Menanggapi Mimpi yang (Katanya) Sudah Dikubur Hidup-hidup (?)

Setelah 32 tahun dalam penantian, dari bumi Kamboja, akhirnya tim nasional sepak bola Indonesia kembali membawa pulang medali emas Southeast Asian (SEA) Games. Tim kesebelasan yang dinahkodai oleh pelatih Indra Sjafri ini berhasil menaklukkan sang Gajah Putih, Thailand, di partai final. Jual-beli serangan, hujan kartu kuning dan merah, hingga beberapa insiden keributan antara pemain membuat laga puncak kali ini berjalan dengan sangat dramatis. Skor imbang 2-2 pun bertahan hingga peluit panjang tanda dibunyikan. Dengan tekad, keyakinan, serta mimpi untuk mengukir prestasi, Rizky Ridho dan kawan-kawan kemudian memperbesar keunggulan pada 2 x 15 menit waktu tambahan dan memantapkan mereka sebagai kampiun setelah berhasil menggiling habis Thailand dengan skor telak 5-2. Medali emas cabang olahraga sepak bola ini adalah medali emas ketiga bagi Indonesia setelah pada tahun 1987 dan 1991 silam skuad Garuda Muda juga berhasil melakukan hal yang sama.

Meski belum berhasil menjadi juara umum, namun antusiasme kegembiraan masyarakat tanah air dapat terlihat sangat tinggi setelah puasa gelar selama tiga dekade ini akhirnya berhasil disudahi. Momen kepulangan Timnas dengan masing-masing medali berkilau yang menggantung di dada juga dimeriahkan dengan sambutan dan arak-arakan oleh para penggemar sepak bola di sepanjang jalan GBK-Bundaran HI. Kebahagiaan dan haru tangis-tawa juga diungkapkan oleh para penggemar dan pengamat sepak bola melalui beragam postingan di media sosial seperti TikTok, Instagram, hingga YouTube.

Momen haru dan bahagia ini kemudian menjadi obat penawar dari rasa kecewa setelah pada akhir Maret 2023 yang lalu masyarakat Indonesia harus ‘dipaksa’ mengatakan ‘iya’ pada sebuah prinsip pendiri bangsa. FIFA mencabut status tuan rumah Indonesia untuk pergelaran Piala Dunia U-20 2023 berdasarkan beberapa alasan. Ramai menjadi perbincangan, beberapa orang dengan berbagai latar belakang di media sosial kemudian menyatakan bahwa “Mimpi sang Garuda Muda sudah dikubur hidup-hidup.”

Tangkapan layar diambil dari halaman resmi FIFA pada 30 Maret 2023 yang lalu

Indonesia will no longer host this year’s FIFA U-20 World Cup.

Sebaris kalimat di halaman resmi FIFA tersebut (fifa.com) adalah akhir dari begitu banyak doa dan harapan yang dilambungkan ke angkasa. Rabu, 29 Maret 2023 yang lalu, Federation Internationale de Football Association (FIFA) resmi mengumumkan pencabutan hak Indonesia sebagai tuan rumah untuk pergelaran Piala Dunia U-20 (FIFA U-20 World Cup 2023) tahun ini. Keputusan tersebut dimuat setelah sebelumnya, Presiden FIFA, Gianni Infantino, mengadakan pertemuan khusus dengan Ketua Umum PSSI, Erick Tohir, di Doha, Qatar. Dalam pernyataan lengkapnya, FIFA memutuskan pencabutan ini berdasarkan situasi terkini yang saat itu sedang terjadi di Indonesia. Meski tidak menyebutkan dengan jelas ‘situasi terkini’ seperti apa yang dimaksud, namun berbagai pihak seperti media, pengamat, kelompok, hingga masyarakat pecinta sepak bola tanah air berasumsi bahwa hal ini adalah buntut panjang dari aksi penolakan beberapa tokoh publik – serta beberapa organisasi masyarakat terhadap keikutsertaan Timnas Israel dalam ajang dwi-tahunan ini.

Ada dua mata pisau yang dapat melukai jika dihadapkan ke arah mana saja; legitimasi Indonesia-Palestina dan hak mutlak Timnas Israel untuk berlaga.

Sumber: Kemenpora

Sikap penolakan Indonesia yang disuarakan oleh beberapa tokoh publik dan organisasi masyarakat terhadap hadirnya Timnas Israel diduga kuat menjadi penyebab utama atas jatuhnya keputusan FIFA tersebut. Beberapa kalangan masyarakat kemudian menganggap bahwa ada narasi politik yang sengaja dimasukkan ke dalam masalah ini demi tercapainya satu atau beberapa tujuan dari golongan-golongan tertentu. Pada dasarnya, legitimasi Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina memang sudah dipegang teguh sejak zaman Soekarno dulu. Bahkan, dalam pembukaan UUD 1945 pun, bangsa Indonesia secara tegas menolak dan mengecam setiap tindakan penjajahan yang terjadi di seluruh dunia karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Landasan ini, yang disuarakan oleh beberapa tokoh publik, adalah alasan paling rasional atas isu intervensi Timnas Israel yang muncul; di mana sampai saat ini pula, pencaplokan wilayah Palestina oleh Israel masih terus dilakukan.

