Baskara Duka

Gambr oleh David Skyrius dari Pexels

Matahari bersinar dengan panasnya. Cahaya yang begitu bening, memaksa masuk dengan melelehkan lapis demi lapis cakrawala.  Hari ini, seluruh pasang mata melihat keindahan langit yang tidak biasa. Aroma dari huru-hara kegembiraan, kekayaan, dan keserakahan mulai memudar – sirna tepat di depan pelupuk mata setiap insan. Langit tersapu bersih, seakan cahaya sang matahari juga telah melahap setiap lembar awan yang tersisa. Warna biru penuh pesona itu sekarang hampir tak terlihat. Satu dua manusia mulai menerawang panjang – menggali ingatan menuju berbagai pesan kuno yang telah mereka abaikan.


Ratusan tahun yang lalu, fenomena menggemparkan terjadi di berbagai penjuru bumi. Pakar astronomi dan geografi dari berbagai institusi terkenal dunia ramai-ramai menyebutkan bahwa bumi sedang memperbaiki dirinya. Mereka yakin bahwa bumi akan kembali membaik. Mereka lantang berteriak bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Bumi akan membaik. Planet kita sedang memperpanjang usianya. Kekekalan itu milik kita.” (sebuah catatan dari presiden perusahaan teknologi paling mutakhir kala itu. Diabadikan pada sebuah patung berlian sebagai tanda akan dimulainya kehidupan baru – tahun 2123.)

Pada tahun-tahun tersebut, logika menjadi alat perang nomor satu. Kepercayaan akan roh nenek moyang, eksistensi tuhan, serta kekuatan supranatural lainnya tidak lagi diperhitungkan. Semua berteriak berdasarkan alasan logis dari pemikiran mereka. Saat setiap pemuka agama unjuk muka untuk memperingati, kedua telinga orang-orang itu kemudian tertutup seketika. Pada tahun-tahun tersebut, kata agama bahkan dihapus dari kamus bahasa persatuan bangsa-bangsa.

“Saya berdiri di atas mimbar emas ini bukan tanpa alasan. Sudah ribuan tahun kita dibelenggu oleh keterikatan agama. Ajaran-ajaran yang tidak logis ini terlalu membatasi imajinasi kita untuk patuh — entah kepada siapa. Kepatuhan yang katanya akan membawa kebahagiaan ini nyatanya mengurung inovasi-inovasi yang kita miliki dalam penjara ketakutan. Hari ini, saya, sebagai manusia yang sadar sepenuhnya bahwa kita memegang hidup kita sendiri, mendeklarasikan dengan sungguh bahwa kita — umat manusia — tidak lagi membutuhkan kata agama dalam setiap kamus bahasa yang kita miliki. Begitu pun dalam dinamika kehidupan sosial yang ada.” (sebuah rekaman dari pidato presiden tertinggi persatuan negara adidaya dunia. Rekaman suara ini diperdengarkan kepada publik setiap satu minggu sekali untuk meyakinkan dunia modern bahwa manusia memiliki kuasa atas kehidupannya sendiri — tahun 2133)

Masa satu dekade antara dua pernyataan orang penting ini diwarnai dengan aksi-aksi boikot intelektual. Di belahan bumi bagian timur, propaganda untuk meninggalkan kepercayaan akan eksistensi tuhan dalam ajaran agama-agama digencarkan secara masif. Perlahan namun pasti, para penduduk yang sebelumnya diakui memiliki karakter dan keyakinan kuat akan kepercayaan terhadap ajaran suci mulai mengelakkan kepalanya. Perilaku menyimpang yang sebelumnya mereka tolak mentah-mentah kemudian perlahan mereka terima dan lakukan. Pada tahun-tahun tersebut, peran dari eksistensi kekuatan moral dan agama mulai terusir; asing di telinga, mata, dan hati nurani para penduduknya.

Di belahan bumi bagian barat, negara-negara adidaya mendeklarasikan perangnya melawan persebaran ajaran agama-agama apapun. Mereka secara tegas menolak adanya peran agama dalam ritme kehidupan modern yang saat itu mereka kuasai. Intervensi dilakukan di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan di semua tempat yang dirasa memungkinkan. Sikap besar kepala ini mulai dibangga-banggakan ketika dunia di belahan lainnya mulai mengikuti apa yang mereka inginkan. Tinta hitam kemudian menjadi semakin pekat meski tetes demi tetes tinta putih dituangkan.

Pada tahun-tahun tersebut, kemajuan teknologi sampai pada puncaknya. Malu — pada akhirnya — dinisbatkan pada orang-orang yang tidak mampu mengikuti tren perkembangan zaman. Malu — saat itu — didefinisikan secara eksplisit jika seseorang masih bangun di kala fajar untuk berdoa; jika seseorang masih mau pergi menemui tuhannya di salah satu waktu yang lima; jika seseorang masih mau meluangkan waktu di hari liburnya untuk mendengarkan lonceng berbunyi; jika seseorang masih mau mendatangi bangunan kuno dengan asap yang menemani; serta jika seseorang masih melakukan segala aktivitasnya berdasarkan kepercayaan bahwa ada kehidupan lain setelah di dunia.

“The world will be better without any religions and beliefs” (Salah satu pedoman hidup kala itu; tidak tertulis namun secara normal dipraktikkan di kehidupan sosial)

Manusia menemukan kehidupan abadinya yang sementara.


Putaran arah mata angin sepenuhnya telah berubah. Bagian pesisir pantai di daerah benua biru mulai membeku. Para pengamat cuaca mengirimkan sinyal tanda bahaya besar sedang mengancam kehidupan bumi. Hamparan air di sana membeku, kehidupan bawah laut kemudian dinyatakan punah. Benua merah mengirimkan sinyal tanda bahaya berikutnya. Pepohonan rindang yang mereka miliki sepenuhnya telah menghilang. Tanah yang mereka pijaki memanas, milyaran butir pasir menutupi permukaan. Air menjadi barang langka, perburuan antar-sesama manusia dimulai. Rumput tumbuh dari segala penjuru. Tanah kering itu kini menjadi subur. Sahara menghilang, keajaiban mendatangi Benua Kuning.


Pada heningnya pagi yang menyelimuti, senyum sombong itu menghilang. Perasaan yang tidak biasa menusuk setiap hati. Tangisan akan terjalnya jalan kembali menuju arah yang tidak mereka tahu sudah tiba. Kesengsaraan dari petuah kuno — ajaran agama-agama — yang mereka abaikan kini ada di hadapan pelupuk mata. Perjalanan jauh, perjalanan pulang; perjalanan abadi itu kini benar-benar tiba.

Sang matahari tersenyum dengan amarahnya. Ia hadir pada pagi yang kosong ini dari cakrawala barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!