Saatnya Berbicara tentang Joki Tugas: Skema Apik Penggugur Cita-cita Bangsa yang Luput dari Perhatian

Gambar oleh Mufid Majnun dari Pixabay (2)

Tepat dua minggu yang lalu, berbagai elemen masyarakat di Indonesia telah memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2023. Mengacu pada dokumen tentang penetapan hari peringatan yang jatuh setiap tanggal 2 Mei tersebut, artinya, saat ini, kita telah merayakan Hardiknas yang ke-64 sejak ditetapkannya keputusan resmi pada tahun 1959 silam. Hardiknas tahun 2023 memiliki tema “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar”; di mana hal tersebut senada dengan langkah transformatif yang selama ini telah digaungkan oleh Kemdikbudristek dalam upayanya guna menjadikan sistem pendidikan Indonesia lebih baik lagi. Melalui Kementerian Kebudayaan, Pendidikan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia ini pula, bulan kelima di tahun 2023 saat ini juga dicanangkan sebagai bulan Merdeka Belajar.

“Ki Hadjar Dewantara” Sosok Bapak Pendidikan Nasional dan Menteri Pendidikan Pertama RI (gambar dari Pexels & Kemdikbud)

Memang benar, hari peringatan ini lahir dari inspirasi Ki Hadjar Dewantara melalui perjuangan besarnya untuk pendidikan Indonesia sejak masa penjajahan. Bahkan dalam salah satu kisahnya, Ki Hadjar—bersama dua orang temannya—harus menerima perlakuan tidak menyenangkan dengan cara diasingkan setelah menentang pemerintahan Hindia Belanda mengenai kebijakan ‘hanya keturunan merekalah yang boleh mengenyam pendidikan’. Namun sejatinya, peringatan hari besar ini bukan semata-mata bertujuan untuk mengenang hari kelahiran Bapak Pendidikan Nasional sekaligus Menteri Pendidikan RI pertama kita tersebut; lebih dari pada itu, peringatan Hardiknas merupakan satu momentum untuk kembali membulatkan tekad, menguatkan asa dan cita-cita, menggelorakan semangat nasionalisme, serta menumbuhkan rasa patriotisme untuk sistem pendidikan Indonesia yang baik dan lebih baik lagi.

Gambar oleh Mufid Majnun dari Pixabay

Pada pembukaan UUD 1945, terdapat sepenggal kalimat yang menjadi dasar dari mulianya tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia, serta selaras dengan cita-cita dari lahirnya Pancasila; bahwa kemerdekaan hadir untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Hanya saja, bagaimana dengan realita yang ada?

Tentu jawabannya adalah iya, benar, setuju, serta sesuai. Pengembangan kurikulum, penentuan kebijakan, pembangunan sarana-prasarana, pemberian bantuan beasiswa, perlindungan hak, perluasan akses, hingga apresiasi pendidikan adalah beberapa dari sekian banyak bukti konkrit dari kinerja aktif para pemimpin negeri yang sejalan dengan cita-cita mulia kemerdekaan. Namun, tak elok rasanya jika setitik noda hitam dibiarkan begitu saja, luput dari perhatian, kemudian menyebar dan mengotori sepenuhnya lembaran putih yang sebelumnya suci dan penuh dengan makna.

Mari berbicara hal sederhana mengenai satu fenomena genting di Indonesia yang saat ini ‘sepertinya’ sedang dan akan terus ‘dianggap biasa’. Pembahasan kali ini bukan tentang problematika gaji guru yang mungkin sudah basi walaupun tetap saja tak sesuai dengan harapan; bukan pula tentang kurikulum jitu yang dianggap berhasil walaupun hanya di tempat-tempat tertentu; bukan juga mengenai kasus colek dan salim uang pelicin yang sudah menjadi cerita lama walaupun tidak pernah ditamatkan; serta bukan juga tentang perkara murah dan mudahnya akses untuk berpendidikan yang hanya (tetap) terasa bagi mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Kali ini, mari berbicara tentang sesuatu yang ringan saja; sebuah skema yang hampir dianggap lumrah—padahal menentang cita-cita kemerdekaan untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Mari berbicara tentang skema dari praktik ‘joki tugas’.

