Maret—Juni yang Mengesankan: Kilas Balik Sebuah Perjalanan

— Berawal dari sebuah gerutu hati, pada penghujung Maret saat diri bahkan tidak mengenali jalan setapak mana yang harus dilalui. Namun, waktu tidak pernah melambat. Saat April tiba dengan membawa banyak kejutan; Mei melambai pelan di hadapan seakan ingin berkata, “Juni akan datang, nanti, dengan membawa banyak tawa bahagia. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa ternyata tangisan juga tengah ia genggam dalam salah satu tangannya. Maka jangan diam! Jangan melambat! Berlarilah!”

Rangkaian paragraf ini saya tulis setelah satu bulan usai dengan proses seleksi pada ajang Pemilihan Duta Bahasa Tingkat Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023. Mengingat proses yang begitu panjang dan melelahkan, saya rasa akan lebih baik dan membanggakan jika apa yang saya jalani kala itu terabadikan dalam sebuah tulisan (secara sepintas) daripada hanya sebuah kolase foto semata. Ada beberapa catatan di setiap ujung cerita pada bab bulan yang berbeda; barangkali catatan-catatan tersebut bermanfaat untuk sekedar diingat, sekedar dimengerti, atau sewajarnya disimpan sebagai bekal perjalanan kita di kemudian hari. Selamat membaca!

Maret (Tentang Waktu)

Bahkan semester genap tahun ini belum berlalu setengahnya, namun ketakutan akan sebuah kegagalan sudah datang menghantui. Pasalnya, 20 sistem kredit skor yang saya ambil pada semester ini terakumulasi dari sembilan mata kuliah berbeda. Beberapa mata kuliah merupakan lanjutan dari semester sebelumnya dan beberapa yang lain merupakan mata kuliah baru. Terkesan normal-normal saja, namun satu di antara sembilan mata kuliah ini bahkan sudah memberikan teror—jauh-jauh hari—sesaat beberapa semester sebelumnya berakhir. Saya rasa, normalnya, sebagian besar mahasiswa di kelas ini juga merasa (setidaknya sedikit) cemas akan nasib mereka dalam tiga bulan mendatang.

Pada semester ini, satu mata kuliah bertajuk ‘Extensive Reading’ sangat sering masuk ke dalam daftar perbincangan dalam bungkus kecemasan tadi. Memang hanya satu, namun mengikuti arah aliran mata kuliah ini dari hulu ke hilir sepertinya memakan waktu lebih banyak ketimbang mata kuliah lainnya; bahkan jika kedelapannya telah menjadi satu akumulasi sekaligus.

Singkatnya, dalam kurun waktu satu semester, mata kuliah yang satu ini mengharuskan saya untuk menamatkan sepuluh novel, sepuluh buku bacaan, serta delapan jurnal yang semuanya berbahasa Inggris. Dari 10+10+8 novel/buku/jurnal tersebut, 28 tulisan dan 21 video berupa ulasan (review) harus lahir darinya. Beberapa di antaranya kemudian harus saya presentasikan di depan kelas. Alhasil, demi mengejar waktu yang sejatinya tidak lebih cepat atau lebih lambat, saya pun harus menjadi ‘raja’ dari kutu buku; di mana pun dan kapan pun.

Sebenarnya, apa yang menjadi ketakutan pada hari-hari itu adalah adanya kemungkinan besar bahwa saya tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Apalagi peran sebagai staf di dua organisasi intra dan ekstra kampus kala itu juga akan memasuki masa-masa puncak kesibukannya. Akhirnya, saya pun memilih untuk memaksimalkan waktu yang ada sebaik mungkin. Saya memutuskan untuk tidak mencoba-coba mengikuti ajang atau kompetisi apapun seperti yang saya lakukan di semester-semester sebelumnya.

Nyatanya, tiba-tiba saya merasa ‘sok jago’. Setelah sepenuhnya sadar bahwa semester ini akan sangat amat sibuk, saya malah memutuskan untuk mengambil kesempatan dan berlaga di sebuah ajang tingkat provinsi. Sepekan di penghujung Maret kemarin, pikiran saya hanya bermuara dan berputar-putar di antara dua keputusan ini; ikut atau tidak. Tepat seperempat hari sebelum pendaftaran ditutup, saya kemudian mengiyakan hati untuk sekedar mencoba.

