Pernah mendengar istilah ‘pewara’, ‘pelantang’, ‘salindia’, ‘takarir’, ‘senarai’, ‘gamit’, ‘tagar’, ‘penjenamaan diri’, dan istilah-istilah asing lainnya? Jika belum, mungkin kamu tidak tahu bahwa bahasa Indonesia hari ini tidak jarang menjadi asing di tempatnya sendiri. Beberapa istilah yang disebutkan sebelumnya sama-sekali bukan istilah asing; melainkan kosa-kata baku dalam bahasa Indonesia. Kasus seperti ini adalah contoh sederhana dari penggunaan istilah-istilah asing yang lebih familiar di telinga dan mata kita. Seperti kata master of ceremony, microphone, slide, caption, list, tag, hashtag, personal branding, dan lain sebagainya yang hampir mustahil tidak kita gunakan. Padahal, beberapa istilah asing tersebut, sejatinya memiliki terjemahannya masing-masing dalam bahasa Indonesia.
Saat seorang atau sekelompok penutur asli dari sebuah bahasa tidak lagi menuturkan bahasanya, maka probabilitas dari punahnya sebuah bahasa menjadi semakin tinggi. Jika kemudian sebuah bahasa punah, maka pengetahuan tradisional baik sosial ataupun budaya dari suatu bangsa juga akan menghilang. Hal tersebut kemudian berdampak buruk pada identitas masyarakat yang hidup di zaman setelahnya, di mana keanekaragaman serta keunikan dari eksistensi peradabannya hanya akan tinggal nama. Sampai di titik ini, bahasa—selain sebagai alat komunikasi—adalah kunci dari berlangsungnya peradaban suatu bangsa.
Meski bahasa Indonesia saat ini sudah memiliki lebih dari 278 juta penutur di seluruh dunia dan masih terbilang sangat jauh dari zona kepunahan, perlukah kita tetap mengutamakannya dalam kehidupan sehari-hari? Mengingat, rasa-rasanya sangat sulit sebuah bahasa akan punah jika penuturnya masih terbilang banyak—bahkan eksis di pelbagai penjuru dunia.
Bahasa Indonesia, Identitas Bangsa
Cenderungnya, identitas dari sebuah bangsa mengarah kepada adat-istiadat, kebudayaan, dan ciri khas dari bangsa itu sendiri. Dunia hari ini sedang melihat Indonesia sebagai negeri indah bak surga yang dihamparkan di atas permukaan bumi. Destinasi wisata, kuliner, hingga tempat-tempat bersejarah semuanya ada di Indonesia. Tak sampai di situ saja, kekayaan nusantara juga mencakup keragaman agama, suku, budaya, serta bahasa yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau yang membentang dari Pulau Banggala, Kabupaten Aceh Besar di barat hingga Muara Torasi, Kabupaten Merauke di timur.
Keragaman ini, sebagaimana yang telah disebutkan, adalah wajah indah Indonesia yang diperkenalkan di mata dunia melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ragam perbedaan tersebut, juga, menempatkan bahasa Indonesia sebagai unsur penting pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia inilah—dengan sejarah hebat lahirnya pada 28 Oktober 1928 silam—yang berhasil membuat 270 juta lebih penduduk di atas 1,9 juta meter persegi wilayah tetap menyatu dalam satu harmoni. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang tumbuh dari akar perjuangan; menjadi manifestasi dari jalan yang satu untuk bersama meraih kemerdekaan dan kejayaan bangsa.
Misi Internasionalisasi Bahasa Indonesia
Pada 20 November 2023 lalu, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi untuk konferensi umum UNESCO. Penetapan ini berlangsung di Paris, Prancis dalam Sesi Pleno ke-42 UNESCO. Kabar ini kemudian menjadi angin segar serta jalan setapak hijau dalam meneruskan misi internasionalisasi bahasa Indonesia. Misi ini, sejatinya telah tertuang dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009; di mana Pemerintah Indonesia telah diamanati untuk meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Melalui misi ini, bahasa Indonesia diharapkan dapat mengambil tempat tinggi nan kuat hingga menjadi satu dari beberapa bahasa internasional yang kini sudah diakui dunia. Dengannya, kedudukan bangsa Indonesia di mata dunia akan semakin tinggi; efek hebatnya pun akan merambat ke berbagai sektor kehidupan; mulai dari teknologi, pendidikan, sosial, budaya, hingga ekonomi.
Lalu, dari mana kita harus memulai?
