SEMA dengan KPM dan BPPM-nya bisa-bisanya membuat dua peraturan rancu seperti ini. Saya kira, setiap mahasiswa pasti mengerti mengapa dalam setiap makalah atau artikel yang mereka tulis harus menyertakan sitasi atas setiap sumber yang mereka kutip. Sebelum berpikir jauh bahwa sitasi hanya untuk membuktikan keilmiahan dari tulisan yang dibuat, sitasi sejatinya adalah bagian dari langkah preventif agar tidak ada teori yang dibuat asal-asalan. Lebih sederhananya, sitasi ini berfungsi untuk mendorong para mahasiswa agar lebih dulu membaca daripada menulis. Saya kira, ketiga pihak di atas belum melakukan riset sepenuhnya mengenai perbedaan foto dengan format jpeg dan jpg. Kemudian, mereka belum mengerti bahwa setiap peraturan yang berpayung hukum harus tertulis dengan jelas pada media yang telah ditentukan.
(b) Masalah Pertama: Format Foto
JPEG atau Joint Photographic Experts Group merupakan format gambar yang sudah ada dan digunakan secara universal sejak tahun 1992. Sayangnya, komputer-komputer yang umum digunakan di dunia saat itu menggunakan sistem operasi Microsoft, MS-DOS atau Microsoft Disk Operating System — sebelum kehadiran Windows 95. Sistem operasi tersebut belum mendukung format gambar yang memiliki empat huruf pada ekstensinya. Meski begitu, hal tersebut tidak berlaku bagi komputer yang mengadopsi sistem operasi berbasis UNIX seperti Macintosh dan Linux. Pada akhirnya, untuk membuat format foto JPEG ini tetap bisa digunakan secara global, perusahaan terkait kemudian melakukan deduksi (hanya huruf) pada ekstensinya dari .jpeg menjadi .jpg. Berdasarkan informasi dari pelbagai sumber nasional dan internasional, tidak ada perbedaan apapun pada dua format foto ini kecuali hanya satu huruf “e” dalam ekstensinya. Hal ini juga divalidasi tidak akan mengganggu sistem operasi apapun bilamana harus menggunakan dua foto dengan format yang dimaksud. Apalagi, saat ini semua sistem operasi pada komputer, ponsel, dan alat elektronik lainnya juga sudah bisa membaca kedua format tersebut tanpa menimbulkan masalah.
Pertanyaannya, apakah KPM masih menggunakan komputer dengan sistem operasi MS-DOS keluaran tahun 90-an ini? Jika iya, mungkin mereka seharusnya bisa berinisiatif untuk menganggarkan sebuah komputer terbaru — atau setidaknya meningkatkan laptop masing-masing ke sistem operasi terbaru agar kinerjanya juga sesuai dengan kebutuhan zaman. Tapi rasa-rasanya mustahil sistem operasi komputer seperti ini masih ada yang menggunakan, bukan? (kecuali ada mahasiswa dari tahun 90-an tersebut yang berhasil menemukan mesin waktu dan mengunjungi masa depan)
Sejujurnya, pada poin ini saya sedikit lega setelah mengetahui bahwa kesalahan ini termasuk dalam kesalahan minor. Artinya, kesalahan yang tidak akan mengganggu sistem komputer di e-voting nantinya ini masih bisa dimaklumi. Seharusnya memang seperti demikian agar tidak ada yang terlihat bodoh karena terbukti memiliki ilmu pengetahuan yang berpatok pada 30 tahun-an yang lalu.
(b) Masalah Kedua: Presensi Tes BTQ
Tes Baca Tulis Qur’an atau BTQ adalah salah satu persyaratan wajib untuk setiap mahasiswa yang mencalonkan diri mereka dalam Pemilwa 2023 ini. Sistemnya, semua calon baik SEMA, DEMA, atau HMPS harus membuktikan kemampuan mereka dalam baca-tulis Al-Qur’an dan wajib dinyatakan lolos oleh dekan atau kaprodi (khusus HMPS) masing-masing fakultas/jurusan. Sebagai bukti bahwa tidak ada kebohongan atau manipulasi pada seleksi ini, maka KPM menyediakan satu lembar kertas yang harus dibawa oleh masing-masing calon dan ditanda-tangani oleh penguji saat sudah dinyatakan lolos.
