Media Berita (Tak) Selalu Memiliki Dua Sisi yang Berbeda

Gambar oleh brotiN biswaS dari Pexels

Program pendidikan di Indonesia normalnya berjalan 12 tahun untuk setiap orang. Jika mampu, seseorang dapat menambah masa pendidikannya menjadi 4 tahun pada jenjang sarjana, 2 tahun pada jenjang magister dan 3 tahun pada jenjang doktoral. Jika tidak mampu, seseorang kadang hanya menyelesaikan 12 tahun awal pendidikannya sampai lulus sekolah menengah atas; bahkan 0 tahun atau tidak sama-sekali karena terkendala beberapa masalah hidup. Setelah menyelesaikan masa pendidikan yang berbeda-beda tersebut, pada umumnya mereka akan pergi untuk bekerja.

1/2 Fakta

Gambar oleh Circ OD dari Pixabay

Saya menyebut ini sebagai setengah fakta; kadang benar, kadang juga tidak.

Setelah menyelesaikan masa-masa pendidikan yang memakan waktu tahunan tersebut; mulailah hukum rimba berlaku secara nyata. Mereka yang beruntung terlahir dari keluarga kaya dan mampu, dapat tetap berlomba untuk mendapat kursi paling tinggi dalam karirnya. Ada yang menambah masa pendidikannya sampai gelar yang berlipat ganda tersemat setelah nama tunggal; sampai ilmunya mungkin tak bisa diwadahi dengan satu nampan besar. Langkahnya berlanjut dengan menguras harta untuk memulai bisnis besar; sampai seluruh titik tempat – bahkan milik masyarakat miskin pun lenyap menjadi abu demi berdirinya sebuah tembok cor super besar. (1/2 Fakta)

Berangkat dari keluarga yang mungkin pas-pasan atau relatif tidak mampu; ada orang yang terus berjuang dengan usaha terbaik untuk mengejar cita-citanya. Apapun resiko yang mengintai, ia tetap gigih dan tanpa ragu berlari; hingga pada akhirnya ia sukses dan lahirlah orang-orang dari keturunannya yang persis mirip dengan mereka pada paragraf pertama. (1/2 Fakta)

Beberapa orang yang lain mungkin tak lagi berminat dengan kata pendidikan karena ekonomi dan akal yang kurang mendukung. Mereka dengan bijak langsung mengambil langkah untuk menentukan nasib dengan pergi ke suatu tempat asing; memulai dengan bertanya hingga mendapat satu kepastian tentang sebuah pekerjaan. Beberapa kisah berakhir bahagia dan mampu menginspirasi; namun beberapa kisah lain berakhir menyedihkan. Tapi justru; dari peluh keringat dan kisah bahagia atau menyedihkan ini, lahirlah sebuah budi pekerti dan etika hidup yang lebih baik dari mereka yang berada pada paragraf pertama dan kedua. (1/2 Fakta)

Sebab yang pasti, terkadang orang susah lebih mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang ‘manusia’ melalui lika-liku hidup yang mereka lewati. Sebab yang pasti juga, terkadang orang yang punya kursi, berpendidikan, banyak uang dan menggenggam kekuasaan lupa kalau dirinya adalah manusia dan lebih memilih bertindak menjadi kawanan perusak kebahagiaan. (1/2)

Hal Inti dan Mendasar

Hal inti serta yang paling mendasar adalah; apapun pekerjaan yang sedang dijalani; besar-kecil, tinggi-rendah, atau jauh-dekat bukan berarti dapat menghalalkan segala cara yang jelas-jelas tidak sesuai dengan ketentuan.

