Drs. Zulkifli (2021) dalam tulisannya yang terbit pada laman Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyebut bahwa tingkat literasi masyarakat suatu bangsa memiliki hubungan yang tegak lurus dengan kualitas bangsa itu sendiri. Tentu, hal ini dapat menjadi refleksi mendalam bahwa majunya suatu bangsa tidak akan pernah terlepas dari majunya kualitas sumber manusia yang ada di dalamnya. Pada tulisan yang sama, Drs. Zulkifli juga mengutip pendapat Permatasari (2015) tentang adanya pengaruh dan keterkaitan antara tingginya minat baca seseorang terhadap wawasan, mental, dan perilaku seseorang tersebut. Artinya, kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan memahami dalam konteks ‘berliterasi’ dapat menjadi tolak ukur dari tinggi atau rendahnya kualitas SDM itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan kita, Indonesia?
Pada tahun 2022, negara kita menduduki posisi ke-69 dari total 81 negara yang berpartisipasi dalam Programme for International Student Assessment atau PISA. Meski penilaian PISA tidak sepenuhnya mengambil skor dari tes kemampuan baca dan tulis (ada bidang matematika dan sains), tetapi Indonesia harus mempertimbangkan ulang tentang sistem atau tatanan pendidikan yang ada. Bayangkan saja, skor negara kita pada bidang literasi hanya mampu mencapai angka 359 dari rata-rata skor global yang menyentuh angka 476. Hal yang lebih menyedihkan, skor tersebut ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam 20 tahun terakhir. Lalu, perlukah kita khawatir?
Kemampuan membaca, menulis, dan memahami suatu objek, bahan, hingga keadaan dengan baik setidaknya akan memberikan kesempatan bagi suatu informasi sampai dengan lebih baik. Lebih lanjut, hal tersebut yang akan membuat nalar dan berpikir kritis berkembangan dengan lebih baik. Bayangkan saja, teknologi super cepat yang seharusnya mendorong kemajuan malah menjadi malapetaka bagi peradaban suatu bangsa jika tidak ada kemampuan filterisasi yang baik dari masyarakatnya. Informasi bodong, pesan berisi provokasi, dan hal-hal negatif lainnya sudah bisa dipastikan tumbuh subur dalam dinamika kehidupan masyarakatnya. Pada titik ini, kearifan akan tenggelam perlahan dan peradaban akan runtuh dengan sendirinya. Maka, tidak ada lagi alasan untuk tetap diam, menunggu, dan menyalahkan pihak satu dan lainnya. Pada momentum hari pahlawan ini, mari, jadi pahlawan untuk literasi bangsa kita.
Jadi Pahlawan Literasi? Mengapa Tidak?
Jika cita-cita Indonesia Emas 2045 benar ada dalam keinginan kita sebagai warga negara, maka menyusun setiap keping usaha adalah tanggung jawab bersama. Jika direka ulang, cita-cita ini memiliki ketergantungan kuat pada kualitas SDM bangsa kita di rentan usia 35 hingga 45 tahun serta rentan usia 45 hingga 54 tahun pada tahun 2045 mendatang. Artinya, mereka yang pada tahun 2024 ini berusia 9 hingga 24 tahun memiliki titik pemicu paling kuat untuk menentukan apakah cita-cita itu dapat tercapai atau tidak. Mulai dari anak, mari, siapkan generasi emas tersebut dengan strategi sederhana cukup ‘mulai dari rumah’.
1. Pilih Bahan Bacaan Bermutu
Tentu, hal pertama yang harus menjadi pusat perhatian adalah bahan bacaan itu sendiri. Selayaknya memilih makanan atau minuman terbaik bagi anak, memilih bahan bacaan (buku, majalan, komik, dan seterusnya) adalah pertimbangan paling dasar. Hal ini akan menjadi jaminan awal bahwa apapun yang anak konsumsi dari bahan bacaan tersebut dapat menjadi gizi pengetahuan terbaiknya. Memilih bahan bacaan bagi anak tentu akan berbeda caranya; tergantung masing-masing kebutuhan atau ketertarikan anak; atau bahkan preferensi orang tuanya. Hal yang harus menjadi perhatian utama adalah sumber bahan bacaan yang akan anak baca. Sebagai orang tua atau orang yang lebih dewasa dan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap bahan bacaan anak, kita bisa memastikan kualitas bahan bacaan ini dengan memilah sumber yang terpercaya, penerbit yang diakui, atau penulis yang memiliki kredibilitas tinggi.
