Di Antara Dua Tembok Kusam

Bayangan itu masih tidak bisa kutangkap. Ia melesat bagai sepenggal cahaya matahari tanpa warna yang sepertinya ingin menusuk raga nan jiwa. Aku masih tertegun, berdiri tanpa gerak. Tak ada aroma yang tercium, tak ada wujud yang bisa kulihat. Bola mata enggan berdiam menatap ke hadapan, selalu ada yang menariknya ke kanan dan ke kiri seperti ingin diperhatikan. Mulut tak bisa kututup, ada sesuatu yang membuat dua bibir terpisah dengan getar. Begitu pun dengan kaki yang tiba-tiba kaku untuk aku langkahkan; begitu pun dengan tangan yang tiba-tiba membeku dan tak bisa aku lambaikan.

Jika berada di antara dua tembok kusam di sebuah lorong tanpa suara, menurutmu siapa yang sedang berada di sana untuk sekadar bermain petak umpet? Jika tak ada seorang pun yang bangun saat fajar masih duduk tenang di atas pagi, menurutmu siapa yang sedang memperhatikan dari arah yang tidak pernah kamu ketahui? Hantu? Jin? Bagaimana jika ia ternyata adalah Izrail?

Sesuatu yang terasa sangat mustahil; berjumpa dengan malaikat pencabut nyawa saat kamu sedang dalam keadaan tidak siap tentu adalah mimpi buruk yang tidak pernah siapapun inginkan. Akan tetapi, bagaimana jika suatu saat itu benar-benar terjadi? Percayalah, jika memang sudah waktunya, kamu tidak akan pernah bisa menolak kehadirannya. Dini hari ini, saat sepi menyelimuti lorong yang sedang aku lalui, ia datang.

Aku mati.


Percaya atau tidak, kematian memang se-menyakitkan itu. Sesuatu yang membuatku sangat menyesal bukan perkara sakit yang konon katanya seperti kambing yang dikuliti hidup-hidup, tetapi kenyataan bahwa memasuki lembah neraka yang penuh dengan kepedihan ternyata sama mudahnya dengan kebiasaan meninggalkan salat lima waktu. Dulu, aku sering menyangkal pendapat lawan bicara dengan selalu menyatakan bahwa 10 itu tidak harus 5 + 5.


“Hari ini aku sepertinya akan beruntung. Aku hanya perlu menjauhi orang-orang yang tidak suka terhadap opiniku. Hubungan asmara mungkin akan sedikit rumit, tetapi keuangan sepertinya akan berada pada fase stabil. Aku hanya perlu percaya diri, melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Ya, bintangku berkata demikian.”

Dulu, semasa hidup di dunia, aku adalah budak dari kepercayaan terhadap hal-hal seperti ini. Aku cenderung melihat masa depan berdasarkan apa yang zodiak katakan. Ramalan tentang kondisi keuangan, hubungan asmara, serta kepribadian diri selalu menjadi kasta tertinggi dalam merencanakan kegiatan harian. Tak hanya itu, aku percaya bahwa secarik kertas yang telah didoakan dan disembur air dari mulut sang dukun bisa membuat rumah aman, damai, dan tentram. Bahkan, sampai saat ini, aku juga masih setia menyimpan jimat pemberian nenek moyang agar terhindar dari malapetaka.

Sayangnya, aku benar-benar hilang peka juga sadar. Ternyata, selama ini, aku sudah menempatkan kepercayaan itu jauh melebihi takdir Tuhan.


“Halo semuanya, hari ini aku sedang berada di panti asuhan untuk memberikan santunan kepada anak-anak yatim piatu. Meski jumlahnya tidak seberapa, tetapi semoga uang dalam amplop ini dapat membantu mereka, ya! Aamiinn! Jangan lupa like, comment, dan share sebanyak-banyaknya!”

Dulu, semasa hidup di dunia, aku suka sekali dipuji. Kalau lah tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan, masih ada ibadah yang bisa dipamerkan. Betul, sekadar memotret kegiatan berbagi misalnya, aku bisa menjadi orang yang paling dermawan. Apalagi setelah mengunggahnya ke media sosial, pujian dari teman-teman sejawat langsung membuatku merasa menjadi orang yang paling mulia. Apa aku mengharapkan untuk mendapatkan pahala? Tentu iya! Namun, yang pasti, pujian adalah harapan pertamaku. Kadang kala, aku sengaja mengajak teman-teman untuk pergi salat saat sedang ramai-ramainya. Bukan agar banyak yang ikut, tetapi semoga banyak yang mengetahui bahwa aku itu adalah orang yang patuh terhadap ajaran agama.