Kalau anda yang membaca tulisan ini adalah seorang muslim, tinggal di Indonesia, dan masih berpijak pada tanah sebagai manusia; ingatlah semua syariat agama yang mengikat. Jika bukan muslim, ingat bahwa anda masih ada di Indonesia dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Kalau ternyata anda ‘mengaku’ bukan muslim dan ‘mengaku’ tidak tinggal di Indonesia; masih ada HAM yang menyatakan bahwa anda ‘manusia’ dan berlaku dengan sifatnya yang universal. Namun, jika ternyata anda bukan seorang muslim, tidak tinggal di Indonesia, tidak berpijak pada bumi dan ‘mengaku’ bukan manusia; sebaiknya lakukan apa saja yang anda mau.

Catatan: hal terakhir pada paragraf sebelumnya kadang berlaku dengan sendirinya, jika; ia muslim atau memeluk agama lain, ia juga tinggal di Indonesia atau tinggal di belahan negara lain, ia juga berpijak pada bumi, ia juga mengakui dirinya sebagai manusia – namun tetap berperilaku semaunya tanpa memperhatikan sekitar karena punya uang, duduk di kursi tinggi atau berkuasa dengan pangkat dan jabatan. Bagi mereka yang merasa seperti ini, semoga lekas sembuh.

Media Berita

Kembali lagi kepada pembahasan utama, yaitu media berita. Mengutip sebuah fakta dari halaman Kompas, data jumlah pengguna internet di Indonesia pada Januari 2021 mencapai angka 202,6 juta jiwa – naik 15,5 persen dari Januari 2020. Kemudian rata-rata penggunaan internet tersebut menghabiskan 194 menit di platform jejaring sosial; 170 menit untuk menonton streaming atau broadcast; 98 menit untuk membaca berita di perusahaan media; 90 menit untuk mendengarkan musik di layanan streaming; serta 44 menit untuk mendengarkan audio dari podcast atau radio.

98 menit atau 1 jam 38 menit rata-rata orang Indonesia membaca berita di media-media online atau cetak setiap harinya. Ini mengindikasikan bagaimana sebuah media berita seharusnya bertindak. Perlu disadari bahwa fakta yang menyebar dengan isi tulisan yang provokatif dapat menimbulkan jalan cerita kelam; akan tampil lebih mirip sifatnya dengan berita hoax. Karena ini, salah-satu tips yang diberikan oleh para ahli adalah memperhatikan sebuah informasi sebelum menyebarkannya; jika itu bohong maka jangan disebar, jika itu benar sesuai fakta juga harus mendapat pertimbangan terlebih dahulu tentang manfaat darinya.

Perusahaan media berita; baik dari bos, editor, reporter, hingga wartawannya patut untuk mendapatkan apresiasi tinggi atas kinerja mereka dalam menyediakan informasi aktual dan akurat untuk para pembaca. Apalagi dengan datangnya pandemi seperti tahun-tahun terakhir, media berita punya andil besar dalam menjaga keamanan mobilitas masyarakat. Namun beberapa oknum kadang masih ‘merasa’ bukan manusia; mereka menggali berita sesuka hati, kemudian tanpa basa-basi langsung menerbitkannya. Intinya beritanya hangat, mau fakta atau hoax ‘bodo amat’, yang penting bisa menyebar dengan cepat dan bisa menghasilkan uang, uang dan uang.

Sedikit Cerita Tentang Media Berita yang ‘Berkarat’

Gambar oleh Eko Anug dari Pixabay

Catatan: cerita berikut merupakan fakta yang penulis alami sendiri; dan pendapat serta pandangan murni dari analisis penulis.

Pada pertengahan Januari 2021 lalu, saya untuk pertama kalinya ‘malu’ (100%) dan ‘kecewa’ (900%) atas nama penulis dan pecinta literasi. Saat itu, terjadi sebuah pertengkaran antar sesama santri (kronologi tidak dapat saya sampaikan). Intinya, selepas kejadian ini keluarga santri yang mengetahui dan tidak terima kemudian membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Entah telah mendapat bayaran atau semacamnya, jelang satu-dua hari kemudian muncul 3 (tiga) berita dari 3 (tiga) situs berbeda yang membahas kasus ini. Asumsi saya pertama kali saat melihat headline dari ketiga berita tersebut sudah sangat buruk. Mereka (tiga situs tersebut) memulai berita ini dengan judul yang sangat provokatif dan tidak mengindahkan Kode Etik Jurnalistik.

