Mentari menyingsing pada ufuk barat dengan indahnya. Rona cahaya kemerahan terpancar mengagumkan; mengisyaratkan sebuah kekaguman bumi – pada langit tempat bayang-bayang hitam dari burung-burung yang beterbangan muncul. Senja menyapa.
Waktu itu adalah waktu terbaik Kami untuk menunjukkan pesona pada anak-anak desa. Di mata mereka, Kami adalah kumpulan cahaya terang nan indah yang berhamburan di udara, mengalihkan sedikit senyum bahagia dari gemerlap bintang-bintang yang menggantung di angkasa sana. Sebelum malam benar-benar gelap, mengubah alur cerita bahagia menjadi sebuah ancaman ketakutan. Dari Bangsa Manusia, untuk Kami.
Kami adalah Bangsa Kunang-kunang.
Kami adalah bangsa yang dianugerahkan kelap-kelip cahaya terang oleh Tuhan. Pada setiap senja yang telah tenggelam, Kami biasanya hadir ke haluan langit untuk sekedar bersenang-senang. Terkadang, Kami menjadi teman pulang untuk anak-anak desa yang tak sengaja lupa untuk memperhatikan hari, hingga lupa bahwa malam sebentar lagi akan tiba.
Sepanjang jalan setapak; di antara petak-petak sawah, jalan berbatu dengan pagar dari pohon-pohon bambu, di antara keriangan – Kami menemani mereka untuk kembali ke pelukan ibu masing-masing. Menjadi teman perjalanan mereka, kadang membuat Kami merasa lebih beruntung dari bintang yang menggantung di langit sana – mereka mungkin tak punya teman untuk sekedar bermain. Anugerah Tuhan ini benar-benar sungguh luar biasa.
Sampai suatu malam, ancaman ketakutan itu kembali kami dengar – dari Bangsa Manusia, untuk Kami.
“Dasar anak nakal! Kemari kamu!” sambil lalu menunggu sang anak yang mungil tiba di hadapannya, ia melihat-lihat sekitar. Kedua bola matanya kemudian nampak terkejut ketika pandangannya berubah, dan mendapati Kami yang baru saja menemani anaknya.
“Kenapa kamu pulang kemalaman lagi?” tanya ibu anak itu sambil menjewer telinga mungil anaknya.
“Ibu kan sudah bilang, kalau main itu ingat waktu! Ibu kan sering berpesan juga untuk pulang sebelum cahaya matahari hilang! Dan lagi, jangan masih menemani kuku-kuku hantu itu bermain!”
…
Petaka!
Manusia mana yang memulai teori ini? Apa hubungannya antara Kami dengan kuku milik para hantu?
Kami hanya segerombolan hewan kecil, muncul saat senja mulai bermuara dan kembali saat fajar hendak menyapa. Bangsa Kunang-kunang tak ada bedanya dengan binatang lainnya. Kami memiliki hidup, waktu bermain dan jiwa yang seharusnya tak ada kaitannya dengan para Hantu. Kita mungkin sama-sama muncul saat gelap tiba; sama-sama bergembira saat menemani para manusia berada dalam kegelapan; kita mungkin sama-sama selalu ingin hadir di samping bahu manusia – tapi Kami tak akan pernah mengagetkan dan menak-nakuti layaknya para Hantu, yang mungkin saat ini juga sedang menunggu manusia di balik sempitnya tembok, lebarnya daun pintu, lembabnya kamar mandi atau di antara ranting pepohonan yang terlihat kaku – di belakang dedaunan yang bergerak semu.
Kami adalah Bangsa Kunang-kunang
Itu bukan yang pertama kalinya. Beberapa kali senja sebelumnya, kami juga dianggap demikian. Bahkan, saat seorang anak kecil yang kami temani di sepanjang perjalanan yang sudah tak mendapat biasan cahaya senja, dan sampai di rumahnya dengan riang gembira; kami kembali mendapat tuduhan itu. Sama persis, kami dianggap sebagai kuku dari para Hantu. Mengerikannya, sang anak terhasut, kemudian ia mengambil sebuah tongkat yang dua kali lebih tinggi dari ukuran tubuhnya, menangis dan memukul-mukulkannya ke arah gerombolan Kami. Sebagian dari Kami berhasil menghindar, namun sebagian yang lain pasrah, menutup mata kemudian terbanting ke atas rerumputan kering.