Saat itu, saya dan pasangan saya bersama-sama maju untuk melaksanakan tes BTQ ini kepada ibu Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris. Tes yang berlangsung sekitar setengah jam ini berjalan dengan baik dan lancar. Bahkan, ibu kaprodi juga mengetes hafalan kami pada beberapa ayat dan surah dalam Al-Qur’an. Syukur, pada akhirnya kami berdua dinyatakan lolos dan ibu kaprodi pun menandatangi berkas yang kami bawa (sesuai prosedur). Namun, di sinilah letak kesalahan itu muncul dan tidak kami sadari — pun dengan rekan timses lainnya. Ternyata, instruksi untuk lebih dulu melakukan konfirmasi sekaligus presensi kepada koordinator fakultas sudah diunggah dalam salah satu cerita Instagram resmi KPM. Unggahan tersebutlah yang saya, pasangan saya, serta timses yang saat itu sedang bertugas tidak sengaja lewati.
Jika memang berkas tersebut dinyatakan palsu atau hasil dari tindakan manipulatif, pihak KPM seharusnya bisa mengonfirmasi langsung kepada ibu kaprodi yang sudah menandatangi berkas tersebut. Nama lengkap, jabatan, serta NIP ibu kaprodi juga sudah tertera jelas di sana. Hal tersebut seharusnya sudah cukup untuk menjadi bukti valid bahwa tidak ada tindakan manipulatif yang saya dan pasangan saya lakukan. Jika gagalnya berkas karena adanya pengabaian terhadap prosedur, maka seharusnya ada satu (saja) pasal di PKPM yang menjelaskan perihal ini. Mengingat bahwa teknis sederhana seperti format gambar saja dijelaskan, bagaimana mungkin teknis prosedural yang melibatkan banyak pihak seperti ini tidak dijelaskan?
Dua masalah ini kemudian kami carikan solusi dan kami bawa menuju sidang sengketa keesokan harinya. Menuju pelaksanaan sidang sengketa, kami juga telah menyiapkan berbagai bukti pendukung dengan harapan akan terbukanya jalan. Meski kemudian, saya lagi-lagi mendapati pengabaian profesionalisme dalam kerja dari pihak KPM, BPPM, serta MPM dalam pelaksanaan sidang nanti.
3. Pelaksanaan Sidang Mediasi yang Tidak Profesional
Sidang mediasi untuk sengketa berkas waktu itu seharusnya dilaksanakan sejak pukul 09.00 sampai dengan pukul 15.00 WIB pada hari Jumat, 1 Desember 2023. Dalam surat elektronik pemberitahuan yang saya terima, BPPM mencantumkan tautan Zoom Meeting bersama beberapa catatan. Pada catatan kedua, BPPM menyebutkan bahwa saya (dan mungkin semua peserta) akan dianggap gugur jika tidak memasuki ruang sidang hingga batas waktu yang ditentukan. Pada catatan keempat, BPPM juga menyebutkan bahwa saya (dan mungkin semua peserta) harus menyalakan kamera selama proses sidang mediasi berlangsung.
Mengetahui bahwa disiplin tentu menjadi tolak ukur paling dasar bagi pemegang hak dan tanggungjawab, saya pun menghadiri ruang virtual ini sejak sekitar delapan menit sebelum acara dimulai. Saya ingin memastikan bahwa saya sendiri pun sangat serius dan menghargai setiap peraturan yang dibuat oleh BPPM. Namun kenyataannya, hal yang mungkin bisa dikatakan di luar nalar terjadi. Host dari Zoom Meeting yang sudah terjadwal ini bahkan belum memasuki ruang sidang sampai pukul 9.32 WIB (saya yakin ini lebih namun tidak berhasil saya dokumentasikan saja). Terlambat 30 menit lamanya? Ada apa?
