Menculik Indonesia

2024 mengajarkan kita tentang begitu banyak hal. Jika tentang kenegaraan dan kebangsaan, 2024 mengajarkan kita bahwa mempercayai kedaulatan bangsa kepada para pejabat yang saat ini duduk di kursi pemerintahan adalah sebuah kesalahan. Tidak perlu untuk dipertimbangkan sama-sekali, hal ini adalah benar adanya. Visi-misi yang selama ini mereka teriakkan tanpa henti ternyata hanya jembatan penghubung antara nafsu dan kerakusan. Mereka haus akan kekuasaan; lapar akan kejayaan, tetapi kemudian menjadi linglung bila dihadapkan pada tanggung jawab dan kewajiban.

Namun, apakah harapan itu memang sudah hilang?

Akhir tahun ini, saya—mungkin juga dengan kebanyakan masyarakat tanah air—dibuat geleng-geleng kepala setelah mengetahui bahwa koruptor ternyata memiliki tempat tersendiri yang begitu istimewa di negara tercinta ini. Kasus Harvey Moeis misalnya; setelah merugikan negara hingga 271 triliun rupiah hasil dari korupsi tata niaga timah, Harvey dijatuhi vonis hukuman enam tahun dan enam bulan penjara serta denda satu miliar rupiah (penambahan enam bulan penjara bila denda tersebut tidak dibayarkan). Seperti diskon harga pada barang belanjaan akhir tahun, vonis ini dipotong setengah dari tuntutan awal Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu 12 tahun penjara. Alasannya beragam, mulai dari tidak berperan penuh pada kasus, hanya membantu teman, memiliki tanggungan keluarga, hingga bersikap sopan saat di pengadilan.

Momen ‘memalukan’ atas keputusan jaksa ini kemudian ‘dihias cantik’ oleh rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari yang semula 11% menjadi 12%. Campur-aduk antara kinerja yang ‘sepertinya’ tidak becus dan kebijakan yang ‘sepertinya’ terlalu memaksakan kemudian mendatangkan banyak sekali kritik dari pelbagai elemen masyarakat. Menurut pemerintah, katanya, kenaikan PPN 12% diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah pendapatan negara untuk kemudian menjadi salah-satu indikator keberhasilan pembangunan infrastruktur dan layanan publik. Meski tetap cukup meragukan, katanya, kebijakan PPN 12% ini juga hanya berlaku untuk barang mewah saja. Layaknya warna putih yang sudah kusam karena berkali-kali dilempari kotoran, kepercayaan masyarakat pun seperti tidak muncul sama-sekali.

Sebetulnya, rencana kenaikan pajak ini sudah dimulai sejak pemerintahan era Joko Widodo. 5 Mei 2021 silam, presiden ke-7 RI tersebut berkirim surat untuk DPR RI yang menjadi landasan awal dari munculnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan rencana pembahasan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Singkat cerita, RUU HPP resmi menjadi undang-undang setelah disahkan oleh DPR RI pada 7 Oktober 2021. Badai PHK dan inflasi yang kuat akibat Covid-19 misalnya, kemudian mengundang respons buruk dari publik. Saya pribadi menyayangkan bahwa pemerintah ‘mengandai-andai’ terlalu jauh ke depan sedang daya kerjanya masih terlalu ‘lemah’ untuk transformasi besar yang demikian.

Sepanjang tahun 2024, beragam peristiwa ‘memalukan’ terjadi di pelbagai instansi pemerintahan. Sebut saja mantan menteri Kominfo era Joko Widodo, Budi Arie, yang berpesan ‘jangan menyerang’ kepada para peretas setelah Pusat Data Nasional (PDN) lumpuh akibat serangan ransomware. Serangan tersebut mengakibatkan lumpuhnya beberapa layanan nasional di bawah kementerian atau badan negara lainnya. Alih-alih meminta maaf dan segera bertanggung jawab dengan segala kuasa dan wewenang yang dimiliki, Budi Arie malah ngeles dengan membanding-bandingkan nasib beberapa negara di dunia yang mengalami kasus serupa.

Masih pada satu instansi yang sama, awal November 2024 ini, saya—serta masyarakat Indonesia kebanyakan mungkin—kembali dibuat kecewa lantaran beberapa staf Kementerian Komunikasi dan Digital tertangkap basah menyalahgunakan wewenang mereka dengan cara melindungi beberapa situs judi online untuk meraup untung. Masalah serius yang seharusnya dengan cepat dan tanggap ditangani oleh pemerintah ini malah menjadi ladang ternak uang yang tak seharusnya dilakukan. Tak tanggung-tanggung, ada seribu situs yang mereka bina dan lindungi dengan keuntungan 8,5 juta rupiah per situs.

Cukup? Tentu tidak. Seperti halnya buih ombak di pesisir pantai, ragam kasus kontroversi yang membunuh rasa kepercayaan masyarakat tanah air terhadap pemerintahnya sendiri muncul tanpa henti. Dari kasus salah tangkap, tembak dar der dor, pengambilan keputusan tak masuk akal, vonis suka-suka, hingga asal tebas dan tebak jabatan menjadi rutinitas sepanjang tahun. Jika membayangkan dengan imajinasi sederhana, saya tidak bisa menghitung kiranya sudah berapa sayatan pedih yang ibu pertiwi rasakan. Jika saja Indonesia bisa meneteskan air mata sebab ketakutannya akan ketidakadilan, mungkin tanah harum ibu pertiwi tidak pernah merasa kering. Andai saja bumi nusantara bisa menentukan sendiri bagaimana nasibnya, pergi menjauh atau bahkan tenggelam dalam-dalam sudah menjadi pilihannya.