Poin paling penting dalam tulisan ini adalah pengutamaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Misi internasionalisasi bahasa Indonesia memiliki kaitan erat dengan terangkatnya derajat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Untuk memulai dan mendukung misi besar ini, maka langkah paling awal yang bisa dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia adalah dengan mulai mengutamakan bahasa Indonesia itu sendiri; sebagai alat komunikasi lisan dan tulis misalnya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan telah mengatur penggunaan bahasa Indonesia ini secara lengkap. Pada bab ketiga tentang Bahasa Negara (pasal 26—44), rincian fungsi dan penggunaan bahasa Indonesia telah disebutkan; termasuk sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, penggunaannya dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan, hingga penggunaannya dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum.
Sulit rasanya jika harus memaksakan diri untuk selalu tegas menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar—baku sesuai KBBI atau benar sesuai EYD yang berlaku. Hal ini tak luput dari kebiasaan berbahasa sehari-hari yang tentu saja lebih mengedepankan kenyamanan dalam praktik berkomunikasi. Tak heran bilamana tren bahasa gaul selalu muncul-pudar-muncul-pudar berulang kali. Sejatinya, memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut; mengingat bahwa fungsi paling mendasar dari sebuah bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi. Hanya saja, dengan begitu indah dan kerennya bahasa Indonesia yang kita miliki saat ini, tidakkah kita yang seharusnya berbangga karena sudah dilahirkan sebagai penutur jatinya? Tentu saja! Selanjutnya, langkah pertama untuk kebanggaan ini adalah dengan mulai mengutamakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari!
Percaya Diri dengan Bahasa Indonesia
Tahu nggak sih kalau bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini sudah memiliki 278 juta penutur yang tersebar di berbagai belahan dunia (GoodStats). Angka besar ini kemudian didukung dengan adanya 172 ribu lebih warga negara asing yang sudah mempelajari bahasa Indonesia melalui Program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di 523 lembaga yang tersebar di 54 negara (Laman Instagram resmi Badan Bahasa). Tak sampai di situ, bahasa Indonesia saat ini juga telah resmi menjadi kajian studi di beberapa kampus top mancanegara; sebut saja Australia National University, University of Queensland, Monash University, Tokyo University, Hankuk University, Yale University, Laiden University, Harvard University, dan masih banyak lagi (Kompas).
Selain KBBI dan EYD yang umum dikenal sebagai bagian tak terpisahkan dari bahasa Indonesia, bahkan bahasa kita ini sejatinya juga sudah memiliki UKBI atau Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia. Tes kemahiran yang dikembangkan sejak tahun 2009 silam bahkan sudah memiliki konsep adaptif; di mana setiap soal yang muncul dapat menyesuaikan dengan kemampuan para pesertanya. Artinya, UKBI kita hari ini sudah memiliki kemampuan prediktif tentang sejauh mana kemahiran peserta yang sedang mengikuti tes; sekaligus mampu menyajikan soal-soal yang memiliki bobot tersesuai. Pada momentum Hari Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia, peserta UKBI telah menembus angka setengah juta pertamanya sejak generasi keempat diluncurkan pada 29 Januari 2021 yang lalu.
Bangga? Tentu saja, iya! Sebagai generasi harapan yang saat ini sedang memiliki visi untuk mengangkat martabat negeri dengan cita-cita Indonesia Emas 2045-nya, maka bahasa Indonesia memang sudah sepatutnya menjadi satu identitas pasti yang harus dijunjung setinggi-tingginya. Mengingat bahwa bangsa atau negara maju dan besar saat ini sudah tentu memiliki kekuatan bahasa yang memengaruhi berbagai sektor kehidupan dunia. Memiliki bahasa yang indah, berkualitas, dan sudah diakui secara internasional, seharusnya sudah cukup membuat kita percaya diri untuk menunjukkan bahwa “sayalah anak yang lahir dan besar di bawah kibaran sang saka merah-putih”
Singkirkan Istilah Asing, Temukan Padanan Istilahnya dalam Bahasa Indonesia
Mengutamakan bahasa Indonesia juga berarti meminimalisir penggunaan bahasa asing. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh sama-sekali menggunakan bahasa asing seperti bahasa Inggris, misalnya. Mengutamakan bahasa Indonesia artinya mendahulukan penggunaannya pada forum-forum atau kesempatan yang memang adanya penggunaan bahasa asing tidak terlalu dibutuhkan. Dalam ruang publik misalnya, pengutamaan bahasa Indonesia bisa dijumpai di Kereta Listrik Terpadu (KRL) Jabodetabek. Penulisan bahasa Indonesia yang lebih dominan; lebih besar dan ditempatkan lebih dahulu daripada bahasa Inggris adalah contoh komunikasi visual yang menerapkan prinsip pengutamaan bahasa Indonesia. Saat mendengarkan pengumuman di mode transportasi publik ini, kita juga lebih dulu mendengar bahasa Indonesia yang kemudian disusul dengan bahasa Inggris; di mana poin ini merupakan contoh dari komunikasi auditori yang menerapkan prinsip pengutamaan bahasa Indonesia.