Tidak berhenti di situ, pemberitahuan bahwa host telah ikut bergabung baru muncul pada pukul 9.53 WIB. Artinya, sampai detik itu, bisa dipastikan bahwa yang tidak tepat waktu adalah pihak BPPM itu sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa saat itu sudah ada pihak yang hampir terlambat selama satu jam. Saya kira, sidang benar-benar akan langsung dimulai mengingat keterlambatan ini sudah sangat keterlaluan. Namun ternyata, saya tetap harus bersabar di ruang tunggu; kemudian baru bisa memasuki ruang sidang virtual tersebut tepat pada pukul 10.31 WIB. Maka, adakah orang yang masih menganggap bahwa terlambat hingga 1.5 jam dalam sebuah acara penting adalah hal yang biasa dan profesional? Apalagi, pihak yang terlambat ini adalah tuan rumah itu sendiri; adalah mereka yang membuat peraturan itu sendiri.
Sudah cukup? Tentu saja tidak.
Sampai pukul 10.53 WIB, bahkan ruang virtual Zoom ini tetap hening tanpa suara. Tidak ada panitia yang menampakkan dirinya; tidak ada panitia yang hadir untuk sekadar menyambut; tidak ada panitia yang memandu jalannya acara; tidak ada seorangpun yang mengarahkan para peserta untuk ini dan itu. Bisa dibayangkan bagaimana bingungnya puluhan peserta yang saat itu menunggu ketidakpastian. Di sana, hanya ada layar bertuliskan PELAKSANAAN MEDIASI BPPM dengan takarir instruksi tambahan untuk menunggu.
Pada akhirnya, salah satu peserta saat itu menghidupkan pelantang dan meminta kejelasan kepada panitia. Peserta tersebut menanyakan kepastian jalannya sidang karena sebentar lagi akan memasuki waktu salat Jumat. Awalnya, panitia masih bergeming tanpa suara. Beberapa saat kemudian — tanpa ada aba-aba — panitia memutuskan untuk menunda pelaksanaan sidang sampai pukul 13.30 WIB. Betul, sangat-sangat tidak bisa digambarkan dengan kata-kata apa yang saya rasakan waktu itu. Pagi hari itu, dua jam lebih saya habiskan hanya untuk duduk di depan layar ponsel; hanya untuk mendengar pengumuman bahwa sidang ditunda hingga pukul 13.30.
Pertanyaannya, tidak bisakah panitia membuatkan ikhtisar acara agar tidak ada yang menunggu terlalu lama atau setidaknya jalannya sidang berlangsung dengan jelas dan rapi? Padahal, hal semacam ini adalah pengetahuan yang sangat dasar di mana saya yakin bahwa semua mahasiswa mengerti. Atau lagi-lagi, apakah ini merupakan tindakan manipulatif yang disengaja agar lebih banyak waktu terpangkas sehingga durasi sidang per individu bisa dipercepat? Kemudian panitia bisa dengan leluasa berkata ‘maaf waktu tidak cukup’ saat peserta sidang hendak mengajukan bukti atau keberatannya?
Saya rasa jawabannya memang iya. Setelah sidang sore itu tuntas, beberapa video yang memperlihatkan para peserta sidang dikeluarkan secara paksa dari ruang virtual saat hendak bertanya atau menyanggah. Saya rasa, hal-hal semacam ini tidak seharusnya terjadi — kecuali memang ada unsur kesengajaan dari pihak BPPM karena mereka melihat kesempatan terbukanya pintu aklamasi untuk pihak tertentu.