Sebelumnya, Timnas Israel berhasil menjadi tim kuda hitam dalam ajang Piala Eropa U-19 yang digelar di Slovakia, 18 Juni – 1 Juli 2022 lalu. Berada di grup B bersama Inggris, Serbia, serta Austria, Israel berhasil menduduki posisi runner-up klasemen grup dan melaju ke babak semifinal untuk menantang sang juara bertahan, Perancis. Keberhasilan Timnas Israel dengan melaju ke babak semifinal ini juga membuat mereka secara otomatis mengamankan satu tiket menuju Piala Dunia U-20 2021 (ditunda karena Pandemi Covid-19). Terdapat total lima tiket Piala Dunia U-20 2023 yang dapat diperebutkan di zona kualifikasi Eropa; di mana lima tiket tersebut kemudian berhasil dikantongi Inggris sebagai juara Piala Eropa U-19, Israel sebagai Runner-Up, Perancis dan Italia sebagai semifinalis, serta Slovakia sebagai pemenang babak playoff. Posisi tersebut membuat kelima negara berhak secara mutlak untuk menuju gelaran akbar FIFA U-20 World Cup 2023 yang rencananya akan dihelat di Indonesia mulai tanggal 20 Mei hingga 11 Juni 2023 mendatang.

Dasar konstitusi negara yang sudah ada untuk menolak setiap penjajahan di atas dunia ternyata tidak memiliki kekuatan khusus untuk menolak Timnas Israel dengan keikutsertaannya sebagai satu di antara beberapa peserta. FIFA, dalam hal ini, adalah otoritas tertinggi yang memiliki aturan dan sistemnya sendiri.

Mari kembali, mari biarkan yang lalu menjadi sebuah memori kenangan dan perhatian; saat ini ada narasi ‘mimpi yang (katanya) telah dikubur hidup-hidup’ sedang menunggu tanggapan.

Sosok Indra Sjafri, Pelatih Tim Nasional Indonesia U-22 di SEA Games 2023, Kamboja

Sejatinya, Coach Indra Sjafri, staf pelatih, hingga para penggawa Garuda Muda telah menjawab hal ini. Keberhasilan mereka saat menyabet medali emas pada SEA Games 2023 yang lalu adalah jawaban paling masuk akal bahwa saat ini, dan seterusnya, tidak ada mimpi apapun yang bisa dikubur hidup-hidup. Beberapa orang, sebelumnya, telah secara tidak sadar sempat menenggelamkan asa sepak bola Indonesia pada kedalaman realita. Mereka berasumsi bahwa mimpi untuk tampil di depan milyaran pasang mata pecinta sepak bola dunia harus dikorbankan demi sebuah prinsip bangsa yang sesungguhnya, tidak boleh disangkut-pautkan dengan olahraga; termasuk di dalamnya sepak bola. Asumsi ini dilandaskan pada beberapa indikasi penolakan Timnas Israel untuk berlaga; demi sebuah legitimasi.

Perlu menjadi catatan bahwa keikutsertaan Timnas U-20 saat itu bukan mutlak berasal dari perjuangan mereka dalam melewati pelbagai babak kualifikasi seperti empat negara perwakilan Asia lainnya. Ada Uzbekistan, Iraq, Korea Selatan, serta Jepang yang berhasil mengamankan tiket menuju piala dunia U-20 setelah memastikan posisinya sebagai semifinalis Piala Asia U-20. Indonesia sendiri harus pulang tanpa hasil setelah gagal lolos dari babak penyisihan grup A dengan mengemas empat poin dengan tiga kali pertandingan. Namun, hasil ini (awalnya) tidak mempengaruhi keikutsertaan Timnas Indonesia dalam ajang Piala Dunia U-20 mengingat saat itu Indonesia (seharusnya) menjadi tuan rumah dan berhak mengantongi satu tiket sisa.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah ‘fakta’ bahwa jika memang pada akhirnya Indonesia tetap menjadi tuan rumah; kemudian tim kesebelasan Merah Putih tetap menjadi satu di antara 24 kontestan lain yang berlaga; maka hal ini juga bukan sepenuhnya adalah hasil dari jerih-payah para pemain untuk menembus empat besar Asia, melainkan hak istimewa Indonesia karena menjadi sang tuan rumah itu tadi.

Ada beberapa komentar menarik di antara ribuan komentar miring mengenai insiden yang beredar luas di media sosial ini. Komentar-komentar tersebut secara umum menegaskan bahwa para pemain, staf tim, serta masyarakat Indonesia secara keseluruhan tidak seharusnya larut dengan drama kesedihan yang terlalu dalam. Karena sejatinya, tidak ada mimpi yang bisa terbunuh atau terkubur begitu saja. Garuda Muda, saat itu, sejatinya hanya menangisi satu kesempatan yang hilang; bukan mimpi yang terkubur. Mimpi itu akan selalu ada; dan kapanpun bisa digapai dengan doa dan usaha.

Saya menyatakan hal yang serupa. Tim Nasional Indonesia U-22 SEA Games juga telah membuktikannya. Barangkali ada kesempatan yang mungkin sudah terlewatkan; tapi sekali lagi, tidak ada mimpi yang bisa dikubur hidup-hidup. Se-sederhana itu. Melalui perjuangan gigih yang telah mereka tunjukkan; memulangkan sang tuan rumah, Kamboja; kemudian menerbangkan Filipina, serta Timor Leste di fase grup; menenggelamkan harapan Vietnam di semi final; kemudian mengacak-ngacak Thailand di partai puncak adalah bukti nyata bahwa mimpi itu ada dan akan terus ada. Perjalanan Timnas Indonesia hari itu adalah bukti bahwa prinsipnya, sekali lagi, hanya ada satu prinsip dan seterusnya akan tetap sama; bahwa tidak ada mimpi yang bisa dikubur hidup-hidup, atau bahkan dibunuh seperti yang dilontarkan oleh kebanyakan orang.

Selamat untuk kembalinya medali yang telah pergi selama tiga dekade lebih. Tetap rendah hati, dan terus terbang dengan gagah di ketinggian sana, Garuda!


Sumber tulisan:

FIFA | Berita Satu | Kompas | Bola.Net |

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan salin-tempel (copy-paste) tidak diizinkan!