Saya tidak begitu mengerti tentang ajang ini. Pemilihan Duta Bahasa Tingkat Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023 yang saya tahu hanya sekedar lomba biasa; memiliki alur yang sama dengan lomba-lomba yang pernah saya ikuti sebelumnya; daftar—seleksi—pengumuman. Sesederhana itu. Saya benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata, nanti, ajang ini akan memakan waktu berbulan-bulan untuk sekedar dituntaskan.

Walau tiga bulan berikutnya harus mengeluh akan padatnya jadwal yang tidak bisa digambarkan, pada akhirnya Maret tahun ini mengajarkan saya (lagi) tentang betapa berharganya waktu. Saya selalu menyangka bahwa kesibukan yang ada saat itu sudah cukup memperlambat laju perjalanan. Saya mengira bahwa jika menambah aktivitas ini dan itu akan memberatkan pundak kemudian perlahan membuat segalanya menjadi tidak maksimal; produktivitas, kesehatan mental, jam tidur, dan lain sebagainya. Padahal, semua pemikiran tersebut—mutlak—salah.

Sebuah pepatah Arab mengatakan bahwa waktu itu adalah pedang; jika kamu tidak bisa menjadi pengendali yang baik atasnya, maka jangan salahkan ia jika kemudian melukaimu. Hal ini tentu benar adanya. Berapa banyak orang yang kemudian terperangkap dalam pola pikir mereka sendiri bahwa tidur delapan jam, belajar empat jam, makan dua jam, dan senda gurau (media sosial, mendengarkan musik, maraton film, dan lain sebagainya) selama sepuluh jam sehari sudah ‘sangat melelahkan’. Perlu kiranya dirasa kembali, sudah seberapa besar luka yang menganga akibat sayatan sang mata pedang?

April (Tentang Kepercayaan Diri)

Setelah Maret selesai dengan segala bentuk keraguan, April datang dengan pelbagai kejutan. Tepat sepuluh hari sejak lembar kalender berganti, pengumuman semi-finalis Duta Bahasa DKI Jakarta 2023 terpampang di akun media sosial Ikatan Duta Bahasa (Ikadubas) DKI Jakarta. Awalnya, saya merasa hambar setelah melihat daftar 30 semi-finalis dan tidak kunjung menemukan nama saya di antaranya. Namun hal tersebut berubah dalam sekejap mata setelah postingan berikutnya muncul dan nama saya tercantum di sana. Ada total 58 semi-finalis yang datang dari pelbagai kampus di daerah Jabodetabek; bahkan di luarnya.

Entah, semakin saya perhatikan daftar nama-nama tersebut beserta asal kampusnya, semakin ragu saya rasa bisa bersaing dengan mereka. Deretan nama kampus top nasional bertaburan; ada UI, UNJ, ITB, UGM, UB, UPI, UPer, UMB, UPJ, UKI, UHAMKA, BINUS, serta kampus-kampus top negeri ataupun swasta lainnya. Selayaknya memang bisa dipastikan bahwa saya ‘sudah’ memandang pesimis diri dan almamater saya sendiri hanya karena nama besar mereka.

Esok hari, saya mengikuti rangkaian seleksi berikutnya yaitu Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia. Tanpa mencoba-coba atau mempersiapkan latihan terhadap materi, saya pun langsung memulai uji kemahiran tersebut dengan beranggapan bahwa ini hanya ujian yang sama dengan ujian Bahasa Indonesia pada umumnya. Di lain sisi, pada waktu itu saya harus menyelesaikan beberapa tugas kuliah serta mengambil piket saat pembukaan pendaftaran beasiswa KSE. Alhamdulillah, tes berjalan lancar tanpa ada kendala yang berarti. Setelah mengetahui skor akhir dan mendapatkan predikat yang dirasa cukup, rasa percaya diri kembali tumbuh; meski sedikit.

Dua sampai tiga hari berikutnya, saya kemudian menghadapi dua kali wawancara daring sebagai bagian dari rangkaian seleksi lainnya. Pada sesi wawancara pertama, saya berhadapan langsung dengan ibu-bapak Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbudristek. Sistem wawancara ini mungkin sangat berbeda dan menjadi pengalaman pertama untuk saya. Pada sesi wawancara kelompok ini, setiap peserta diwawancarai satu-per-satu tanpa dipisah dari anggota lainnya. Artinya, peserta lain dapat dengan jelas melihat dan mendengar semua hal; baik dari pertanyaan pewawancara ataupun jawaban peserta. Sebagai peserta dengan nomor urut terakhir, saya hanya bisa kembali berpasrah diri. Pasalnya, jawaban-jawaban dari peserta sebelumnya sangat amat melebihi ekspektasi. Mereka bahkan dengan gamblang mampu menyebutkan nomor, pasal, ayat, serta isi dari suatu undang-undang dalam jawabannya. Saat giliran saya tiba, bahkan satu-dua pertanyaan tidak bisa saya jawab dengan baik; kata ‘maaf’ untuk para pewawancara kemudian menjadi jalan keluar.