Ternyata, hari itu bukan hanya perihal waktu. Saat berhasil memasuki ruang sidang virtual khusus, koordinator fakultas (yang menjadi pihak terlapor) tidak menyalakan kamera sama sekali. Parahnya, pihak BPPM yang juga ikut dalam sidang hari itu tidak memberikan teguran kepada pihak terlapor atau pihak pelapor. Hal ini seharusnya juga menjadi perhatian sebab pihak BPPM sendirilah yang membuat aturan dalam badan surat elektronik itu. Pada titik ini, saya sempat berpikir tentang wajah siapa sebenarnya yang ada di balik kamera yang mati tersebut? Apakah mereka tidak sendiri? Apakah mereka tidak berani memandang pihak pelapor? Kenapa? atau jangan-jangan ada tindakan manipulatif? Seperti pembicara yang ternyata dialihkan atau dioper-oper kepada orang lain, misalnya?
Tak berhenti sampai di sini saja. Saat pelaksanaan sidang, awalnya saya diminta untuk menyampaikan laporannya. Pihak KPM saat itu kemudian menyebutkan dua kesalahan pada berkas yang saya ajukan — persis sama seperti apa yang saya dapatkan sebelumnya. Karena sudah siap dengan bukti dan jawaban, saya pun menjelaskan pelan-pelan tentang problematika yang terjadi. Saya sedikit menguraikan perihal format JPEG dan JPG yang sebenarnya identik dan sama-sekali tidak akan mengganggu sistem. Saya juga menjelaskan bahwa tes BTQ yang sebelumnya saya laksanakan adalah benar adanya — dibuktikan dengan dokumen resmi yang telah ditandatangani oleh kaprodi. Namun sayangnya, (sesuai dugaan) waktu sidang ini terlalu singkat untuk disebut sebagai sidang mediasi. Percakapan kami tidak interaktif, masing-masing hanya berbicara satu kali serta tidak ada tanggapan lebih lanjut ketika saya menyatakan berani menghadirkan bukti lebih kuat langsung dari kaprodi.
4. Sidang Banding yang Tidak Ada Bedanya
Sampai di tahap ini, artinya sidang mediasi yang saya ikuti sebelumnya tidak membuahkan hasil. Ya, pada pengumuman berkas hasil sidang mediasi, saya tetap tidak dinyatakan lolos. Alhasil saya pun harus melanjutkan langkah pada tahap terakhir atau sidang banding. Untuk memastikan bahwa sidang kali ini berjalan lebih baik lagi, timses saya pun kembali menghubungi kaprodi untuk meminta surat keterangan tertulis bahwa tes BTQ yang saya laksanakan waktu itu adalah benar adanya. Pada titik ini, saya setidaknya sudah mengantongi dua bukti kuat; voice note dan surat pernyataan bertanda-tangan kaprodi.
Dalam surat elektronik pemberitahuan yang saya terima, sidang banding ini seharusnya dilaksanakan pada hari Senin, 4 Desember 2023; sejak pukul 20.00 WIB—selesai. Dalam isi surat elektronik tersebut, dua peraturan persis yang mereka buat dan langgar dengan sendirinya seperti sidang mediasi sebelumnya kembali dimuat. Saya pikir sidang banding ini akan lebih baik karena panitia seharusnya bisa belajar dari sidang mediasi sebelumnya. Ternyata, ekspektasi saya untuk BPPM yang lebih profesional terlalu tinggi. Dua kesalahan yang sama kembali mereka ulangi.
Dalam dokumentasi yang berhasil saya simpan, host dari sidang banding yang telah dijadwalkan ini bahkan belum membuka ruang virtual Zoom hingga pukul 20.43 WIB. Bahkan, sampai pukul 21.31 WIB, saya belum mendapatkan tanda-tanda bahwa sidang banding ini akan segera dimulai. Hal ini terjadi karena dua alasan yang persis sama dengan sidang mediasi sebelumnya; yaitu tidak adanya ikhtisar acara serta tidak adanya panitia yang seharusnya memandu dengan baik jalannya proses sidang penting ini.
