Cerita, Kesan, dan Pengalaman saat Menjadi Santri di TMI Al-Amien Prenduan

Pagi, tanggal 2 Ramadhan 1442 hijriyah ini, saya sempat mengkalkulasi jumlah lembaga pendidikan (sekolah) menengah di Indonesia pada tahun ajaran 2019-2020 melalui laman Pusat Data dan Teknologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada data statistik yang saya dapatkan di halaman tersebut, terdapat total 68.804 lembaga pendidikan (sekolah) menengah yang terdaftar dan berlokasi di berbagai titik penjuru Nusantara. Mengetahui jumlah besar tersebut, saya kembali membuka laman Google dan mengetik “Jumlah pondok pesantren di Indonesia tahun 2020” untuk mengetahui seberapa banyak lembaga pendidikan Islam yang satu ini eksis di bumi Nusantara.

Saya mengarah pada laman resmi Pangkalan Data Pondok Pesantren Kementrian Agama Republik Indonesia dan meng-klik statistik data di salah-satu menu pada laman tersebut. Kemudian, muncul sederet tabel yang menunjukkan jumlah pondok pesantren pada masing-masing 34 provinsi di Indonesia. Jumlahnya? Ada sekitar 26.974 pondok pesantren dengan jumlah total santri mukim (menginap/menjalani pendidikan langsung di pesantren) mencapai 1.444.527 santri dan tidak mukim sebanyak 1.202.556 santri.

Tulisan ini hanya sekedar cerita dan kesan saya tentang sistem pendidikan yang berjalan di pesantren, khususnya di Ma’had Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah, Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Entah, kali ini saya hanya ingin menulis dan berbagi, siapa tahu pada waktu-waktu tertentu yang tidak semua orang sadari, satu-dua orang tak sengaja membaca sampai akhir tulisan ini dan mendapat manfaat darinya. Semoga saja!

Sebelum Mengenal Al-Amien Prenduan

Tahun 2016 silam, saya sempat bingung dengan masa-masa pendidikan yang akan saya jalani setelah lulus dari madrasah tsanawiyah di desa. Angan-angan tentang pendaftaran siswa baru di sekolah-sekolah negeri sudah terbesit dalam hati dan haluan pikiran. Namun, di lain sisi saya juga masih terganggu dengan pemikiran bahwa sepertinya saya harus menjadi santri untuk memperdalam ilmu agama. Hanya saja, persentase keberhasilan membujuk hati pada hal kedua ini agak kecil rupanya; mengingat waktu itu, saya gemar sekali mengotak-atik komputer beserta sistemnya, plus ‘sok jago’ dalam mata pelajaran Bahasa Inggris.

Hingga pada akhirnya, saat hari-hari terakhir bersama kawan-kawan sebelum menghadapi Ujian Nasional, seorang guru Bahasa Inggris menanyakan perihal ke mana saya akan lanjut setelah lulus nanti. Saya menjawab bahwa saya akan melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri di kecamatan. Bermula di sini, doktrin masuk. Guru saya itu menyarankan bahwa dengan kemampuan saya dalam memahami mata pelajaran Bahasa Inggris, saya lebih baik melanjutkan pendidikan ke Al-Amien; atau jauh lebih baik lagi jika tetap melanjutkan pendidikan di SMA pada lembaga yang sama dengan MTs saya waktu itu; daripada bersikeras hati untuk masuk SMA Negeri. Konsep dari pembicaraan guru Bahasa Inggris saya pada hari itu agak remang-remang di kepala; yang saya tangkap adalah bahwa lebih baik melanjutkan pendidikan ke pesantren saja, bukan ke SMA Negeri yang sudah elit sekalipun – dengan alasan apapun.