Rasa percaya diri yang sebelumnya sudah naik, saat itu bukan lagi turun, tapi terjun bebas menuju dasar kedalaman.

Sesi wawancara kedua tiba, saya dihadapkan langsung dengan para pengurus Ikadubas DKI Jakarta. Pengalaman organisasi, prestasi, penguasaan bahasa asing, serta hal-hal sebagainya menjadi topik dari wawancara kali ini. Pada akhir sesi, saya sudah cukup yakin dengan setiap jawaban yang saya berikan untuk meyakinkan para pewawancara. Meski demikian, hal tersebut ternyata belum cukup untuk meningkatkan rasa percaya diri. Namun pada akhirnya, saya ternyata bisa. Nama saya bersanding dengan 29 nama peserta lainnya dan berhak maju ke babak final. Pada poin ini, saya cukup yakin bahwa skor UKBI dan satu jawaban tentang laman pribadi (Haloparagraf) ini sangat banyak membantu. Puji syukur.

Ternyata apa yang Rian Fahardhi katakan pasca kemenangannya di TWK Season 2 beberapa waktu yang lalu adalah benar adanya; bahwa pribadi kita jauh lebih besar dari nama kampus yang ada. Negeri atau swasta, desa atau kota, kedinasan atau tidak adalah bukan suatu penghalang. Hal tersebut (lagi) tentu benar adanya. Sadar atau tidak, mungkin banyak orang yang merasa kerdil atau ter-kerdilkan dengan mudah hanya karena nama almamaternya. Padahal, konsep dasarnya, pribadi kitalah yang menentukan akan sebesar apa nama almamater terlihat; akan seharum apa nama almamater terkenang.

Hal yang mungkin saya lupakan (juga) adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, almamater saya saat ini, adalah raksasa yang secara tidak sengaja saya kerdilkan sendiri karena rasa bangga yang masih sangat kurang. Hal ini terjadi mungkin karena spontanitas melihat beberapa kampus impian saya (dulu) langsung di hadapan; bukan untuk diperjuangkan, namun untuk dikalahkan. Terlihat berlebihan mungkin, namun semoga setiap pribadi yang membaca bagian ini (terutama yang sedang atau akan menghadapi kondisi serupa) bisa tetap fokus dan percaya pada kekuatan diri sendiri.

Saat menghadapi sebuah kompetisi, lawan kita tidak sepenuhnya ada di hadapan, tapi mungkin tersembunyi dalam diri kita; entah perasaan menjadi kerdil, perasaan tidak pantas, atau perasaan bahwa kita tidak akan pernah bisa. Jika itu tentang almamater, maka ingatlah bahwa konsep dasarnya, pribadi kitalah yang menentukan akan sebesar apa nama almamater terlihat; akan seharum apa nama almamater terkenang.

Mei (Tentang Ego)

Mei adalah rangkaian awal dari kesibukan saya sebagai finalis duta bahasa. Bahkan sejak akhir April lalu, saya dan beberapa teman yang tergabung ke dalam kelompok 3 krida kebahasaan dan kesastraan sudah harus saling adu gagasan untuk sekedar mencari titik awal dari mana kami harus memulai. Mengetahui bahwa saya berada di antara lima finalis dari daftar top kampus itu, saya rasa tantangan untuk membuat sekaligus menjalankan program ini akan sangat mudah dihadapi sebab dibersamai oleh mahasiswa-mahasiswa hebat tersebut. Tapi sejatinya tidak, ambisi membara pada setiap individu untuk menjadi yang terbaik ternyata menghambat semuanya. Ada yang memulai aksi tanpa sinyal, ada yang melangkah lebih jauh tanpa kabar, ada yang berbicara lebih banyak tanpa mau mendengarkan, ada yang bersikeras tanpa kompromi, ada yang menggagas ini dan itu tanpa tujuan, serta masih banyak lagi.

Akhirnya, hal ini membuat saya bingung; meng-iya-tidak-kan beragam hal tanpa tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Saya, saat itu, hanya mampu mengekor dari belakang.

