Pagi ini, saya tak sempat memenuhi lapangan upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke 76 – yang bahkan jaraknya hanya beberapa langkah saja dari tempat saya sekarang; tak sempat pula bisa dengan khidmat dengan jiwa yang menggelora untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya; tak sempat pula untuk sekedar menundukkan kepala guna ikut tenang mengheningkan cipta, mengingat jasa para pejuang negara; bahkan untuk sekedar mengangkat tangan – memberi penghormatan terbaik untuk sang saka yang sepertinya hari ini akan begitu gagahnya berkibar di bawah sinar mentari. Yah, begitulah saya; seorang yang mengaku cinta terhadap bangsa dan negara tapi hanya dengan gaya; sepele untuk hal seperti ini saja bahkan tak kuasa.
Tapi, semoga saja saya hanya sendirian hari ini; semoga dari dua ratus tujuh puluh satu jiwa lebih di tanah Nusantara hanya saya yang seperti ini.
Pada intinya, atas segala hal yang telah terjadi; semua hal yang telah memporak-porandakan negeri ini dari segala penjuru sisi; semua hal yang telah menyulitkan keadaan negeri ini dari segala penjuru titik; tidak lepas dari semua hal yang telah ditakdirkan oleh Yang Maha Penguasa. Bahkan setetes embun yang jatuh dari salah-satu dedaunan pada salah-satu ranting-ranting dari banyak pohon pagi ini, semuanya memang sudah ditakdirkan dari awal penciptaan alam semesta.
Negeri yang Sebenarnya Kaya, tapi Terlalu Banyak Bedebah yang Terpelihara
Ribuan jiwa yang telah meninggalkan kita adalah ketentuan dan ketetapan Sang Pencipta; bahwa tak ada satu pun yang kekal kecuali Dia. Sama dengan segala sikap manusia Indonesia yang telah milyaran kali ditunjukkan secara diam-diam bahkan terang-terangan; yang menuai pujian sampai hinaan, yang berkata benar sampai yang berdusta, yang terbuka dengan kebijaksanaan sampai yang tertutup dengan kelalaian; semuanya bahkan telah tertulis menjadi sebuah takdir pada awal penciptaannya – tanpa terkecuali.
Jika Ibu Pertiwi bisa mendengar lewat perkataan hati yang tertulis ini; besar harapan bahwa memang akan betul-betul terbuka setiap rinci kebenaran yang selama ini tertutup. Biarkanlan masalah bencana alam; termasuk virus-virus dan segala hal sejenisnya menyiksa kami atas kehendak Tuhan – toh ini juga pertanda bahwa kamilah Indonesia, Tuhan memberikan cobaan ini maka kamil-ah yang mampu untuk menghadapinya.
Namun, urusan para manusia-manusia yang merangkak pelan untuk memaksakan kehendak dalam menentukan nasibnya, nasib anak-anaknya, nasib kerabat hingga nasib para keluarganya; yang menari di atas setiap genangan luka, tertawa pada setiap tetes air mata, sampai mereka yang dengan tega mengadakan pesta kebahagiaan di tengah-tengah sendu-kacau isi hati masyarakatnya?
Teruntuk Ibu Pertiwi
Ibu Pertiwi, hari ini saya kembali langitkan doa untuk para manusia-manusia itu. Semoga dengan angka merah pada hari ini di kalender, mereka tidak hanya melihat senggang waktu untuk berlibur. Semoga mereka juga dapat melihat senggang sisa usia di mana maut akan menyapa – dan segala hal yang telah para pemimpin dusta itu ambil, segala keputusan yang telah hakim ambil, segala tindak curang yang penguasa ambil, segala raup-untung dosa yang telah media ambil serta segala hal yang manusia-manusia lainnya dapatkan dari penderitaan masyarakat NKRI.
Ibu Pertiwi, mereka para manusia itu adalah anak-anakmu. Berdoalah kepada tuhan! Semoga terukir di hati dan jiwa mereka tentang segala kebenaran – tentang bagaimana mestinya mereka ada dan bagaimana seharusnya mereka bertindak. Jika tidak, tanahmu itu masih luas, cukup saja untuk menghimpit tubuh para bedebah itu dalam bau siksa kehancuran. Iyakan saja apa mau mereka, lalu bersama jemput mereka dalam asa penderitaan.
Maaf, salah-satu anak negeri mu ini terlalu rewel untuk meminta – tapi keyakinan akan tetap kuat pada Yang Maha Kuasa; bahwa Ibu Pertiwi ku hari ini akan segera bangkit, tumbuh dan tangguh untuk benar-benar merdeka.
Al-Amien Prenduan, 17 Agustus 2021.