Harus beginikah Kami ada?
…
Malam ini Kami tidak sendiri. Di antara ayunan dedaunan, mereka, para Hantu itu muncul. Berdesis, mendekat dalam berbagai bentuk rupa, menghampiri kami dan menawarkan hal yang sama; maukah Kami menjadi nyata dalam legenda, menjadi mimpi buruk, sebuah petaka yang nyata, menjadi bagian dari mereka?
“Bagaimana wahai Bangsa Kunang-kunang?”
“Tidak akan! Cahaya ini adalah anugerah keindahan dari Tuhan, kami tidak akan menjadi bagian dari Kalian!”
“Menarik! Lihatlah kami wahai Bangsa Kunang-kunang! Apakah kalian meragukan maksud kami untuk memberi pelajaran pada bangsa bumi yang bodoh itu? Kalian hanya menjadi bahan candaan bagi mereka. Dengan akal-sehatnya, keturunan-keturunannya dihipnotis agar tak lagi percaya pada anugerah itu. Lalu, kenapa dendam tidak kalian pilih sebagai balasannya?”
“Dendam untuk tangisan anak kecil yang tidak tau apa-apa?”
“Pikirkan! Kenapa sebangsa kalian masih dianggap bagian dari kami hingga saat ini?”
“Tidak ada.”
“Tentu saja. Anak-anak kecil yang sama ribuan bahkan ratusan ribu malam yang lalu, kalian biarkan tumbuh dalam hipnotis itu. Anak-anak itu sekarang sudah menjadi ibu dari anak-anak yang nanti juga akan menjadi ibu dari anak-anak mungil lainnya. Kalian yakin masih akan tetap hidup berdampingan dengan mereka?”
“Tentu, tidak akan!”
“Baik! Setelah ini lakukanlah apa yang harus kalian lakukan! Lindungi bangsa kalian dan beri Bangsa Manusia pelajaran!”
…
Alur cerita benar-benar berubah. Ancaman itu nyata, dan Kami adalah bagian dari itu. Petaka.
Mulai malam ini, Kami benar-benar akan menjadi seperti apa yang bangsa manusia pikirkan. Kami adalah kuku dari para hantu. Kami akan datang di setiap malam yang dingin tanpa air, lembab tanpa angin, pilu tanpa cahaya; merasuki kuku-kuku bangsa manusia yang kotor, mengendalikan setiap pikiran yang telah terlelap.
Setiap waktu itu tiba, satu per satu dari bangsa manusia yang menggorok lehernya sendiri dengan kuku-kuku kotor terkutuk itu. Korban akan berjatuhan, ketakutan akan menyebar di seluruh pelosok dan kematian akan menghias sejarah dalam menghitung umur dunia.
Kami adalah Bangsa Kunang-kunang, bangsa yang sebelumnya menjadi penghias keindahan langit malam, anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan. Mimpi buruk lagi petaka bagi mereka, Bangsa Manusia yang tidak mau memotong kuku-kuku kotornya, lalu membiarkannya terpelihara hingga tengah malam tiba.
Mulai saat ini, Kami akan menunggu di balik sempitnya tembok, lebarnya daun pintu, lembabnya kamar mandi atau di antara ranting pepohonan yang terlihat kaku – di belakang dedaunan yang bergerak semu – sejak senja bermuara, hingga saat fajar kembali menyapa. Kami mungkin ada di sekitar kamu, Bangsa Manusia; dalam berbagai bentuk dan wujud rupa.
Kami adalah kuku para Hantu, Bangsa Kunang-kunang.
Tidurlah!