Namun hari itu saya benar-benar paham bahwa hal semacam ini akan menjadi sesuatu yang sangat normal; dengan beberapa faktor yang mendasari. Pertama, semua finalis tahu bahwa persentase penilaian terbesar ada pada kualitas pelaksanaan krida. Kedua, setiap kelompok ditemani oleh masing-masing dua pembina yang memantau mereka setiap saat dan memiliki peran untuk memberikan penilaian. Ketiga, hanya akan ada delapan dari tiga puluh finalis yang pantas untuk dinobatkan sebagai pemenang. Keempat, masing-masing finalis membawa nama harum almamaternya sendiri. Beberapa alasan tersebut sudah pasti membuat setiap individu ingin menjadi yang paling aktif, paling baik, paling hebat, serta paling ‘dianggap’ memiliki peran yang lebih banyak.

Situasi seperti ini ternyata memiliki imbas berkepanjangan. Sejak pembentukan kelompok krida hingga dua pekan sebelum presentasi awal proposal, kelompok saya bahkan belum sama-sekali menentukan program seperti apa yang akan digagas dan dilaksanakan (judulnya saja juga belum). Hanya ada ide ini dan itu yang mengawang-ngawang tak karuan di pikiran. Merasa mati langkah dan tidak tahu harus menggagas apalagi, akhirnya saya menginisiasi satu hal; bukan program atau usulan semacamnya, tapi memisahkan kami dari dua pembina saat itu. Sepatutnya hal ini memang tidak boleh dilakukan. Hanya saja, menyadari bahwa setiap individu akan merasa selalu terpantau dan membuat mereka selalu ingin terlihat paling berperan, maka menghilangkan sumber masalah adalah jalan keluarnya. Saya kira untuk sekedar menyatukan beragam pemikiran beserta ego besar dari individu-individu penuh ambisi tersebut tentu jauh lebih penting. Hal tersebut tentu akan terlaksana jika mereka bisa berhenti merasa terawasi.

Akhirnya grup WhatsApp tanpa ada dua pembina di dalamnya terbentuk. Seperti apa yang sudah diperkirakan, akhirnya saya merasakan suasana yang sangat berbeda. Mereka, teman-teman saya dalam satu kelompok krida, kemudian jauh lebih terbuka dan lebih santai dalam berkomunikasi. Bisa disimpulkan bahwa adanya grup baru ini berhasil membuka diri kami masing-masing untuk setidaknya menjadi apa adanya. Berbeda dengan yang terjadi sebelumnya, di mana karena ingin terlihat baik dan paling baik, semua orang harus memaksakan sikap dan perilakunya untuk meraih tempat teratas; serta lupa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting tengah menanti.

Apakah kami kemudian meninggalkan dua pembina kami seorang diri? Tentu tidak. Setiap ada pembahasan penting yang menyangkut proses berjalannya krida, saya dan teman-teman akan berpindah tempat menuju grup tersebut. Pembina tetaplah pembina; mereka adalah bagian dari keluarga baru ini; mereka adalah pembimbing dan pengayom terbaik yang pernah ada. Sisanya, seperti candaan misalnya, kami lakukan di grup terpisah. Hal ini memberikan dampak baik di mana penilaian oleh pembina tetap berjalan dan kesiapan kami dalam menjalankan krida juga menjadi lebih maksimal.

Sisa waktu dari pertengahan hingga akhir Mei pun berhasil kami maksimalkan dengan baik. Melewati presentasi awal proposal, melakukan kunjungan observasi, merencanakan kegiatan, hingga mengeksekusi setiap rangkaian program berhasil tuntas dengan sangat baik. Pelaksanaan krida UUD (UKBI untuk Difabel) yang kami inisiasi sebelumnya berhasil selesai pada pertengahan Juni. Kabar bahagianya, UUD juga berhasil menjadi krida kebahasaan dan kesastraan terbaik tahun ini dengan mengirimkan tiga anggotanya sebagai pemenang; sekaligus menjadi alat tempur DKI Jakarta di panggung nasional Agustus mendatang.