Awal Mula Menjadi Santri TMI

Pada suatu malam, saat seorang tamu berkunjung ke rumah dan juga menanyakan perihal tentang ke mana saya akan melanjutkan pendidikan setelah lulus nanti; dengan yakinnya saya menjawab ‘Ke Al-Amien’. Saya tidak tahu betul kenapa semudah itu saya menjawab pertanyaan semacam ini. Padahal, kata Al-Amien baru terdengar tiga kali di kedua telinga; pertama saat ikut lomba Parade Marching Band di Kabupaten Sumenep tahun 2014; kedua saat penutupan kegiatan Perkemahan Umum Sekolah dan Yayasan pada tahun 2015; dan terakhir dari guru Bahasa Inggris yang saya ceritakan sebelumnya pada masa pra-UN tahun 2016.

Singkat cerita, akhirnya saya benar-benar menjadi santri di TMI Al-Amien Prenduan pada Ahad, 24 Juli 2016 dengan sekitar 300 santri lainnya. Melalui tahap demi tahap pendaftaran dan melengkapi berkas-berkas, menyelesaikan proses administrasi keuangan, mendapatkan kartu tanda santri, menerima perlengkapan-perlengkapan awal seperti kasur dan bantal, kemudian menuju kamar dan memilih salah satu kotak (lemari), memasukkan barang-barang, memenuhi panggilan untuk prosesi penyerahan kepada Pengasuh Pondok, kembali lagi ke kamar dan akhirnya saya memulai kehidupan tanpa kedua orang tua dan keluarga.

Sesederhana itu menjadi seorang santri? Tentu tidak.

Kenapa Harus Menjadi Santri?

Jadi seorang santri? Mengapa tidak?

Dalam pikiran saya saat ini, menjadi seorang santri dengan niat dan tekad yang kuat itu adalah sebuah keputusan paling bijak yang seharusnya diambil oleh para pelajar; atau orang tua dari pelajar itu sendiri. Satu ayat dalam Al-Qur’an serta dua Hadits Nabi berikut rasanya sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadalah: 11)

(مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ. (رَوَاهُ مُسْلِم

“Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِع (رَوَاهُ الترمذى)

“Barang siapa yang kuluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang.” (HR. Tirmidizi)

Kenapa di TMI Al-Amien Prenduan?

Ada Aturan Dasar yang Sangat Berharga

Di TMI Al-Amien Prenduan, saya tidak bisa membawa, memegang serta memainkan handphone, keluar dari area pondok sembarangan; berinteraksi dengan kaum hawa yang bukan mahram; merokok, apalagi bermain dengan narkoba, makan enak setiap saat, atau bersantai-santai seenaknya. Saya juga tidak bisa berbuat apapun semaunya; karena semua ada aturannya – dan ketika ini saya langgar – maka disiplin diri terhadap syariat agama, hukum pancasila, serta bakti kepada orang tua pun gagal saya jalani. Hal ini berlaku untuk seluruh santri; dari santri baru hingga mereka yang telah berada di kelas paling tinggi.

24 Jam dalam Pendidikan TMI

Selain buku dan kitab, koran adalah imbuhan gizi untuk update ilmu pengetahuan bagi santri TMI Al-Amien Prenduan

Selanjutnya, di TMI Al-Amien Prenduan saya harus berbahasa resmi Arab/Inggris, memasukkan kaos ke dalam training, tidur dan bangun tepat pada waktunya; hidup mandiri, mengatur keuangan dan waktu semaksimal mungkin, tidak membeda-bedakan status teman, menghormati yang lebih tua, sayang pada yang lebih muda, mengikuti setiap kegiatan yang super padat dan masih banyak lagi. Hidup disiplin dengan setiap rinci aturan yang telah ada akan tertanam langsung ke dalam masing-masing pribadi santri TMI Al-Amien Prenduan.

Karena saat sedang menuntut ilmu; atau bahkan menjadi seorang santri, jihad fii sabilillah benar-benar harus diperjuangkan.

Serba-serbi keterbatasan dan keter-paksaan yang awalnya menyiksa hati dan pikiran; kemudian menjadi sebuah rasa syukur yang amat sangat mendalam akan nikmat bahwa saya mendapat kesempatan berharga untuk datang dan belajar di sebuah tempat terbaik; menerpa jiwa menjadi pribadi yang lebih baik serta memompa diri untuk menjadi pribadi yang penuh potensi.

