Palestina Hari Ini: Sikap Netral yang Tidak akan Membuatmu Terlihat Bijaksana

Seseorang dalam ramainya demonstrasi mengangkat kertas bertuliskan "OUR VOICES WILL NEVER BE SILENCED #ISTANDWITHPALESTINE"
Gambar oleh Şeyma D. dari Pexels

Pertama, mari memulai tulisan ini dengan mengungkap sedikit fakta kelam tentang genosida yang terjadi di Palestina. Hari ini, tepat setelah satu bulan serangan pertama diluncurkan oleh Israel pada 7 Oktober lalu, korban tewas setidaknya telah melebihi angka 10.000 jiwa (baca di sini). Dari ribuan nyawa tersebut, 4.100+ di antaranya adalah balita dan anak-anak serta 2.600+ lainnya adalah perempuan. Jumlah korban tersebut belum termasuk 2.300+ warga sipil Gaza (1.300+ anak-anak) yang dilaporkan hilang. Dugaan sementara, mereka yang hilang ini terjebak di bawah reruntuhan bangunan pasca serangan demi serangan yang diluncurkan oleh Israel.

Nahasnya, beragam argumen — yang tidak layak — tumbuh dan menyebar di kalangan masyarakat umum; utamanya di Indonesia. Argumen-argumen yang mengarahkan pola-pikir masyarakat general ini terbungkus dalam kata ‘netral’. Secara teoretis, sikap netral ini dapat dimaknai dengan tidak memihak pada salah satu sisi; berada di tengah; tidak condong ke kanan atau ke kiri; serta lain sebagainya. Hanya saja, pemaknaan secara eksplisit untuk ‘sikap netral’ pada situasi dan kondisi seperti ini bukan hanya untuk orang yang diam, acuh-tak-acuh, dan lain sebagainya. Mereka — orang ataupun kelompok — yang memilih untuk pura-pura tidak mengerti dan tidak menunjukkan reaksi apapun adalah orang-orang dengan ‘sikap netral’ ini.

Ada seseorang yang mungkin terlalu yakin dengan sikap netralnya terhadap isu kemanusiaan yang sedang terjadi di Palestina saat ini. Dalam benaknya yang paling dalam, berdiri di tengah-tengah dan tidak memihak siapapun ia anggap sebagai sebuah kebijaksanaan; entah memang karena tidak tahu, tidak mau tahu, atau sengaja tidak mencari tahu. Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa diam adalah emas. Hanya saja, diamnya seseorang hari ini tidak selalu berarti demikian. Termasuk diamnya orang dengan sikap ‘netral’ terhadap apa yang terjadi di Palestina hari ini. Apa sebenarnya argumen yang mereka pakai dan bagaimana hal tersebut seharusnya ditanggapi?

Argumen Pertama: “Saya tidak memiliki kepentingan!”

Sebuah aksi demonstrasi yang memperlihatkan banyak orang membawa dan mengibarkan bendera Palestina.
Gambar oleh IDRISS BELHAMADIA dari Pexels

Saat gerombolan singa mengejar seekor rusa yang terpisah dari kawanannya, maka probabilitas datangnya bala bantuan dari kawanan rusa lain saat itu sangat kecil adanya. Naluri yang mungkin berkecamuk dalam kawanan rusa tersebut akan selalu mengatakan bahwa jika mereka berlari membantu, kawanan singa yang lain mungkin tidak akan pernah mundur ketakutan. Sebaliknya, kegirangan gerombolan singa tersebut semakin menjadi-jadi karena semakin banyak santapan yang datang menghampirinya. Tapi ini bukan tentang naluri, bukan tentang binatang, juga bukan tentang alam liar. Kita semua sama; memiliki akal dan hati (bukan sekedar naluri), kita adalah manusia (bukan seekor binatang), dan kita hidup dalam keteraturan kehidupan yang manusiawi (bukan di alam liar).