Pada titik tersebut, saya (kembali) belajar dan menyadari bahwa ego yang sangat besar kadang bisa menjadi pedang tanpa gagang. Menggenggamnya, walau hanya dengan pelan, bisa saja melukai. Apalagi jika dipaksakan dengan sekeras tenaga, darah pasti habis mengucur dari dalamnya luka yang ia sebabkan. Saat berada pada sebuah forum atau kelompok yang memiliki tujuan bersama, sebaiknya ego memang harus diletakkan serendah mungkin. Jika ingin diangkat setinggi-tingginya, perlu sesuatu yang bisa memberikan kontrol baik kepadanya; dan sesuatu tersebut adalah sikap kita untuk sekedar sadar; sadar bahwa kita tidak sendiri.

Juni (Tentang Proses)

Babak akhir pemilihan duta Bahasa DKI Jakarta dimulai dengan English Proficiency Test pada 24 Juni kemarin. Sebagai mahasiswa dengan latar belakang pendidikan bahasa, saya cukup yakin bisa melewati tes ini dengan baik. Jeda sehari, babak final kemudian dilaksanakan berturut-turut pada 26—28 Juni 2023 di Gedung Wayang Orang Bharata, Jakarta Pusat.

Pada hari pertama (26/6), penilaian dimulai dengan laporan dari kegiatan krida. Saya dan teman-teman krida kelompok 3 saat itu mendapatkan nomor urut pertama untuk tampil di hadapan para finalis lain, pengurus Ikadubas, dan tentunya para juri. Presentasi laporan dengan durasi waktu sekitar sepuluh menit saat itu terbilang cukup lancar. Kami berhasil mempresentasikan setiap detil kegiatan mulai dari proses awal penggagasan, pelaksanaan, hasil, keuangan, dan lain sebagainya. Kala itu, setiap pertanyaan dari dewan juri juga berhasil kami jawab dengan sangat baik.

Pada hari pertama pula, penilaian individu mulai dilaksanakan. Kemampuan menguasai bahasa asing menjadi penilaian pertama yang kami hadapi. Berada di urutan kedua puluh untuk tampil, saya memiliki cukup waktu untuk melihat bagaimana 19 finalis lain mengemukakan pendapat-pendapatnya menggunakan bahasa asing yang mereka kuasai. Saat giliran saya untuk tampil tiba, sedikit kecelakaan terjadi di sana. Setelah mengucapkan salam, saya tiba-tiba kehilangan beberapa kalimat hingga paragraf yang saya hafal sebelumnya. Namun karena tidak ingin menjadi malu, improvisasi langsung di atas panggung menjadi jalan keluar. Meski melupakan banyak kalimat dan paragraf tadi, setidaknya waktu itu saya masih memiliki garis besar dari apa yang ingin saya sampaikan. Public speaking dengan Bahasa Inggris ini kemudian berhasil saya akhiri dengan cukup baik.

Hari kedua (27/6) penilaian individu berlanjut; terdiri dari tes psikologi, diskusi terpumpun, serta wicara publik. Meski semua penilaian ini tidak lagi menggunakan bahasa asing, namun kesalahan yang mirip dengan hari pertama terjadi. Sesaat setelah mengucapkan salam dan memberikan pemantik dari tema besar wicara publik, saya kembali kehilangan beberapa kalimat hingga paragraf. Sama seperti sebelumnya, improvisasi langsung di atas panggung menjadi jalan keluarnya.

Jika pada penilaian public speaking hari pertama saya memang murni terlupa akan beberapa kalimat atau paragraf yang telah saya hafal sebelumnya, pada sesi wicara publik ini saya sadar bahwa ketidaksiapan saya untuk tampil menjadi masalah utama. Kala itu, saya harus menyelesaikan beberapa proyek UAS yang menyita cukup banyak waktu. Bahkan, saat finalis lain berlatih sana-sini dengan narasi mereka, saya hanya bisa duduk manis dengan laptop di pangkuan. Pagi itu, sesaat sebelum tampil, saya harus menyelesaikan sebuah karya tulis ilmiah untuk penilaian UAS pada mata kuliah lainnya. Beruntung, pada sesi penilaian tes psikologi dan diskusi terpumpun, saya dapat memaksimalkan waktu dan mengikutinya dengan baik.

Hari terakhir (28/6) menjadi babak penantian untuk semua finalis Duta Bahasa DKI Jakarta 2023; termasuk saya. Hari ini akan menjadi penentu apakah perjuangan saya selama ini sudah pantas mendapatkan apresiasi berupa kemenangan atau mungkin belum sama sekali. Penilaian individu keempat berupa penampilan minat bakat menjadi kesempatan terakhir untuk semua finalis guna melejitkan skor mereka masing-masing; lagi, termasuk saya di dalamnya.