Sayangnya, aku benar-benar tak sadar bahwa tidak ada kebaikan yang aku peroleh dari setiap perbuatan yang dipamerkan itu. Semuanya ternyata seperti butiran abu dari bara merah yang dibawa terbang oleh angin. Sia-sia.


“Ah, tidak apalah, ya, meski mereka tahu. Toh, aku pun tidak sengaja melakukannya. Andai mereka tahu apa yang sudah aku perbuat, mungkin bisa jadi pelajaran untuk mereka. Apalagi di kota metropolitan seperti ini, hal seperti itu, kan, sudah dianggap biasa. Jadi, mungkin beberapa orang akan kagum seandainya tahu kalau aku sudah berani berbuat seperti ini.”

Dulu, semasa hidup di dunia, aku pernah secara tak sengaja jatuh ke dalam perbuatan tercela. Ya, awalnya aku menganggapnya demikian karena memang sangat bertentangan dengan norma yang ada di tengah masyarakat. Bahkan, awalnya, aku merasa sangat malu dan takut jika nantinya ada yang mengetahui perihal ini. Namun, ternyata aku melihat banyak sekali teman-teman yang melakukan hal serupa, tetapi malah mempertontonkannya di wajah publik. Mereka, menganggap perbuatan tersebut sebagai hal yang biasa saja. Alhasil, aku pun mengikutinya, yang awalnya aku anggap aib, ternyata adalah hal keren di mata mereka. Akhirnya, aku pun tidak merasa ragu lagi untuk berbuat hal-hal buruk lain dan mengumbarnya ke khalayak umum.

Sayangnya, aku benar-benar lupa bahwa Tuhan telah menjagaku dengan menutup aib-aib yang kumiliki. Akan tetapi, karena haus akan pengakuan dan sudah terbiasa dengan lingkungan, aku melupakan itu semua.


“Yang penting tidak ada yang sadar kalau pelakunya adalah aku. Memang lebih baik aku berbohong kepada siapa saja daripada harus bertanggung jawab atas perbuatan ini. Iya, sih, jujur itu memang nomor satu, tetapi lebih baik ingkar saja, sih, daripada harus menanggung malu.”

Dulu, semasa hidup di dunia, bahkan saat menerima kenyataan bahwa aku sepenuhnya salah, silat lidah selalu menjadi andalan untuk membenarkan diri. Ya, meski selalu diselingi dengan kebohongan, tetapi aku akan merasa sangat tenang sebab berhasil menang. Bagiku, menang saat berdebat dengan orang lain itu nomor satu. Meski harus diwarnai dengan satu dua kebohongan, tetapi bagiku rasa bangga adalah kuncinya; tak peduli meski harus membenarkan apa yang salah atau menyalahkan apa yang benar. Bagiku, menjadi orang yang paling pintar tanpa tandingan adalah sebuah keharusan. Citra di depan manusia adalah segalanya.

Sayangnya, aku benar-benar lupa bahwa satu kebohongan itu melahirkan kebohongan-kebohongan yang lain. Aku tidak sadar telah memiliki dosa sebesar pasak bumi dari tumpukan dosa-dosa kecil layaknya pasir di lautan.


“Pokoknya jangan pernah berteman dengan orang itu. Percaya kepadaku, dia itu akan menjadi perusak hubungan kamu dengan pacar yang kamu elu-elukan selama ini. Apalah arti satu orang jika harus putus dengan orang yang kamu sayangi. Kalau perlu, buat dia merasa tidak nyaman saat ada di kelas. Ganggu, kek! Fitnah, gitu!”

Dulu, semasa hidup di dunia, aku sering menyeru orang lain untuk berbuat keburukan. Siapa yang tidak pusing kalau teman karibnya sendiri selalu merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang asing. Selama masih bisa memberikan masukan yang bisa membuatnya menang, akan aku usahakan sepenuhnya. Meski pada akhirnya akan ada korban, tetapi apalah arti semua itu. Toh, hal tersebut adalah kesalahannya sendiri dan itu pun ia lakukan demi kebaikannya. Apalagi, aku mengerti betul jika pun itu dosa, maka pelakunya tentu bukanlah aku. Iya, kan?

Sayangnya, aku benar-benar lupa kalau dosa itu selamanya juga aku dapatkan. Aku lupa kalau dosa itu akan terus menyambung dari perbuatan yang terjadinya disebabkan oleh diriku sendiri.


“Kita punya anggaran total 12 juta rupiah, kan. Nah, empat juta di proposal itu ditujukan untuk dua pemateri kita. Karena kebetulan dua pemateri itu temanku, nanti gampang, lah. Aku yang akan bilang ke mereka kalau dana yang kita dapatkan dari atasan memang terbatas, jadinya kita hanya mampu memberikan masing-masing pemateri sebesar satu juta rupiah saja. Toh, mereka kan sudah menyanggupi tanpa kita beritahu berapa fee yang akan mereka terima. Nah, nanti, laporan pembayarannya biar aku yang tanda-tangani sendiri.”