Bayangkan, ketika seseorang dapat mengubah semua keterbatasan dan keter-paksaan tadi menjadi sebuah kebiasaan; maka sungguh beruntung ia karena dapat berpikir dan bergerak bebas, namun tetap aman dalam lingkar batas hukum atau syariah yang ada.

TMI – Miniatur Indonesia

Sekali dalam setahun, santri-santri TMI bersama MTA digabung untuk menampilkan budaya khas daerah masing-masing pada acara Parade Konsulat

TMI Al-Amien Prenduan adalah tempat saya mengenal dengan lebih nyata kehidupan multikultural Nusantara. Tahun 2016 silam saat mendaftar menjadi santri baru di TMI, saya langsung berkenalan dengan teman se-asrama yang ternyata, mereka berasal dari banyak daerah berbeda di Indonesia. Aceh, Jambi, Medan, Palembang, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Bandung, Bogor, Jakarta, Pekalongan, Banyuwangi, Jember, Surabaya, Denpasar, Flores, Mataram, Lombok, Maluku, Makassar, Manado, Gorontalo, hingga Jayapura bahkan Negeri Jiran, Malaysia semuanya bercampur aduk dalam satu asrama. Kami hidup satu-padu dalam kurun waktu satu semester berbahasa Indonesia untuk mengenal satu sama-lain dan belajar mendalami bahasa resmi, kemudian pelan-pelan beralih ke dalam percakapan bahasa resmi, Arab atau Inggris.

Dari perkenalan dengan teman-teman baru inilah, saya jadi lebih tahu tentang makanan, adat atau budaya dari daerah masing-masing. Selepas liburan misalnya, beberapa teman yang berasal dari Lombok membawa sambal super pedas khas daerahnya; mereka yang berasal dari Kalimantan membawa makanan khas seperti iwak pakasam, bingka kalimantan dan lain-lain. Beberapa teman yang berasal dari Jambi juga membawa Madu Sialang, madu khas hutan Jambi. Palembang, Medan, Aceh, Bogor, Jakarta, Pekalongan, Malang, Jember, Bali, Gowa, Maluku dan masih banyak lagi. Tak hanya makanan, selepas liburan biasanya teman-teman akan bercerita mengenai keadaan lingkungan rumah masing-masing setelah lama mereka tinggalkan, hal ini menambah ilmu dan pengetahuan baru tentang luasnya NKRI yang terbentang dari ujung timur ke ujung barat.

Saat sudah menjadi alumni seperti sekarang ini, keragaman dari latar belakang asal daerah kawan seperjuangan ini semakin terasa. Kemana pun arah atau tempat hendak dituju, selalu ada tempat untuk singgah – serta selalu ada keluarga yang siap untuk menyambut ria. Setiap kota, pulau hingga provinsi terjauh sekalipun.

TMI dan Ragam Kegiatan Ekstrakurikuler

TMI Al-Amien Prenduan juga merupakan tempat saya menggali potensi-potensi baru dengan sebaik-baiknya. Saat mendaftar sebagai santri baru 2016 silam, saya langsung dibuat bingung dengan beragam kelompok minat/ekstrakurikuler yang begitu banyak adanya. Dengan pendidikan yang terkemas dalam Core and Integrated Curriculum, Tiada Hari tanpa 4B (Beribadah, Belajar, Berlatih dan Berprestasi) dan berjalan nonstop selama 24 jam; terdapat beragam kelompok minat/ekstrakurikuler dan seluruh santri bebas untuk memilih dan ikut di dalamnya tanpa paksaan; berdasarkan minat, kemampuan, kemauan diri serta dukungan dari kedua orang tua/walinya.

Kelompok-kelompok minat di TMI Al-Amien Prenduan terbagi ke dalam beberapa kategori; seperti kebahasaan, keilmuan, seni, komputer, digital dan fotografi, pramuka serta olahraga. Dari 30+ kelompok minat dan ekstrakurikuler yang ada saat itu, saya memilih PEC (Pioneer English Club), SSA (Sanggar Sastra Al-Amien) kemudian bergabung ke ADC (Al-Amien Debate Club), dan terakhir menjadi bagian dari Redaktur Majalah Al-Qowiyyul Amien.