Sadar bahwa bakat yang saya anggap paling menonjol tidak bisa ditampilkan hanya dalam waktu lima menit, maka sejak awal Juni lalu saya sudah menyiapkan satu amunisi terakhir untuk rangkaian seleksi ini; yaitu pembacaan puisi. Dasarnya, saya cukup sadar bahwa ada banyak sekali talenta-talenta hebat yang akan menunjukkan bakat terbaiknya. Mendasari hal tersebut, saya ingin pembacaan puisi kali ini terasa berbeda dan lebih istimewa; meski tidak melulu harus dengan menangis, seperti membuat hawa dan suasana ruangan menjadi sendu misalnya. Akhirnya, berbekal pengalaman menulis yang saya miliki, rangkaian kata demi kata, bait demi bait puisi yang nanti akan saya bacakan berhasil tercipta. Puisi berjudul “Mereka yang Aku Lihat” saya tulis, kemudian saya bacakan di atas panggung final itu. Sejujurnya, puisi ini lahir dan terinspirasi dari hebatnya Mas Peri Sandi dengan pembacaan puisinya berjudul “Mata Luka Sengkon Karta”; serta buruknya para Dewan Perwakilan Rakyat dengan segala “kinerjanya”.

Puji syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa, sejatinya sore itu saya hampir kembali berputus asa karena hingga nama kelima terbaik putra disebutkan, nama saya belum juga terpanggil; bersamaan dengan beberapa nama unggulan yang juga masih belum maju menuju panggung enam besar. Saat nama keenam (nama terakhir) dari top 6 disebutkan, saya berdecak kagum, tersenyum, dan setidaknya merasa sedikit lega karena perjuangan itu kiranya tidak akan terlalu mengecewakan. Pada akhirnya, meski belum bisa menduduki posisi puncak, saya sudah sangat berbangga hati dan diri terhadap beragam hal yang selama ini saya perjuangkan. Samir bertuliskan “Terbaik II Duta Bahasa DKI Jakarta” melingkar rapi di antara pundak dan pinggang.

Perjalanan panjang dan lelah itu ternyata sudah cukup pantas untuk dibanggakan. Terima kasih diri; terima kasih kepada semua orang hebat yang selama ini sudah mendukung dengan sangat amat baik.

Sebuah Catatan

Juni lalu saya harus mengerahkan seluruh tenaga, materi, serta jiwa dan raga untuk menghadirkan sebuah pembuktian. Hanya saja, bukan berarti apa-apa yang saya ceritakan di bab sebelumnya adalah kunci mutlak dari keberhasilan ini. Saya ingin menyampaikan bahwa apa yang saya maksud dengan ‘proses’ itu bukan hanya sebatas pada apa yang saya lakukan di babak final tersebut; bukan pula pada bulan kesibukan Juni kala itu; bukan juga pada sepanjang rangkaian seleksi yang berjalan sejak Maret lalu. ‘Proses’ yang saya maksud adalah setiap hal yang sudah saya lakukan sejak dulu, sekarang, dan seterusnya.

Artinya, setiap jejak kecil yang saya langkahkan hari ini merupakan bagian penting dari rangkaian proses datangnya sesuatu yang besar; sesuatu yang mungkin bahkan tidak akan saya sangka-sangka nantinya. Saya bisa menulis, bernarasi di depan umum, berbahasa Inggris, dan lain-lain seperti sekarang adalah hasil dari banyaknya usaha kecil yang saya lakukan dan pertahankan sejak hari-hari pada panjangnya masa yang telah berlalu. Termasuk predikat sebagai Terbaik II Duta Bahasa DKI Jakarta ini, prosesnya bukan hanya terjadi sejak Maret hingga Juni ini saja, namun di bulan-bulan sebelumnya; bahkan juga di tahun-tahun sebelumnya.

Pada inti dan dasarnya, setiap hal yang kita lakukan—sekecil apapun—hari ini—adalah bagian dari proses untuk mendatangkan sesuatu yang besar; sesuatu yang kita impi-impikan di masa yang akan datang. Maka pastikan bahwa setiap hal yang kita lakukan, lakukanlah dengan sepenuh hati; buat hal tersebut—sekecil apapun—menjadi sangat berarti. Karena sekali lagi, proses untuk menghadirkan sesuatu yang besar adalah rangkaian hidup yang mengalir sepanjang masa.

Mulai dari sekarang; mulai dari diri sendiri! Kalau bukan sekarang, kapan lagi (?).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!