Namun, sekali lagi, apakah harapan itu memang sudah hilang? Apakah harapan untuk Indonesia yang jauh lebih baik sudah tidak akan pernah bisa ditemukan? Atau ada sesuatu yang bisa kita lakukan?

Mari, mulai menyusun strategi untuk misi paling tidak masuk akal—menculik Indonesia.

Strategi I: Berharap

Seperti air dan udara, harapan tidak akan pernah lenyap selama nafas masih dikandung hayat. Strategi pertama adalah dengan terus berharap; berharap pada hal-hal baik apa saja untuk bangsa Indonesia. Hasilnya mungkin akan selalu nihil sebab para pengubur harapan itu masih berada di atas kuasa, tetapi dengan ini barangkali senyum ibu pertiwi masih bisa terjaga.

Strategi II: Berdoa

Setelah sadar bahwa harapan itu masih ada, doa kemudian menjadi strategi selanjutnya. Kali ini, doa yang tak biasa-biasa pun mungkin sudah boleh dipanjatkan. Seperti berdoa agar para koruptor dan pelaku penyeleweng wewenang lainnya menderita misalnya. Saya kira untuk hal darurat seperti ini tidak akan menjadi masalah. Pasalnya, hukuman mati selalu ditolak sebab mereka selalu melandaskan pola pikir dan hidup kekinian pada penegakan HAM. Katanya, hidup adalah hak mutlak setiap manusia. Memilih hukuman mati untuk para koruptor pun, katanya, bukan solusi terbaik. Mereka lupa, bahwa kerugian yang terjadi itu mungkin saja telah merenggut hidup orang lain. Namun, wajar sepertinya, para pembelot yang duduk di kursi kuasa itu memang tidak mungkin memedulikan rakyat di bawahnya (kecuali anak, cucuk, sepupu, saudara, dan kerabat dekat lainnya). Nah, mari berdoa agar orang-orang ini mendapatkan kesadaran penuhnya.

Strategi Pamungkas: Menculik Indonesia

Tahun 1945 silam, kaum muda melancarkan aksinya untuk menculik bung Karno dan bung Hatta ke Rengasdengklok tepat sehari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Setidaknya, ada tiga alasan yang melatar-belakangi gerakan kaum muda tersebut. Pertama, berita kekalahan Jepang terhadap Sekutu pada Perang Dunia II sampai di kaum muda. Alasan kedua, kaum muda ingin mendesak bung Karno dan bung Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa perantara panitia yang dibentuk oleh Jepang. Ketiga, kaum muda berniat untuk menjaga bung bung Karno dan bung Hatta dari pengaruh Jepang. Jika disederhanakan, alasan kaum muda sangat masuk akal sebab kemerdekaan Indonesia memang harus sepenuhnya diperjuangkan untuk kemudian lahir murni dari jiwa dan raga yang sama; bangsa Indonesia. Pada keesokan harinya, 17 Agustus 1945, akhirnya bung Karno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah penting ini menandakan keberhasilan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kedaulatan tanah airnya. Tidak penting seberapa kuat dan andal para musuh dalam mengatur dan membuat strategi, bara api semangat para pahlawan kemerdekaan membuktikan bahwa bangsa yang besar ini telah lahir dari rangkaian perjuangan yang begitu panjang. Karenanya, membiarkan kedaulatan itu terkoyak di kemudian hari adalah kesalahan besar lagi menyakitkan. Pertanyaannya, setelah 79 tahun merdeka, apakah koyakan itu sudah sembuh? Atau bertambah besar? Makin menyakitkan?

Jika tidak, mungkin penderitaan rakyat kecil yang selalu merasakan tusukan pisau hukum yang sangat tajam memang diabaikan. Palingan, beberapa pembaca yang budiman belum merasakan secara langsung bagaimana tangisan itu berderai kemudian membasahi bibir yang kering keadilan. Jika iya, maka sejatinya sesuatu yang pantas memang harus segera dilakukan. Mari, bersama menculik kembali negeri ini. Sembunyikan Indonesia dari mata jalang para pemimpin yang rakus lagi tidak punya hati. Lindungi Indonesia dari kelakuan buruk para penguasanya. Bawa lari bangsa ini ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh tangan-tangan kotor para hakim, jaksa, dan penegak hukum lainnya. Mari, tutup mata bangsa ini dari segala ucapan, perlakuan, serta niat buruk lagi jahat para penjilat di bawah kekuasaan itu dengan cara terus menjadi warga negara yang baik.

Semoga tahun baru 2025 ini menjadi era baik untuk tanah air, tanah tumpah darah, tanah yang mulia, tanah yang kaya, tanah yang suci, dan tanah yang sakti; Indonesia Raya. Semoga tanah dan jiwa kita subur; sadar hatinya, sadar budinya. Semoga bangsa ini senantiasa selamat; rakyatnya, putranya, pulaunya, lautnya, dan semuanya.

Sumber tulisan:

Liputan 6 | Liputan 6 (2) | Detik | SindoNews | Viva | Kompas | Hukum Online | Tempo | Indonesia Raya (Tiga Stanza)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan salin-tempel (copy-paste) tidak diizinkan!