Ragam kegiatan ekstrakurikuler ini sepenuhnya tersedia gratis untuk seluruh santri bila ingin mengikutinya. Namun, ada aturan yang berlaku di mana setiap santri hanya boleh mengikuti 2-4 kelompok per orang saja. Pembatasan ini bertujuan agar setiap santri dapat fokus kepada pengembangan potensi mereka masing-masing dan memperdalamnya semaksimal mungkin.

Organtri ISMI – Demokrasi dalam Pendidikan

Amanah kepengurusan di ISMI TMI Al-Amien dimulai dari kelas V semester 2 sampai kelas VI semester 1 setiap tahun.

Ingin merasakan suasana demokrasi secara nyata?

Di TMI Al-Amien Prenduan, saya tidak selamanya menjadi santri yang harus mengikuti setiap kegiatan dan aturan dengan sebaik-baiknya. Pada saat beranjak dan duduk di kelas V pertengahan tahun, saya dan kawan-kawan (begitu seterusnya) mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari Organtri (Organisasi Santri) ISMI.

ISMI ini, tidak terbatas pada jabatan kecil dengan lingkup sempit seperti di OSIS pada sekolah-sekolah umum. Setiap santri yang sudah berhak dan pantas untuk menjabat di Organtri ISMI akan menjalani proses pelantikan secara simbolis dan istimewa langsung oleh Majelis Kiai. Satu angkatan yang umumnya terdiri dari 150-250 santri akan disebar ke beberapa jabatan sesuai dengan kemampuan mereka. Jabatan terbagi ke dalam tiga bagian umum, yaitu pengurus pusat, cabang dan perwakilan santri.

Layaknya sistem kepengurusan pada lembaga pemerintahan, pengurus pusat yang terdiri 20+ bagian kerja dalam 8 komisi bertindak sebagai dewan eksekutif. Mereka bertanggung jawab untuk melaksanakan setiap program dan mengawasinya; termasuk disiplin harian santri dari bidang syariah, bahasa, keamanan hingga lingkungan hidup. Kinerja mereka akan didukung oleh pengurus cabang, di mana pengurus cabang ini akan menjadi kakak atau orang tua santri di asrama, dengan bimbingan dan pengawasan real-time secara menyeluruh.

Dewan yudikatif dijalankan oleh mahkamah. Setelah menjalankan setiap tugas dan pengawasan, dewan eksekutif dapat mengajukan beberapa nama santri yang terbukti melanggar aturan yang berlaku kepada bagian mahkamah. Tugas mahkamah selain menetapkan sanksi sesuai aturan, juga membantu penyuluhan serta pengawasan dari setiap poin aturan yang ada bersama pengurus pusat.

Jika ada kesalahan atau keluhan dari santri tentang kinerja para pengurus, mereka dapat mengajukan suara berupa saran atau kritikan melalui dewan perwakilan santri. Para pengurus di dewan legislatif ini akan menampung setiap aspirasi santri untuk kemudian menjadi bahan evaluasi bersama para pengurus pusat dan cabang.

Pada akhir periode kepengurusan, setiap bagian di Organtri ISMI harus mempertanggungjawabkan apa-apa yang telah mereka lakukan dalam bentuk laporan tertulis. Laporan tersebut akan menjalani sidang bersama para ustadz penanggung-jawab di hadapan seluruh santri. Jika ada kebohongan atau ketidaksesuaian yang berdasarkan fakta, maka santri dapat mengajukan hak suaranya untuk menolak atau merevisi laporan tersebut.

Niha’ie – Langkah Menuju Awal Perjuangan

[Bersama Majelis Kiai] Saya dan 173 alumni TMI (Putra) Al-Amien Prenduan tahun 2020 saat foto kelulusan

Harus menjadi mahasiswa untuk merasakan KKN? Tidak berlaku untuk kami, santri TMI Al-Amien Prenduan.