Baik buku yang berbentuk fisik ataupun digital, para orang tua dapat menentukan mana kira-kira pilihan terbaik untuk anak-anaknya. Jika preferensi berada pada buku fisik, pastikan buku yang menjadi pilihan adalah buku original dengan mempertimbangkan beberapa poin seperti visualisasi konten, tebal buku, tema, nilai moral, dan bahan cetak buku (opsional). Hal ini dapat kembali disesuaikan dengan masing-masing kebutuhan anak sesuai minat dan usianya. Jika masih berusia 5-9 tahun, misalnya, buku dengan ilustrasi visual dan ketebalan tidak lebih dari lembar bisa menjadi pilihan.
Nah, jika preferensi berada pada buku digital, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebetulnya telah menyediakan surga tempat buku dengan mutu terjamin oleh pemerintah kita. Layaknya perpustakaan, masyarakat dapat mengakses laman ini secara gratis dan tanpa batas waktu. Ada tipe buku dengan format pdf, buku audio, hingga buku interaktif yang bisa anak atau orang tua akses kapan saja. Selain itu, buku-buku untuk tingkat sekolah PAUD, TK, SD, SMP, SMA dan/atau sederajat hingga buku khusus untuk SLB juga tersedia.
2. Ciptakan Ruang dan Suasana Paling Nyaman
Suasana yang nyaman sangat berpengaruh terhadap minat baca anak. Dedikasikan sebuah sudut di rumah sebagai ruang baca khusus. Lengkapi dengan perabotan yang nyaman, pencahayaan yang cukup, dan dekorasi yang menarik. Selain itu, ciptakan suasana yang tenang dan bebas dari gangguan. Membuat anak merasa nyaman dan betah untuk menghabiskan waktunya dengan membaca adalah tujuan utama poin ini. Jika perlu, orang tua dapat melakukan beberapa kali percobaan apakah anak lebih suka membaca sendiri atau bersama-sama.
3. Jadikan Membaca Sebagai Rutinitas
Membudayakan membaca pada anak memerlukan konsistensi. Jadwalkan waktu khusus setiap hari untuk membaca bersama anak. Pilih waktu yang paling efektif dan tenang, misalnya sebelum tidur atau saat akhir pekan. Dengan menjadikan membaca sebagai bagian dari rutinitas harian, anak akan terbiasa dan menganggap membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat. Konsistensi ini akan membantu menumbuhkan kebiasaan membaca yang baik pada anak sejak usia dini. Pada jenjang pendidikannya yang lebih tinggi nanti, kebiasaan membaca akan menjadi fondasi kuat baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan teknologi yang makin pesat.
4. Diskusikan Isi Bacaan
Selain kekurangan orang-orang jujur, kita mungkin akan kehabisan orang-orang yang bisa berpikir kritis. Sederhananya, kemampuan berpikir kritis atau critical thinking adalah kemampuan untuk menganalisis, menilai, menjelaskan, dan merekonstruksi kembali suatu ide. Hal ini dapat membantu seseorang untuk membuat keputusan yang tepat, melihat suatu masalah dengan beragam perspektif, menumbuhkan sikap kreatif dan inovatif, hingga meminimalkan salah persepsi. Karenanya, setelah selesai membaca, ajak anak untuk berdiskusi tentang isi bacaan. Tanyakan pendapat, perasaan, atau pertanyaan yang muncul setelah membaca. Diskusi ini akan merangsang pemikiran kritis anak, meningkatkan pemahamannya terhadap bacaan, dan memperkaya kosakatanya. Selain itu, diskusi juga dapat mempererat hubungan antara orang tua dan anak serta anggota keluarga lainnya.
Yuk, Ini Saatnya Kita Beraksi!
Sadar atau tidak, literasi bangsa kita memang perlu didongkrak semaksimal mungkin. Selain melihat hasil analisis skor PISA pada tahun 2022 lalu, lingkungan yang kita hadapi saat ini memang cukup memprihatinkan. Penyebaran berita palsu, konten-konten provokasi yang mengadu-domba, hingga informasi-informasi yang menjebak seperti penipuan, judi online, dan seterusnya makin merajalela. Kalau-kalau pemerintah sudah sigap dengan segala solusi penanggulangannya, maka tugas kita sebagai warga negara bisa dimulai saat ini juga; yaitu dengan mempersiapkan generasi emas dengan bekal literasi yang kuat guna menyongsong masa depan permata Indonesia nanti.
Kita semua bisa berkontribusi!