Joki Tugas: Praktik Kebohongan yang Lumrah di Banyak Kalangan

Gambar oleh Arek Socha dari Pixabay

Secara umum, joki tugas merupakan praktik yang dilakukan oleh seseorang dengan memanfaatkan kemampuannya dalam bidang tertentu untuk menyelesaikan tugas milik orang lain. Lebih jauh lagi, skema joki tugas ini juga berjalan dengan peran aktif dari orang-orang yang memiliki beragam alasan sehingga tidak mampu untuk menyelesaikan tugasnya sendiri; di mana bukannya bertanggungjawab dan mengambil usaha untuk mendorong dirinya menjadi lebih giat, orang-orang ini kemudian lebih memilih melepas beban dengan membayar sejumlah uang kepada orang lain. Dalam kemas-rahasia umum yang tersimpan di masyarakat, keduanya memang sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan apa yang mereka harapkan; di mana sang penyedia jasa umumnya akan mendapatkan sejumlah uang, kemudian sang pembeli jasa mendapatkan akses kemudahan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Kemudian, apakah praktik ini sebenarnya memang dibenarkan?

Selama ini, joki tugas umumnya menyasar bidang akademik sebagai lahan praktik kerjanya. Joki tugas yang menawarkan berbagai solusi mulai dari penuntasan pembuatan makalah, paper, jurnal, skripsi, tesis, dan lain sebagainya pada hakikatnya adalah tindakan yang tidak dibenarkan. Secara umum, praktik seperti ini mengandung unsur kebohongan, pemalsuan, serta pengkhianatan intelektual terhadap institusi pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari hasil akhir dari pemegang kuasa tugas yang dikerjakan oleh orang lain adalah berasal dari praktik kebohongan; hasil tugas yang telah rampung yang dikumpulkan kemudian menjadi sebuah kepalsuan. Pada akhirnya, hasil evaluasi (baik nilai atau gelar) dari praktik tersebut akan menjadi bentuk lain dari sebuah pengkhianatan; baik terhadap dirinya sendiri, orang yang membiayainya, institusinya, hingga tempat ia bekerja atau berkarir di masa yang akan datang.

Dalam sebuah laporan yang terbit di laman detikX, sebuah ‘pabrik skripsi’ bahkan berdiri dengan mengantongi surat izin resmi dari Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kelompok ini menawarkan beragam joki tugas mulai dari pengerjaan skripsi, tesis, hingga disertasi dengan para pekerja profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing. Laporan yang terbit pada 25 Oktober 2022 yang lalu tersebut juga menyebutkan bahwa omzet paling sedikit yang didapat dari usaha ‘pabrik skripsi’ ini mencapai 50 juta rupiah setiap bulannya; serta telah berhasil menghidupi lebih dari 60 karyawan, dan sudah menyelesaikan setidaknya 15 ribuan lebih tugas akhir.

Bentuk sanksi dari praktik ini sesungguhnya dapat dilihat pada pasal 15 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur perkara jiplakan atau plagiasi; di mana gelar dari seorang lulusan akademik, profesi, atau vokasi dapat dicabut jika ia terbukti menggunakan karya ilmiah ‘jiplakan’ sebagai bahan untuk memenuhi syarat kelulusannya. Lebih jauh lagi, pasal 263 KHUP tentang pemalsuan surat serta pasal 378 tentang penipuan juga bisa menjadi landasan hukum untuk menjerat mereka yang terlibat dalam praktik joki tugas ini.

Skema Apik yang Memiliki Dampak Buruk Berkepanjangan

Gambar oleh jcomp dari Freepik

Terlepas dari bagaimana seharusnya hukum negara mengatur dan menyelesaikan permasalahan terkait, mari sepintas melihat bagaimana seharusnya orang-orang yang terlibat di dalam praktik dari skema kerja ini bersikap. Selain telah dilarang jelas melalui sudut pandang undang-undang yang berlaku; hukum moral serta adat bangsa Indonesia yang luhur tentu tidak akan memberikan tempat sedikitpun terhadap praktik dengan unsur kebohongan yang berpotensi merugikan banyak pihak ini. Lebih-lebih, sistem pendidikan di Indonesia saat ini tengah menjadi ujung tombak dari harapan meningkatnya kualitas SDM yang unggul dan berintegritas. Alih-alih membantu tercapainya cita-cita, praktik joki tugas seperti ini malah hanya akan memperburuk profil lulusan dari pelbagai institusi pendidikan yang ada di Indonesia.