Pada akhir masa-masa pendidikan saat menjadi santri di TMI Al-Amien Prenduan, saya harus menuntaskan banyak sekali program Niha’ie sebagai syarat mutlak kelulusan. Ada Khidmah Tarbawiyah salah-satunya, program ini merupakan program favorit di kebanyakan santri kelas akhir, termasuk saya. Khidmah Tarbawiyah adalah program implementasi pengetahuan dan uji coba terjun ke tengah-tengah masyarakat, sama halnya seperti di kampus dengan KKN-nya; hanya saja Khidmah Tarbawiyah ini berlangsung selama 10 hari saja.

Selain program favorit tersebut, saya bersama kawan-kawan kelas akhir harus menghadapi ujian praktek mengajar, menjadi imam shalat berjemaah, khutbah Jum’at, penulisan karya tulis ilmiah serta beberapa program penunjang lainnya. Sebagai ujian akhir, EBTA atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir akan menjadi pemanis perjuangan semangat belajar kami; di mana materi pelajaran sejak awal masuk pondok hingga kelas akhir akan dihidangkan tepat di hadapan selama 18-20 hari ujian.

Setelah lulus dan resmi menyandang gelar alumni, santri-santri kelas akhir tidak dapat langsung melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang strata/diploma. Sebagai latihan dan ajang uji coba sebelum benar-benar menyatu dengan masyarakat, pondok akan menyebar seluruh alumni pada tahun ajaran tersebut ke banyak lembaga lain yang membutuhkan; termasuk di Ma’had TMI Al-Amien Prenduan sendiri, Ma’had Tahfidz Al-Qur’an Al-Amien Prenduan, serta lembaga-lembaga lain di seluruh titik penjuru Nusantara. Selain menjalani pengabdian wajib satu tahun ini, santri yang punya kemauan dan niat yang kuat juga bisa memilih untuk menghafal Al-Qur’an secara kamil melalui program takhassus.

Jalan Setapak yang Tidak Sepenuhnya Mudah untuk Dilewati

Saya dan kawan-kawan kelas 5 IPSI A sebelum menjalani masa liburan akhir tahun

Tak perlu dipungkiri, menjadi seorang santri tidak juga sebegitu mudahnya. Ada banyak kawan-kawan yang memilih menghentikan langkahnya untuk berjuang bersama kami sebagai seorang santri. Ada beragam alasan; tidak betah, merasa tidak cocok, keterbatasan ekonomi hingga pengaruh luar dari lingkungan rumahnya. Hanya saja, hal ini memang tidak bisa menjadi tolak ukur dari keberhasilan seorang santri atau sebuah pondok itu sendiri. Peran orang tua, wali, keluarga, tetangga hingga masyarakat sekitar sangat perlu menjadi perhatian. Bisa saja, tekad dan kemauan yang sudah terbentuk kuat selama beberapa hari di dalam pondok hilang begitu saja saat ia menjalani liburan pertamanya.

Masalah yang saya hadapi?

Saya menghiasi malam pertama di TMI Al-Amien Prenduan dengan tetesan air mata. Saat sedang membaca Al-Qur’an di lantai 2 Masjid Jami’ Al-Amien Prenduan, saya teringat dengan kedua orang tua dan keluarga di rumah, merasa asing, terbebani pikiran yang ke mana-mana dan lain sebagainya. Saya pernah tidak sependapat dengan kawan, mendapat ejekan ketika tidak mau bersama, kehilangan barang karena teledor, sakit, serta masih banyak lagi.

Pengalaman buruk lainnya saya alami beberapa hari sebelum menjalani liburan akhir tahun untuk yang pertama kalinya; saya tidak sengaja melewatkan sholat subuh berjemaah di Masjid karena ketiduran setelah tugas malam, dan akhirnya saya digundul di depan seluruh santri TMI Putra. Alhasil, bersihlah kepala dari rambut saat menjalani masa-masa liburan akhir tahun untuk yang pertama kalinya.

Alhamdulillah, semuanya berjalan begitu saja. Hari, minggu, bulan serta tahun serasa hanya lewat dalam sekejap mata. Semua masalah tersebut justru jadi pemanis cerita kenangan setelah menjadi alumni seperti saat ini. Kuncinya, tetap percaya sepenuhnya kepada para Kiai, ustadz serta pengurus pondok lainnya bahwa setiap aturan yang telah ada dan ditegakkan semata-mata untuk kebaikan saya – serta setiap santri di TMI Al-Amien Prenduan itu sendiri.