Saat sidang dimulai, saya kembali mendapati hal yang sama. Dalam ruangan terbatas waktu itu, tidak seorang pun baik dari pihak koordinator fakultas, KPM, BPPM, hingga MPM yang menyalakan kameranya. Alhasil hati saya pun kembali mempertanyakan tentang wajah siapa sebenarnya yang ada di balik kamera yang mati tersebut? Apakah mereka tidak sendiri? Apakah mereka tidak berani memandang pihak pelapor? Kenapa? atau jangan-jangan ada tindakan manipulatif? Seperti pembicara yang ternyata dialihkan dan dioper-oper kepada orang lain, misalnya?
Ada hal menarik saat sidang banding ini. Pihak KPM kala itu masih sangat kuat memegang alasan mereka perihal gagalnya saya dalam pemberkasan. Format foto serta presensi tes BTQ menjadi dua masalah utama. Ini artinya, sidang banding yang telah saya ikuti sebelumnya bahkan tidak berhasil mengubah apapun. Malam itu, setelah mengetahui bahwa di sana ada kehadiran dua dosen senior sebagai MPM, saya pun melihat adanya sedikit peluang karena yakin mungkin pengalaman lebih yang mereka miliki dapat mempertimbangkan hal ini. Saya kemudian menjelaskan dengan lebih seksama serta sangat detil mengenai dua masalah tersebut. Saat selesai menjelaskan panjang lebar, salah seorang dengan kameranya yang mati kala itu angkat suara. Ia kemudian memalingkan alasan tentang keharusan presensi kepada KPM sebelum pelaksanaan tes BTQ yang sebelumnya ‘sudah ada di unggahan cerita Instagram KPM’ menjadi pasal tentang ‘hak koordinator fakultas untuk menentukan aturan berikut sanksinya secara bebas’. Linglung, bukan?
Ada hal menarik lain yang saya saksikan langsung dengan mata kepala saya sendiri pada rangkaian sidang banding malam itu. Kebetulan, saat proses sidang, saya juga tengah bersama salah satu kandidat anggota SEMA-F dari satu prodi yang sama di mana ia juga gagal pada tahap pemberkasan karena hal yang sama. Saat itu, ia dengan tegas menuduh adanya kecurangan yang dibuat oleh pihak KPM dan BPPM karena kesalahan yang tidak substansial dijadikan tuduhan untuk gagalnya pemberkasan. Pada sesi akhir saat hendak mempertanyakan hal tersebut secara lebih lanjut, panitia tiba-tiba mengeluarkannya dari ruang virtual Zoom. Hal inilah yang kemudian membuat saya yakin bahwa pada Pemilwa 2023 ini kami benar-benar sedang dipermainkan.
Hasilnya pun tetap nihil. Pada hari pengumuman, saya, pasangan saya, serta teman saya sebagai kandidat anggota SEMA-F tadi tetap dinyatakan tidak lolos. Kecewa? Tentu saja.
5. Indikasi Adanya Intervensi
Sejatinya, poin pertama di atas sudah cukup memberikan gambaran bagaimana sebuah skema jahat saat itu sedang dipertontonkan. Setiap orang — siapapun itu — seharusnya bisa menilai dengan adil mana pihak yang sedang bermain-main dan mana pihak yang sedang dipermainkan. Kemudian, keempat poin di atas juga sudah sangat jelas untuk menggambarkan bagaimana kondisi demokrasi di UIN Jakarta. Saya kira, tidak salah jika kemudian banyak orang yang menaruh curiga kepada pihak-pihak tertentu. Saya kira juga akan sangat lumrah bilamana ada orang yang kemudian berpendapat bahwa demokrasi di kampus ini telah dikebiri; bahkan mati. Tapi, mari berlanjut menuju poin terakhir yang ingin saya ceritakan; tentang kemungkinan besar sudah terjadi serangkaian intervensi.
Sejak awal diumumkan, timses saya pun bergerak dengan cepat untuk mencari tahu lebih lanjut apakah ada kandidat dari jurusan lain yang mengalami hal serupa. Akhirnya, beberapa kemudian berhasil ditemukan dan memang mengalami kesalahan yang sama. Menariknya, saat itu salah satu kandidat (dari fakultas yang sama) mengaku bahwa ia bahkan tidak menghubungi KPM atau meminta konfirmasi dan tanda-tangan presensi saat melaksanakan tes BTQ. Anehnya, berkasnya sedikitpun tidak ada yang dipermasalahkan; ia dinyatakan lolos sejak pengumuman pertama.
