Teman Karib, Cerita Sastra serta Izrail dengan Kehadirannya

Ilustrasi oleh David Mark dari Pixabay

“Pernahkah kau berpikir, kalau hari ini Izrail akan menemuimu?”

“Bukan pernah, tapi setiap saat!”

“Apa kau pernah menuliskannya?”

“Tentang apa?”

“Tentang kedatangan Izrail?”

“Pernah sekali!”

“Boleh saya membacanya?”

“Tentu!”

Saya mengeluarkan HP dari saku celana, membuka halaman peramban dan menuliskan alamat blog pribadi, mencari karya lama dalam kategori cerpen kemudian memberikannya untuk dibaca.

“Tapi tidak semua, hanya beberapa penggalan saja.”

“Tak apa!”

Katakan saja pagi ini kau sedang duduk santai sambil ditemani oleh aroma kopi bubuk hitam pahit yang sengaja tak kau campur-adukkan dengan gula. Tiba-tiba saja, kau terperanjat saat bayang-bayang Izrail memilukan mata – mengambil semua memori yang sengaja kau tenggelamkan di dasar ingatan, kemudian menancapkannya kembali ke dalam ulu jiwa. Kau ingin memberontak, namun setiap sendi tubuh tak lagi patuh akan keinginan.

Saat itu juga, ratusan bahkan ribuan momen perbuatan ingkar di masa lalu terbang membentur setiap dinding otak. Kau mengingat setiap dosa yang pernah terjadi, kemudian sadar bahwa setiap dosa tersebut ternyata belum sempat dimintai ampunan. Kau mengutuk diri sendiri, untuk apa puluhan tahun umur dihabiskan?

Detik berikutnya, nafas tersenggal-senggal; perasaan menjadi panik tak karuan dan kau semakin tersiksa. Seakan-akan ingatan itu adalah rantai besi yang mengikat kuat leher hingga tulang kerongkongan hancur, urat nadi kehidupan di sana putus dan rohmu terpental jauh melampaui angkasa raya. Terakhir, kedua bola matamu menegang, memberikan isyarat kegelapan – seakan-akan mereka akan segera melompat ke luar sebelum kau meneteskan sebuah bulir air mata. Penyesalan.

“Sudah ku duga, kau memang jagonya dalam urusan sastra seperti ini!”

“Hahaha. Entahlah, kau pasti masih ingat bagaimana perempuan-perempuan kampus dulu tidak pernah ramah – hanya karena aku suka menulis sastra, kan? Mereka menanggapi dengan kata berlebihan dan lain sebagainya. Kadang, aku kehilangan fokus bukan karena lapar; melainkan sikap mereka yang benar-benar menyiksa.”

“Hmmm, cerita yang cukup mengerikan.”

“Haha!”

“Tapi sepertinya kau sudah membuktikannya. Berapa banyak bini yang sudah kau punya?”

“Hmmm, baru satu!”

“Oh, baru satu toh. Kapan nambah?”

“Entahlah, sepertinya ini adalah satu-satunya.”

“Baguslah!”

Saya terus memperhatikannya. Mata layunya hanya menerawang ke langit-langit ruangan dengan rasa penuh pasrah. Ya, sekarang saya sedang bersama teman lama di sebuah ruang rawat inap di salah-satu rumah sakit swasta. Ia mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu. Kata dokter, ia sudah sadar dari koma beberapa jam yang lalu setelah kehilangan cukup banyak darah akibat benturan keras di kepalanya.

Dalam laporan yang saya terima dari pihak kepolisian, teman saya yang satu ini berkendara dengan menggunakan sepeda motor super kencangnya. Ia tidak memakai helm, melesat laju bagai kesurupan dan tidak memperhatikan rambu-rambu lalu lintas dalam keadaan mabuk. Malam itu, ia memetik buah apesnya karena lalai. Sesaat setelah menerobos lampu merah, sebuah mobil datang melaju dari arah kiri dan menghamtamnya dengan cukup keras. Sepeda motornya hancur berserakan, sedangkan ia terpental beberapa meter dan kepalanya membentur aspal yang dingin.

Untungnya, pemilik mobil segera berhenti dan membawanya langsung menuju rumah sakit terdekat. Kata pemilik mobil tersebut, darah sudah berceceran di aspal jalan dan ia tidak yakin apakah maut sudah merenggutnya atau secuil kemungkinan masih bisa diharapkan. Saat sampai di rumah sakit, ia segera meminta petugas untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan. Alhasil, karena rasa tanggung-jawab yang tinggi dari pemilik mobil ini, dokter dan beberapa perawat lainnya berhasil mendahului waktu, sesaat sebelum takdir benar-benar memilih cara yang berbeda.