Bagian Akhir

Saya bersama para asatidz dan mu’allim yang bertindak sebagai panitia pada Pekan Olahraga dan Seni 2021

Cita-cita paling mulia dari seorang hamba adalah berjumpa dengan Sang Khaliq dan Baginda Nabi; serta berkumpul bersama orang-orang yang shalih di akhirat kelak. Sebagai langkah mudah yang dapat ditempuh, adalah dengan menjadi seorang hamba yang dapat berjihad di atas jalan Allah SWT.. Demikian dengan jihad seseorang santri, ia akan tetap berada di atas jalan-Nya selama ia berada di atas jalan untuk menuntut ilmu.

Pada sisi yang berbeda, memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya merupakan tugas serta kewajiban mutlak para orangtua. Apalah arti dari keberhasilan yang bergelimang harta, jika nanti tak banyak yang dapat diperbuat sang anak lantaran amal-amal kebaikan tak dapat ia laksanakan. Perlu menjadi catatan bahwa anak yang soleh merupakan satu di antara tiga perkara yang tidak akan terputus ketika seorang hamba telah wafat.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca yang mungkin saat ini sedang bingung mengenai kemana pendidikan selanjutnya akan berlanjut; atau ragu apakah pendidikan di pesantren itu benar-benar baik dan layak untuk menjadi pelabuhan perjuangan berikutnya. Menjadi santri, tidak melulu tentang keterbelakangan seperti persepsi yang ada saat ini; hanya kitab, kiai dan adab. Tidak perlu khawatir tentang ucapan-ucapan bahwa lulusan pesantren itu sulit atau bahkan tidak bisa diterima di perguruan tinggi negeri/swasta/politeknik atau bahkan sekelas Akademi Kepolisian/Militer sekalipun. Hal tersebut hanyalah mitos belaka. Faktanya, TMI Al-Amien Prenduan merupakan pesantren mu’adalah (disetarakan), yang artinya statusnya sama dengan SMP/MTs/SMU/SMA/MA pada umumnya. Bahkan, TMI Al-Amien Prenduan telah mendapat pengakuan dari banyak universitas di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika hingga Eropa.

Tidak tertarik dengan TMI Al-Amien Prenduan? Tidak apa, tujuan dari tulisan ini memang bukan mempromosikan atau mengajak orang-orang untuk menjadi santri di TMI Al-Amien Prenduan. Hal tersebut saya khususkan karena saya adalah alumni dari pondok pesantren yang berdiri kokoh atas bumi Madura ini. Jika ada kesempatan untuk menjadi yang lebih baik, fokus kepada pendidikan, memusatkan setiap gerak-langkah untuk mengejar cita-cita serta aman dari buruknya dunia luar yang amat berbahaya seperti saat ini, mengapa tidak bersegera untuk mengambilnya? Saat ini, nanti atau kapanpun selagi ada kesempatan – di pesantren manapun, jauh atau dekat sekalipun.

Terima Kasih

Terima kasih sudah membaca sampai di baris ini, mohon maaf jika ada salah tulis dan rangkai kata. Jika anda berpikir bahwa tulisan ini penting atau bermanfaat, anda dapat menyebar tulisan ini ke sanak saudara dengan men-klik tautan sesuai dengan media share yang tersedia. Jika tertarik, pembaca dapat melihat sejarah, info-info menarik, kegiatan, berita, acara dan lain-lain tentang saya menghabiskan 5 tahun masa pendidikan dan pengabdian ini melalui media sosial resmi milik TMI Al-Amien Prenduan. Silahkan klik tautan di bawah ini:

3 Desember 2021 (Update)

Logo 50th TMI

Jum’at hari ini adalah 3 Desember yang ke-50 sejak berdirinya TMI Al-Amien Prenduan. Jaya selalu almamater tercinta; Viva TMI, Viva Al-Amien Prenduan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!