Pasca pengumuman hasil e-voting, saya juga mendapatkan informasi bahwa ternyata, beberapa kandidat dari fakultas lain yang mengalami cacat berkas pada format foto ini ternyata berhasil diloloskan karena dinilai memang tidak substansial dan tidak akan mengganggu sistem yang ada. Kemudian, kandidat yang juga secara tidak sengaja melewatkan presensi tes BTQ pada akhirnya diloloskan pada sidang banding karena berhasil menghadirkan bukti kuat berupa konfirmasi dari kaprodi atau dekan tujuan.
Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa ada perbedaan pemberlakuan peraturan pada Pemilwa 2023? Mengapa KPM dan BPPM bertindak tidak adil seperti ini? Padahal, mereka adalah pelaksana sekaligus pengawas pemilwa tunggal yang ada di kampus UIN Jakarta. Saya tidak pernah berharap bahwa adanya intervensi adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini. Tidak bisa dibayangkan tentang begitu besarnya ego untuk mendapatkan kekuasaan sehingga harus menyelak urusan saya dan KPM-BPPM. Namun, jika dilihat dari perbandingan kompetensi dan pengalaman, peta kekuatan suara, serta peluang kemenangan saat itu, maka bisa saja ada sisi yang sedang khawatir atau bahkan takut untuk masuk ke dalam kontestasi secara fair.
Hingga pada suatu hari, saya dihubungi via panggilan WhatsApp oleh salah satu timses dari kandidat yang akan menjadi calon lawan saya di Pemilwa 2023 kala itu. Awalnya, ia meminta saya dan wakil saya untuk bertemu dan membicarakan baik-baik mengenai masalah yang saat itu sedang memanas (salah satu kandidat mereka digoreng (secara istilah) oleh beberapa teman saya karena dinilai sama-sekali tidak berkompeten dan pantas untuk menjadi pemimpin mereka). Tentu, melihat situasi yang saat itu juga belum kondusif, saya menolak ajakan tersebut dan bilang bahwa apa yang dilakukan oleh teman-teman saya waktu itu memang sesuai fakta yang ada — terlepas dari benar atau tidaknya tindakan tersebut.
Sadar atau tidak, ia kemudian dengan yakin mengatakan, “Rif, sebenarnya berkas lu itu lolos — yang cacat itu berkasnya si Naba (nama calon wakil saya di HMPS kala itu)!” Terlepas dari benar atau tidaknya tentang berkas saya yang sebenarnya lolos atau tidak tersebut, bagaimana bisa ia mengetahui hal spesifik dan sensitif ini sedang ia bukan bagian dari KPM atau BPPM itu sendiri? Bukannya hal ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa ada aktivitas tersembunyi yang ia (atau timses lainnya) yang menggapai tangan KPM atau BPPM dan melakukan apa yang saya sebut sebagai intervensi? Namun, jika perkataannya memang benar demikian, sudah pasti ada pihak yang selama ini memang mengincar posisi ini dan berniat untuk mengambilnya dengan cara apapun. Saya tidak ingin menyebutkan pihak mana yang saya maksud. Namun saya harap para pembaca mencari tahu hal ini secara mandiri agar mengerti betul apa yang sedang terjadi.
Pemilwa 2023: Sebuah Refleksi!