Entahlah, sangat sulit rasanya saat membayangkan bagaimana ia berjalan dalam kehidupannya selama ini. Teman karib saya ini adalah seorang yang suka menyendiri, tidak suka bergaul, tertutup dan terbiasa sederhana. Ia sudah hidup sendiri saat umurnya baru menyentuh seperempat dekade; kedua orang tuanya meninggal dunia sedang kakak kandungnya pergi merantau dan tak pernah kembali. Sekolah ia jalani dengan tersenggal-senggal; SD delapan tahun, SMP empat tahun dan berhenti saat kembali dinyatakan tidak naik kelas di SMA. Dengan gigih, ia kemudian memilih ikut pamannya bekerja sebagai buruh di satu pabrik ke pabrik yang lain.

Setiap orang pasti memiliki kelebihannya masing-masing – begitu juga dengan teman saya yang satu ini. Suatu hari, ia datang kepada saya dan berkata ingin meminjam uang 20 juta untuk usahanya. Saya awalnya ragu, khawatir dan takut untuk mempercayainya. Bayangkan saja, bagaimana saya harus bersikap semisal 20 juta itu tiba-tiba ia bawa lari dan menghilang dari titik pandang. Tahu tentang masa lalunya, tahu tentang sikapnya dan tahu beberapa bagian dari cerita hidupnya tentu sudah cukup untuk membuat saya menolak permintaannya, bahkan sekedar untuk mengusirnya pergi. Namun, pada momen ini, saya mendapat pelajaran berharga; bahwa tak ada guna sekiranya ketika saya sendiri sukses namun membiarkan teman karib terombang-ambing oleh ombak cobaan hidup lalu menderita – ini adalah sebuah kegagalan yang paling menyedihkan.

Satu tahun berikutnya, ia datang kembali dengan sebuah mobil ceper beserta uang 20 juta tunai persis seperti apa yang saya pinjamkan hari itu. Saya baru tahu, bahwa ia meminjam uang bukan untuk memulai usahanya, atau coba-coba ikut tren mengundi nasib dengan enam sisi dadu, melainkan guna memastikan bahwa gaji puluhan karyawannya tetap terpenuhi dalam situasi apapun. Saat itu, ia bercerita bahwa usahanya sedang mengalami kebangkrutan dan beberapa karyawan takut untuk melanjutkan perjanjian kerja dengannya.

Karena alasan tersebutlah ia kemudian berani mengambil keputusan untuk datang kepada saya dengan harapan dapat meminjam sejumlah uang; setidaknya untuk melunasi gaji para karyawannya tanpa menunda waktu. Sikapnya yang berani mengambil resiko untuk tetap bertanggung-jawab atas kewajiban yang ia miliki adalah satu-satunya alasan saya menolak undangan seminar dan memilih untuk menjenguknya sekarang.

Zaman sekarang, sedikit sekali orang yang tetap mampu dan mau untuk mendahulukan kepentingan orang lain walaupun diri sendirinya sedang dalam jurang masalah. Kebanyakan saat sudah berada di puncak, orang-orang hanya bisa tertawa, kemudian menginjak-injak yang ada di bawah tanpa mengingat dari mana ia berasal. Sebenarnya, ini bukan tentang membanding-bandingkan nasib orang-orang dengan beragam kepentingannya masing-masing; melainkan tentang tanggung-jawab, dan bagaimana cara memikulnya dengan baik. Teman karib saya yang satu ini berhasil menjadi permata tanpa debu sedikit pun.

“Hei! Apa yang sedang kau lamunkan?”

“Hmmm..”

“Kau punya cerita skenario lain tentang kedatangan Izrail?”

“Mungkin ada, hanya saja belum sempat terpikirkan!”

“Saya punya sedikit gambaran, tapi sangat sulit untuk mengatakannya.”

“Kenapa bisa? Kau mau saya ambilkan papan tulis lalu mengajarimu sastra?”

“Hmmm, sudahlah! Terima kasih sudah mau menjenguk!”

“Tentu!”

“Kau tak mau pulang? Sebentar lagi aku akan pergi!”

“Apa yang kau katakan?”

“Kau mau mendengarkan bisikanku?”

“Tentu!”

“Sepertinya memang sulit untuk menggambarkan sosok Izrail dan kedatangannya; tapi saya rasa, sastramu juga tak mampu untuk sekedar menceritakannya!”

“Kenapa bisa?”

“Maukah kamu mendengarkan bisikanku untuk kedua kalinya?”

“Tentu!”

“Ia datang!”

“Siapa?”

“Izrail! Ia ada di sini!”

“Apa?”

Degup jantung saya tiba-tiba bertambah cepat. Saya menerawang ke segala arah, khawatir Izrail benar-benar sedang menampakkan diri; tapi tak ada apapun. Apa yang ia katakan?

“Apa maksud… Dokter! Tolong!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!