Sesungguhnya, praktik joki tugas dengan beragam skema ini memiliki banyak sekali dampak buruk jangka pendek atau panjang. Perhatikan dan sadari beberapa poin berikut:

  1. Mereka yang menggunakan jasa joki tugas sama halnya dengan lari dari tanggungjawab. Padahal, tugas yang diberikan merupakan bagian tak terpisahkan di antara banyak proses yang harus dijalani.
  2. Mereka yang menggunakan jasa joki tugas artinya tidak siap berada di posisi di mana ia berada saat itu. Tugas siswa akan diberikan kepada siswa, tugas mahasiswa akan diberikan kepada mahasiswa.
  3. Mereka yang menggunakan jasa joki tugas artinya ragu akan kemampuannya sendiri. Padahal, tugas apapun yang didapatkan tidak akan pernah lebih besar dari potensi yang dimiliki.
  4. Mereka yang menggunakan jasa joki tugas adalah pengagum sifat manja. Bermimpi menggapai seberang lautan tapi tidak mau melewati deburan ombak yang menghadang.
  5. Mereka yang menggunakan jasa joki tugas sudah bisa dipastikan tidak jujur terhadap banyak hal; dirinya sendiri, guru atau dosen, teman-teman, orang tua, institusi, hingga tempat ia bekerja di kemudian hari.
  6. Mereka yang menggunakan jasa joki (mungkin) mendapatkan kemenangannya yang sementara. Berbangga karena telah mengatakan ‘saya bodoh’ terhadap dirinya sendiri.

Sangat disayangkan—meski tidak sepenuhnya—bahwa keenam hal tersebut muncul sebab sikap egois para penyedia jasa atau ‘penjoki’ yang terus-terusan berdalih bahwa pekerjaannya tersebut adalah legal dan memiliki dampak positif bagi kedua belah-pihak. Padahal, skema yang mereka praktikkan ini tidak begitu jauh berbeda dengan praktik suap-menyuap yang terjadi di pelbagai lingkungan. Orang-orang ini sejatinya sedang berdiri dengan angkuh dan gagah sebagai representasi nyata dari para penggugur cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Luput dari Perhatian atau Sengaja tidak Diperhatikan?

Gambar oleh Sam Williams dari Pixabay

Sebuah laporan investigasi yang terbit pada laman detikX tentang lahirnya ‘pabrik skripsi’ berbadan hukum (seperti yang disebutkan sebelumnya) merupakan bukti nyata bahwa ada unsur kesengajaan akan tidak diperhatikannya hal ini. Contoh lainnya adalah dengan memasukkan kata kunci ‘joki tugas’ di pelbagai kotak pencarian media sosial; di mana puluhan—bahkan ratusan—akun dengan skema dan tawaran yang tidak jauh berbeda akan muncul ke permukaan. Bahkan, jika kemudian mengetikkan kata kunci ‘joki tugas’ tersebut pada laman pencarian Google, lebih dari 630 ribu hasil pencarian akan muncul hanya dalam waktu kurang dari satu detik. Ada apa?

Jika praktik ini dibenarkan, tidakkah pelbagai pihak yang memiliki hak dan tanggungjawab memperhatikan segala dampak buruk yang ada? Jika praktik ini dibenarkan, apakah memang cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hanya omong-kosong belaka? Jika praktik ini dibenarkan, kemudian pantaskah sistem pendidikan nasional—dengan berbagai kurikulum yang dikembangkan sampai saat ini—bisa dibanggakan?

Jika praktik ini tidak dibenarkan, tidakkah pelbagai pihak seharusnya menutup rapat-rapat akses saat kata kunci tersebut dicari? Jika praktik ini tidak dibenarkan, apakah memang ada ketidak-mampu-an para pemangku hak atau jabatan untuk menerapkan sanksi yang lebih berkesan? Jika praktik ini tidak dibenarkan, kemudian pantaskah sistem pendidikan nasional disebut sebagai alat untuk diperjualbelikan?

Pornografi dilarang karena dapat merusak otak; narkoba dilarang karena dapat merusak mental dan kesehatan; pencurian dilarang karena dapat merugikan banyak orang. Praktik joki tugas yang memiliki tiga dampak buruk sekaligus (tersebut) tidak dilarang? Mengapa?

Mari belajar untuk menyatakan kebenaran, bukan membenarkan kenyataan! Semoga judul dari tulisan ini tetap diakhiri dengan kata ‘luput dari perhatian’; bukan kemudian berganti menjadi ‘sengaja tidak diperhatikan’.


Sumber data tulisan:

detikX | Literasi Hukum | BPK RI | MK RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!