Saat seseorang mengatakan saya tidak memiliki kepentingan dalam kecamuk yang terjadi saat ini; maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut sedang menanggalkan akal dan hati nuraninya, melepaskan statusnya sebagai seorang manusia, serta menganggap bahwa ia tidak sedang hidup di antara manusia lainnya. Orang tersebut lalai, pikirannya kosong, hatinya hitam, serta jiwanya hampa.

Argumen Kedua: “Saya lahir di Indonesia dengan menjunjung tinggi adanya perbedaan, ikut campur masalah Palestina-Israel bukan sebuah hal yang patut saya lakukan!”

Potret kerumunan masa; salah satu orang di antaranya memegang papan bertuliskan "LAND YOU KILL FOR, IS NOT YOURS"
Photo by Mohammed Abubakr from Pexels

Dasar konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945, dasar ideologinya adalah Pancasila, serta semboyan utamanya adalah Bhinneka Tunggal Ika.

Pada alinea pertama dalam pembukaan UUD 1945 (bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan), sudah tertulis jelas bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia bersikap. Jika kamu masih bisa bersikap normal terhadap tindakan tidak terpuji yang mungkin saja terjadi di lingkungan sekitar seperti rumah, organisasi, sekolah, dan lain sebagainya, maka seharusnya sikap netral itu tidak pernah terbesit dalam hati; tidak pernah terlintas dalam akal; serta tidak pernah terpatri dalam jiwa dan raga.


Sila pertama dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (percaya sepenuhnya bahwa ada kekuatan prima Sang Pencipta kehidupan yang mengatur segalanya). Jika kamu menganut ajaran dari salah satu agama yang ada di Indonesia, cobalah duduk sejenak, tarik nafas, sembari pikirkan tentang ajaran suci itu — kemudian jawab tiga pertanyaan berikut!

Adakah di dalamnya perintah untuk saling membunuh? Apakah tindakan kejam selayaknya genosida diperbolehkan? Benarkah perlakuan seperti membunuh anak-anak, menghancurkan fasilitas umum yang sedang menjadi tumpuan kepentingan kemanusiaan, serta tindakan semena-mena lainnya itu adalah amal baik?

Tentu saja, jawabannya akan selalu menjadi tidak, bukan? Jika benar demikian, maka alasan seperti apalagi yang bisa digunakan untuk tetap bersikap netral’?

Jika kamu tidak menganut ajaran dari salah satu agama yang ada; kemudian menyatakan diri sebagai seorang yang tidak mengakui eksistensi tuhan, maka mari berpindah menuju sila kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pahami makna kata kemanusiaan, adil, serta beradab, kemudian alihkan konteks kepercayaan pada tuhan dalam tiga pertanyaan sebelumnya menjadi konteks kemanusiaan yang adil dan beradab. Bisakah jawaban ‘iya’ tetap muncul?

Jika kamu adalah manusia yang beragama, pahami keadaan saat ini sebagai umat beragama yang baik, tunduk, dan percaya pada ajaran agamanya masing-masing. Jika kamu manusia yang tidak percaya akan agama, maka cukup pahami keadaan saat ini sebagai manusia yang punya rasa kemanusiaan terhadap manusia lainnya. Jika kamu bukan dari kedua-duanya, maka cukup tutup halaman ini dan berhenti membaca; karena menulis ribuan kata dalam tulisan ini hanya saya tujukan untuk dibaca oleh manusia saja.


Bhinneka Tunggal Ika? Coba perhatikan sejarah lahir (1914) dan dibubarkannya (1966) Partai Komunis Indonesia (PKI), pernakah kamu berpikir atas hak setiap orang untuk mendirikan, membangun, dan melakukan aktivitas organisasinya secara bebas? Lantas mengapa organisasi ini tetap dibubarkan?