Sejatinya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang kaya akan kosa-kata. Selain berasal dari bahasa Melayu sebagai asal-muasalnya, bahasa Indonesia juga menyerap beragam istilah asing yang kemudian diresmikan sebagai bahasa baku dalam KBBI. Istilah pewara yang merupakan padanan istilah dari frasa MC, pelantang = microphone, salindia = slide, takarir = caption, senarai = list, gamit = mention, tagar = hashtag, penjenamaan diri = personal branding, dan masih banyak lagi bisa kita semarakkan penggunaannya mulai detik ini. Jika hal ini berhasil diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari, bukan hanya bahasa Indonesia yang tidak akan menjadi asing di tempatnya sendiri, tapi kualitas serta mutu bahasa kita juga akan semakin kuat.
Mulai dari yang Paling Sederhana: Manfaatkan Media Sosial
Sampai kuartal ketiga tahun 2023 lalu saja, rata-rata orang-orang dunia menghabiskan waktu hingga 6 jam 41 menit setiap harinya. Dua sosial media yang sebelumnya diakuisisi Facebook: WhatsApp dan Instagram menempati posisi paling atas sebagai media sosial terfavorit dengan persentase di atas 15% dibandingkan beberapa media sosial besar lainnya (Datareportal). Hal ini tentu menunjukkan bagaimana media sosial mengambil tempat penting sebagai wadah berinteraksi orang-orang global. Sebagai bangsa yang kini juga hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi digitalnya, rasa-rasanya hampir tidak mungkin tiada hari tanpa menelusuri beberapa postingan terbaru di media sosial, bukan?
Hal ini tentu merupakan kesempatan emas untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya guna menebar pengetahuan tentang bahasa kepada lingkungan sekitar. Semakin banyak orang yang tahu, maka semakin meningkat pula kualitas literasi yang ada. Memanfaatkan media sosial juga tidak selamanya harus menjadi pemengaruh (influencer) dengan ragam kontennya yang menarik atau pengikutnya yang mencapai angka ribuan bahkan jutaan. Pada titik ini, setiap orang cukup mengambil peran dalam dua kondisi berbeda; sebagai orang yang mau belajar dan sebagai orang yang mau berbagi.
Demikian dengan bahasa, mensyiarkan pengetahuan tentang bahasa Indonesia tentu sangat bisa dilakukan oleh siapa saja. Memosting foto di Instagram, mengunggah kegiatan sehari-hari di WhatsApp, menulis utas demi utas opini di X, hingga membuat video kreatif di TikTok bisa menjadi media pembelajaran bagi semua. Tentu, kita sendiri yang harus memulainya; memulai untuk menyertakan takarir dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan mengabaikan bahasa asing jika memang tidak diperlukan.
Mengutamakan Bahasa Indonesia adalah Representasi Nyata dari Pribadi yang Cinta Tanah Air: Peran Kita Semua!
Sejuta keajaiban negeri akan seterusnya menarik pelancong dari mancanegara untuk datang. Pandangan dunia terhadap Indonesia baik secara umum ataupun khusus kita yang akan tentukan. Hari demi hari, sang saka Merah-putih juga akan terus berkibar tinggi dengan kegagahan kepakan sayap sang Garuda. Suatu saat nanti, mimpi kita untuk Indonesia yang lebih maju dan bermartabat akan benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Hari ini, kita cukup mengambil peran untuk memperlihatkan bagaimana sejuta keajaiban itu ada di seluruh bumi ibu pertiwi; keanekaragaman budayanya, sukunya, adatnya, dan tentu bahasanya.
Melalui tulisan ini, saya mengajak para pembaca yang budiman, seluruhnya, untuk mulai menyandarkan diri pada kenyataan bahwa bahasa kita saat ini, adalah bahasa yang indah, kaya, dan penuh dengan pesona. Menjaganya tentu tidak perlu dipertanyakan akan siapa yang harus melakukannya. Mari berbahasa Indonesia; mengutamakannya dalam kehidupan sehari-hari. Hingga suatu saat nanti, kita tidak lagi bertanya ‘bagaimana kita menyebut ini atau itu dalam bahasa Inggris?’, melainkan orang-orang di luar sana yang akan selalu bertanya ‘how do I say this in Indonesian?’