Dulu, semasa hidup di dunia, aku sempat menjadi bagian dari kepanitiaan beberapa acara kampus. Karena memiliki wewenang untuk mengatur alur masuk dan keluarnya anggaran, aku pun merasa semua uang itu ditujukan untuk terselenggaranya acara dengan baik. Meski uang yang aku gunakan tidak sesuai dengan rencana di proposal, yang terpenting, sekali lagi, acara berjalan lancar dan sukses sampai tuntas. Apalah arti sebuah acara jika panitianya kelaparan. Akhirnya, aku dan teman-teman pun sepakat untuk menyisakan beberapa nominal uang dan memanipulasi laporan pertanggung jawaban. Acara berjalan lancar, panitia pun bisa makan-makan.

Sayangnya, aku tidak menyadari bahwa apa yang aku makan dari uang terlarang itu ternyata menjadi daging yang melekat dalam tubuh hingga mati. Lebih buruknya, tempat dari daging-daging ini ternyata adalah neraka yang penuh dengan siksa.


“Masih ada esok hari, jadi biarkan lah perbuatan tercela ini aku nikmati hingga malam ini berakhir. Besok saat bangun dari tidur yang lelap, aku berjanji akan bertobat. Masih banyak waktu, kan. Jadi aman-aman saja rasanya.”

Dulu, semasa hidup di dunia, aku percaya bahwa keadaan sehat jiwa dan raga adalah jaminan bahwa beberapa detik ke depan aku masih memiliki kehidupan. Tentu, sangat masuk akal, bukan? Yang perlu aku lakukan hanya yakin bahwa selalu ada hari esok yang bisa aku gunakan untuk memperbaiki diri. Maka tidak jarang, bertele-tele dalam melaksanakan kewajiban atau mengulur waktu untuk mengakui kesalahan dan benar-benar bertobat sudah menjadi sebuah kebiasaan. Karena, sekali lagi, bukankah sangat masuk akal jika aku tidak akan mengalami apa-apa saat diri ini masih merasa aman?

Sayangnya, aku benar-benar ingkar bahwa aku bukan pemilik kehidupan. Aku benar-benar lupa bahwa tidak ada yang dapat membaca tulisan dalam buku takdir yang telah rampung jauh-jauh hari itu. Aku benar-benar tidak sadar bahwa kematian tidak pernah memandang siapa yang harus ia datangi; termasuk di mana tempatnya dan kapan waktunya.

Hingga pada akhirnya, mendung dini hari ini menjadi awal dari derasnya hujan yang menghantam bumi di mana kaki kupijaki. Bersamanya, satu dua petir menggelegar; yang entah sudah apa saja dan di mana posisinya ia telah jatuh membakar. Aku baru saja selesai berpesta ria, pulang menuju tempat tinggal untuk mengejar waktu salat wajib yang nampaknya akan segera pergi karena hanya sedikit saja waktu tersisa. Kemudian, bayangan itu akhirnya menampakkan diri. Ia melesat bagai sepenggal cahaya matahari tanpa warna. Di antara dua tembok kusam pada lorong panjang tanpa suara, kukira tak akan ada yang berlari secepat itu di bawah guyuran hujan deras ini. Aku pun yakin bahwa tak ada manusia yang sedang terjaga, apalagi bermain hujan saat dinginnya malam membekukan mimpi.

Pada fajar ketika waktu pagi hendak menyapa, sebuah petir datang menyambar dan membakar raga. Izrail melesat bersamanya, mengambil hidup fana ini untuk selamanya.

Berpaling? Mana bisa.


Cukup.

Rasa-rasanya cerita pedih ini sudah cukup sampai di sini saja. Aku tentu menyesal; sering mempercayai ramalan ketimbang Tuhan, sering beramal baik hanya untuk mendapatkan pujian, sering membuka aib yang sebetulnya sudah tertutup rapat di belakang, sering berkata ingkar hanya demi suatu kepuasan, sering menjadi sebab dari terjadinya keburukan, sering makan dari uang haram, ditambah selalu merasa yakin bahwa besok bukan waktunya untuk didatangi kematian. Namun, mau bagaimana lagi, waktu yang katanya bisa diputar itu memang hanyalah bualan belaka. Penyesalan yang katanya selalu datang di akhir pun ternyata adalah fakta yang sebenar-benarnya.

Sekarang, aku tidak lagi berharap apa-apa, kecuali, semoga aku dalam cerita ini bukanlah kamu yang sesungguhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!