Tentu saja, jawabannya adalah adanya ketidaksesuaian organisasi tersebut (statusnya, kegiatannya, tujuannya) dengan payung hukum yang ada. Sama halnya dengan aksi terkutuk yang sedang Israel gencarkan hari ini; apakah sesuai dengan payung hukum atau norma yang berlaku di Indonesia? atau bahkan di belahan dunia lainnya? Lagi pula, Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa Indonesia untuk tetap bergerak maju dalam satu-kesatuan meski didasari dengan pelbagai perbedaan yang ada. Makna umum dari semboyan ini memang bisa saja (dan memang seharusnya) berlaku di tempat asing di negara-negara lain. Hanya saja, bersikeras menyeret-nyeret hal ini sebagai tameng untuk bersikap netral adalah sebuah kebodohan yang selayaknya dipertontonkan dengan sengaja.

Argumen Ketiga: “Jika Palestina merdeka, artinya kiamat akan segera datang. Bukankah kita lebih baik diam kalau tidak mau kiamat terjadi?”

Seseorang mengibarkan bendera Palestina; dan seorang yang lain mengangkat papan bertuliskan "PALESTINE WILL BE FREE" dalam sebuah kerumunan masa demonstrasi.
Gambar oleh Xach Hill dari Pexels

Kiamat atau hari akhir merupakan ketetapan tuhan yang tidak bisa dielakkan. Bagi seorang yang beragama Islam, percaya akan tibanya hari akhir ini merupakan sebuah kewajiban yang mutlak. Hanya saja, hak untuk mengetahui kapan hal tersebut terjadi sama-sekali bukan milik manusia. Ada beberapa catatan tentang argumen ketiga ini sebelum mendapatkan tanggapan lebih lanjut.

Poin pertama; jika kekhawatiran akan datangnya hari kiamat ini berasal dari rumor umum tentang kemerdekaan Palestina, maka hal tersebut juga masih perlu dipertanyakan. Berikut arti dari penggalan hadits yang umumnya dipakai:

“(…) Kemudian, Rasulullah SAW meletakkan tangannya di atas kepalaku, atau dia mungkin mengatakan ‘hamah’ (leher/kepala), lalu dia berkata: ‘Wahai Ibn Hawala, ketika kamu melihat khilafah telah turun ke Baitul Maqdis (Yerusalem), maka saat itu akan mendekat gempa bumi, bencana besar, dan masalah besar. Pada hari itu, saat Kiamat akan lebih dekat bagi manusia daripada jarak ini antara tanganku dan kepalamu.” (HR. Abu Dawud).

Dalam catatan kaki yang ditulis oleh editor yaitu Syuaib Al-Arnaout menyebutkan bahwa hadis ini dianggap lemah. Hal tersebut disinyalir dari perawi-perawi dalam rantai riwayat hadis ini yang menimbulkan keraguan. Di lain sisi, beberapa penafsir hadits dalam perkara ini menyebutkan bahwa khalifah yang dimaksud (beserta gempa bumi, bencana besar, dan masalah besar) sudah terjadi pada zaman kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan (660 M) dan kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan (699 M) — baca selengkapnya di sini. Selanjutnya, saat frasa yang menyebutkan maksud ‘jarak terjadinya kiamat itu lebih dekat antara tanganku dan kepalamu’, kita pun tidak pernah tahu bagaimana analogi jarak tersebut dapat dikonversi ke dalam waktu nyata (real time) sehingga setara dengan perhitungan waktu yang kita pakai saat ini (selengkapnya baca di sini).

Poin kedua; Jika kamu takut akan terjadinya kiamat yang (mungkin) lahir dari sebuah perjuangan untuk membela kebenaran — selama puluhan tahun dan telah menelan puluhan ribu nyawa sebagai korbannya — maka coba perhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori berikut:

“Di antara tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan muncul, khamar diminum, zina dilakukan dengan terang-terangan, serta kaum laki-laki menjadi sedikit dan kaum perempuan menjadi banyak, hingga di tengah lima puluh perempuan hanya ada seorang laki-laki yang mengayomi.” (HR Bukhari)

Perhatikan setiap detil peristiwa yang disebutkan dalam hadits tersebut, kemudian tanyakan kepada diri sendiri apakah peristiwa-peristiwa yang demikian sudah terjadi? Jika iya, apakah kamu adalah salah seorang yang menjadi tokoh utama atas terjadinya peristiwa tersebut? Kalau iya, mengapa masih menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai alasan dari ketakutan tibanya hari kiamat jika kamu sendiri pun selama ini ternyata memiliki peran untuk mendekatkan jarak kepada hari akhir itu sendiri?