E-voting telah dilaksanakan; Pemilwa 2023 juga telah tuntas dengan keluarnya hasil e-voting tersebut. Saya ingin mengucapkan selamat kepada kampus tercinta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh fakultas dan program studi yang ada di dalamnya karena telah resmi mendapatkan para pemimpin baru baik di tingkat HMPS, DEMA-F, SEMA-F, DEMA-U, hingga SEMA-U. Selamat juga kepada SEMA-U 2022-2023 beserta KPM, BPPM, dan MPM-nya yang telah berhasil menuntaskan agenda tahunan ini. Meski pada dasarnya memang telah menuai banyak kontroversi atas beragam kesalahan dan kelalaian selama bertugas, semoga ada pembelajaran yang bisa dipetik di masa-masa yang akan datang. Saya tidak tahu sebesar apa dosa atas pengkhianatan terhadap demokrasi ini.
Rasa-rasanya, saya belum siap setelah melihat hasil akhir Pemilwa 2023 ini. Bertahun-tahun, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris telah melahirkan banyak pemimpin hebat lewat pesta demokrasi yang berjalan dengan baik dan adil. Tapi mau bagaimana lagi, keputusan itu sudah bulat, aklamasi itu sudah benar-benar terjadi. Sebagai seorang mahasiswa biasa, saya hanya bisa berdoa dan berharap bahwa siapapun itu orangnya yang telah berhasil mendapatkan jabatan ini; semoga amanah dan benar-benar tulus untuk memimpin. Sayang sekali rasanya bilamana menjadi seorang pemimpin hanya dianggap sebagai sebuah permainan yang bisa dimulai dan ditamatkan kapan saja. Saya juga berdoa, semoga tidak ada boneka yang sedang dipermainkan.
Pesan untuk SEMA-U yang lebih baik pada tahun berikutnya saya titipkan kepada siapa saja yang membaca tulisan ini. Jika kebetulan Anda adalah kandidat yang akan menempati posisi dewan legislatif ini, harap bersikap lebih peka dan profesional selama menjabat nanti. Kala itu, saya melihat beragam promosi saat kampanye yang menyebutkan visi-misi setiap individu. Saya kira hal serupa juga dilakukan oleh SEMA-U tahun lalu. Maka semoga di tahun berikutnya semuanya dapat bekerja dengan hati yang paling tulus. Sangat disayangkan memang saat ribuan mahasiswa ber-almet biru selalu berteriak tentang demokrasi Indonesia yang katanya sedang tidak baik-baik saja — namun demokrasi di kampusnya sendiri malah dengan seenaknya dipermainkan.
Jika Anda adalah mahasiswa biasa di UIN Jakarta seperti saya saat ini, tetap bantu awasi setiap kinerja mereka baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Kenyataannya, mereka memang lahir dari hasil suara kita. Maka sebagai warga yang akan dipimpin olehnya, mari buka mata dan jangan lagi mau menganggap bahwa ‘ini bukan urusan saya’. Kepekaan dan kepedulian kita sangat amat akan menjadi penting untuk mengetahui sebaik apa pemimpin kita dalam satu tahun kepengurusannya. Kepekaan dan kepedulian kita juga yang akan menjadi jawaban tentang apakah hal yang sudah terjadi di Pemilwa 2023 ini akan terulang lagi atau tidak.
Barangkali cerita ini bisa dicukupkan sampai di sini saja. Sebenarnya, cerita-cerita pahit lain tentang Pemilwa 2023 kemarin masih banyak yang belum dikisahkan. Saya bahkan mengetahui beberapa cerita yang mungkin sebenarnya cukup memalukan, mengerikan, hingga tidak masuk akal lainnya. Sadar atau tidak, cerita tentang perlakuan tidak profesional KPM dan BPPM di Pemilwa 2023 dalam tulisan ini hanya sebatas antara pihak saya dan mereka. Bagaimana dengan prodi dan fakultas lain?
Namun sayangnya, tulisan ini bahkan akan menjadi dua atau tiga kali lebih panjang jika saya memaksa untuk mengetahuinya lebih dalam. Jika Anda memiliki cerita, pendapat, kritik, atau sudut pandang lain tentang Pemilwa 2023 di UIN Jakarta kemarin dan perlu diketahui oleh banyak orang, jangan ragu untuk berkomentar, ya!
Terima kasih sudah membaca!