Melihat isi beritanya, saya semakin girang dengan tata penyusunan bahasanya yang sangat amburadul. Kalau berani asumsi dari perkiraan saya pribadi, sang jurnalis dan penerbit belum tamat 12 tahun pendidikan normal Indonesia; atau bisa jadi seseorang telah menyewa situs tersebut dan menulis berita itu sendiri demi kepentingan keluarga pelapor atau semata-mata untuk mencoreng nama baik pondok; dan asumsi terakhir adalah pemilik situs atau sang jurnalis telah mendapat lipatan amplop pemanis.

Lanjut, dari 320 kata pada berita tersebut, saya menemukan (sekitar) 45 kesalahan dalam ejaan kata; berikut penggunaan beberapa tanda baca (ini belum termasuk penyusunan kalimat yang amburadulnya minta ampun). Mengapa bisa sampai ke tahap penerbitan? Apa tidak ada tim editor? Atau memang dari salah-satu asumsi saya sebelumnya adalah sebuah kebenaran?

Total dari 11 pasal yang tertera pada Kode Etik Jurnalistik, ketiga situs ini tak memperhatikan dan tak pula mengindahkan satu pasal pun (kecuali 2 pasal yang memang tidak ada dalam kasus ini).

Uniknya lagi, ketiga situs tersebut menampilkan berita dengan susunan tulisan yang persis mirip; jika diperkirakan mungkin angka presentase nya bisa mencapai 90% (hanya berbeda judul dan gambar serta kalimat pembuka dan penutup). Sampai saat ini (14 Desember 2021 – 06.00 WIB) hanya satu situs yang telah men-takedown berita tersebut; sisanya tetap saja; meski salah-satunya telah mendapat komentar miring dari beberapa netizen.

Terakhir, Terima Kasih Untuk Media Berita!

Seperti yang saya tulis sebelumnya, perusahaan media berita; baik dari bos, editor, reporter, hingga wartawannya patut untuk mendapatkan apresiasi tinggi atas kinerja mereka dalam menyediakan informasi aktual dan akurat untuk para pembaca. Apalagi dengan datangnya pandemi seperti tahun-tahun terakhir, di mana banyak keluarga yang harus mengurung diri di dalam rumah mereka – dan kebutuhan informasi untuk bekerja dan belajar tetap harus dipenuhi. Setiap media besar atau pun kecil; yang yang memang betul-betul bekerja dengan hati pasti tetap menjaga Kode Etik Jurnalistik mau bagaimanapun kondisi yang mereka hadapi.

Media memang selalu dan akan terus memiliki dua sisi berbeda; satu sisi tajam yang bersih dan mengkilap serta satu sisi lainnya yang berkarat dan kotor. Setiap media berita selalu mendapat tuntutan untuk menjadikan kedua sisinya tajam, sehingga kemudian lahir informasi-informasi yang akurat dan bisa memberikan manfaat kepada khalayak luas.

Namun terkadang beberapa (0.1%) menjadikan satu sisi lain atau bahkan dua sisinya sekaligus berkarat dan kotor, kemudian darinya lahir sebuah tulisan tanpa rasa malu; diedarkan dengan tujuan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain; mendapatkan title media berita viral; puas dengan pageviews ribuan dan akhirnya mendatangkan uang, uang dan uang.

Hal inti serta yang paling mendasar untuk diingat adalah; apapun pekerjaan yang sedang dijalani; besar-kecil, tinggi-rendah, atau jauh-dekat bukan berarti dapat menghalalkan segala cara yang jelas-jelas tidak sesuai dengan ketentuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!