Poin ketiga; pada dasarnya, hari kiamat (sekali lagi) adalah hak istimewa serta mutlak yang Allah miliki (Q.S. Al-Ahzab; 63). Kapan dan bagaimana kiamat itu terjadi semuanya atas ketentuan-Nya. Sebagai seorang muslim yang taat, mempercayai hari kiamat merupakan satu dari enam rukun iman yang ada. Takut akan terjadinya hari kiamat ini merupakan hal yang wajar karena ia bagian dari agenda kematian yang pasti. Namun, dari hal inilah seharusnya keimanan kita bertambah, ketaatan beribadah bertambah, serta kekuatan diri untuk menjauhi segala larangannya juga bertambah.

Pada akhirnya, menjadikan ketakutan diri akan tibanya hari akhir dengan berdiri di tengah-tengah, bersikap netral, atau bahkan tidak mau sedikitpun ikut andil adalah kesalahan besar. Kalau diperhatikan dengan lebih seksama, maka sikap netral itu mungkin adalah tanda kiamat itu sendiri (diangkatnya ilmu dan munculnya kebodohan).

Argumen Keempat: “Apapun yang saya lakukan untuk Palestina tidak akan memiliki efek; kecil ataupun besar!”

Seseorang sedang menyetir mobil dan memegang bendera Palestina di tangan  kirinya.
Gambar oleh Jagjeet Dhuna dari Pexels

Salah satu misi tak terlihat dari gerakan Zionisme ini adalah membuat seluruh dunia percaya bahwa tidak ada yang bisa dilakukan. Mereka bergerak dari tahun ke tahun secara manipulatif seakan-akan tindakan yang mereka sandarkan pada tujuan utamanya adalah sebuah kebenaran. Hal ini merujuk pada panjangnya penderitaan yang dialami oleh warga Palestina (utamanya di jalur Gaza) yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari dunia (poin ini merujuk pada gagalnya realisasi dari empat tujuan utama PBB).

Kebengisan setiap tindakan tanpa empati yang dilakukan Israel ini erat kaitannya dengan dukungan diplomatis Amerika Serikat. Negeri Paman Sam tersebut secara terang-terangan mendukung penjajahan yang dilakukan kepada negara yang bahkan telah merdeka sejak 15 November 1988 lalu. Pada pertemuan Sesi Khusus Darurat terakhir yang dilaksanakan oleh PBB, Amerika Serikat menjadi satu di antara 14 negara lainnya yang menolak adanya gencatan senjata antara kedua belah pihak (termasuk di dalamnya Israel itu sendiri). Meski seruan gencatan senjata demi kemanusiaan yang bersifat segera, tahan lama, dan berkelanjutan antara Israel dan Hamas telah dikeluarkan, namun aksi teror yang terjadi di wilayah Gaza dan Tepi Barat (West Bank) serta beberapa wilayah lainnya belum berhenti sama-sekali.

Fenomena tersebut adalah satu di antara banyak contoh nyata bagaimana penjajahan yang dilakukan oleh Israel tidak hanya berbentuk serangan militer; namun juga serangan pemikiran. Meski telah dipertontonkan di depan mata dunia dengan sangat amat jelas, kekuatan (kebrutalan dan kekejaman) Israel seperti tidak tergoyahkan (terlihat) sedikitpun. Maka karena inilah muncul frasa-frasa dukungan yang ramai di media sosial seperti ‘your social media means matter’; your voice matters; your sharing over social media is mean a lot; your voice through your social media platform is a help; your social media is a part of Palestinian voice, dan lain sebagainya muncul ke permukaan. Kurang lebih, frasa-frasa dukungan tersebut menekankan bahwa tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh setiap orang untuk mendukung Palestina; mendukung kemanusiaan. Apapun yang bisa dilakukan, maka lakukanlah meski hal itu kecil dan sederhana.

Pada intinya, kita tidak seharusnya diam; apalagi percaya diri dengan sikap netral itu. Jika kamu masih merasa bahwa apa yang kamu lakukan selama ini tidak ada gunanya sehingga menyerah dan berhenti untuk melakukan itu, maka jangan-jangan Israel juga sudah menduduki pemikiran — bahkan alam bawah sadarmu. Menyebarluaskan kabar duka dari Palestina serta tindakan arogan nan brutal dari Israel ke sosial media adalah hal kecil yang bisa kamu mulai sejak detik ini. Tidak memiliki dampak? Kamu salah besar! Justru dengan terus mengungkap fakta sebenarnya kepada dunia, perjuangan itu akan terus ada. Saat ini, saya, kamu, dan kita semua mungkin tidak memiliki kemampuan untuk terjun langsung membantu saudara-saudara kita yang ada di Palestina. Namun kenyataannya, kuasa digital yang kita pegang saat ini adalah salah satu cara untuk tidak tunduk kepada pelanggar hukum kemanusiaan.

Terkhusus untuk kamu yang beragama Islam, coba ingat-ingat kembali bagaimana kisah seekor burung pipit dengan paruh mungilnya terbang ke sana dan ke sini untuk memadamkan kobaran api yang membakar Nabi Ibrahim kala itu. Ia mengerti dengan sangat bahwa bukan tetesan air tersebutlah yang akan memadamkan kobaran api yang begitu besar; melainkan hanya kuasa Allah semata. Hanya saja, apa yang baru saja ia lakukan adalah bukti di mana ia berpihak (bukti keimanan). Karena sekali lagi, tidak ada yang tidak bisa dilakukan atas kecamuk yang sedang terjadi saat ini.


Memahami hati dan pola-pikir manusia memang tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Jika seandainya seorang yang memikul beratnya dahan pohon tersungkur, kalimat tanya ‘kenapa tidak hati-hati?’ mungkin masih tersirat di dada. Pada akhirnya, memahami semua ciptaan; termasuk manusia dengan beragam pola-pikirnya yang unik memang sukar adanya. Hari ini kita mungkin sedang menyaksikan dengan sangat baik akan kalah-telaknya hati nurani karena tertutup intelektual diri yang begitu tinggi.

Saat jalan menuju surga dipenuhi oleh ramainya orang-orang Palestina, kita masih bisa tenang dalam kebingungan akan jalan menuju panasnya api neraka yang mungkin kosong-melompong karena pengunjung dari destinasi akhir ini masih sibuk di dunia; masih sibuk mendewakan intelektual diri yang begitu tinggi sehingga dengan sangat mudah memilih untuk bersikap netral.

Saat pesan masa lalu yang tertulis di atas kertas proklamasi menyerukan kemerdekaan untuk setiap bangsa, kita masih bisa bersiul ria karena dialektika modern yang menguasai jiwa. Bahkan, saat ribuan nyawa anak-anak Palestina yang tak berdosa melayang sia-sia, saat sudah jelas bagaimana penderitaan itu digambarkan, kita masih juga mencari-cari banyak alasan untuk tetap diam dan bersikap netral.

Sekeras itukah hati manusia hari ini?


Sumber Data dalam Tulisan:

Muslim.or.id | Almanhaj | Databoks | Jabar NU Online | Muhammadiyah.or.id | Kajianislam.id | P3K UMA | Narasi | Databoks (1) (2) | Katadata | Detik | Metro TV News | CNBC Indonesia (1), (2), (3) | CNN Indonesia (1), (2) | BBC News Indonesia | United Nations

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!