
Seseorang dengan tubuh ringkih berjalan pelan—menapaki tangga dari pahatan jati yang usianya tak lagi bisa diterka. Setiap langkah kaki keriputnya menderek bunyi peot dari gubuk kayu yang tetap berdiri gagah di atas tanah harum tempat tinggal barunya. Sepi—hanya dedaunan yang gugur dan menghias atap setelah beramai-ramai merayakan keringnya. Sunyi—kecuali rerantingan yang saling bertemu sebelum saling menyapa patahnya. Di bawah langit junjung biru yang dikaguminya, ia menghela nafas, membuka pintu, kemudian masuk ke dalam ruang hampa gelap itu. Tak ada cahaya, tak ada suara
#
Hidup mungkin tak pernah memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mendekap jaya dalam kisahnya. Pada suatu hari yang gelap gulita, ia tak sengaja menemukan cahaya merona yang dipandangnya dari bawah bukit Ajiwajava. Tak ada orang di sana. Ia yakin bahwa sesuatu pasti sudah terjadi di tempat cahaya itu memancar. Merah, terang, dan hangat. Pemandangan yang belum pernah ia temui semasa hidupnya. Meski pagar-batas adat telah melarang siapa pun untuk menjajal tanah di atas bukit, tetapi kali ini perasaannya tak lagi bisa dipaksa—untuk diam, untuk tunduk, untuk tidak mengatakan iya.
Usianya waktu itu baru akan menginjak dua dekade. Kara namanya. Sebagai seorang pemuda yang lahir dan besar di wilayah adat suku pedalaman Heradeva, Kara beserta teman-temannya memegang teguh sikap disiplin dalam dinamika sosial kehidupan mereka. Dari mata sang elang sebagai simbol negaranya, Kara dan penduduk Heradeva memiliki keyakinan bahwa nafas yang mereka hembuskan sama berharganya dengan bumi yang mereka pijaki. Karenanya, mati demi tanah kelahiran dianggapnya sebagai sebuah kehormatan paling tinggi. Kara, sebagaimana pemuda Heradeva lainnya, getol bergantian untuk berpatroli menjaga keamanan desa Heradeva dari ancaman perusak alam.
Setiap gerhana matahari total berdiri tegak dan memandang tajam bumi Heradeva, upacara penghormatan kepada alam akan dilaksanakan. Pada momen sakral ini juga, pemuda yang tepat berusia 20 tahun akan dinobatkan sebagai panglima muda untuk memberantas para penyusup yang hendak menggusur alam mereka. Sebagaimana keyakinan mereka akan petuah semesta untuk manusia, siapa saja yang datang dan berniat merusak sekecil apa pun yang telah mereka jaga, maka kematian adalah balasan yang pasti.
“Hari ini panglima muda kembali datang. Kobar api dengan hasrat yang mendidih telah menjadi minumannya setiap waktu. Kekuatan hati dan jiwa yang keras bagai permata adalah sumber pertahanannya. Ia tidak makan kecuali kesetiaan pada mata sang elang dan pengabdiannya pada bumi Heradeva telah terpenuhi. Saat sinar sang mentari kembali menyiram bukit Ajiwajava, maka biarkan lapar dan hausnya sang panglima yang akan menerkam para penjajah di luar sana. Hari ini, bumi Heradeva akan menyaksikan lahirnya sang mata pedang yang agung; Kara!”
Kara! Heradeva!
Kara! Heradeva!
Kara! Heradeva!
Sorak bangga dan teriakan penuh ambisi bergema di udara setelah Mpuh Ago menyirami Kara dengan air hangat berhiasi kembang tujuh warna. Mpuh Ago adalah panglima terakhir yang masih hidup. Usianya sudah hampir empat kali dari usia Kara, tetapi kekuatan tubuhnya masih terasa terlampau muda. Tak terhitung sudah berapa banyak penyusup atau perusak alam yang sudah ia habisi. Ayunan pedangnya atau lesatan anak panah dari busurnya selalu menjadi alasan utama mengapa bumi Heradeva sampai saat ini masih asri dan indah sejauh apa pun mata memandang. Bagi Mpuh Ago, tak ada yang lebih berharga dari bumi Heradeva; termasuk hidupnya sendiri.
“Mpuh Ago, perlukah kali ini kita yang mendaki bukit Ajiwajava guna memastikan bahwa memang tak ada yang bersembunyi di atas sana untuk memantau kita. Maafkan saya, Mpuh, tetapi tadi malam saya melihat cahaya itu lagi. Ini sudah ketiga kalinya sejak dentuman suara aneh itu muncul di atas sana.” Kara membuka pembicaraan; ditemani beberapa sahabat setianya yang saat ini sudah menjadi pengawal tingkat atas.
“Ribuan tahun sudah bumi Heradeva tak pernah tersentuh oleh musuh-musuh alam. Ribuan tahun pula bukit Ajiwajava telah mengaliri kita dengan sumber mata air terbaiknya. Mpuh pun tidak yakin apa yang ada di balik bukit Ajiwajava sehingga pendahulu kita tidak pernah mengizinkan panglima muda beserta pasukannya untuk menjajal ke atas sana. Paling jauh, kita hanya diperbolehkan untuk bersembunyi di balik semak belukar di sepanjang sungai Giyara. Menunggu siapa saja yang datang dengan perahu dan memutuskan dengan cepat apakah ia musuh atau bukan.” Jelas Mpuh Ago. Ia menghentikan ceritanya, berdiri memandang kegagahan bukit Ajiwajava dan menghela nafas dalam-dalam.
“Kara, pikirkan kembali bersama para tetua desa dan lakukan apa yang selama ini menjadi aturan. Jika pun perlu, pastikan tidak ada yang tahu bahwa sedang ada yang kita khawatirkan dari puncak bukit itu. Pastikan dentuman di atas langit bukit Ajiwajava itu tidak menjadi pembicaraan para penduduk!” Sambung Mpuh Ago; kemudian meninggalkan gubuk pemantauan. Pundak gagahnya kemudian menghilang di antara pepohonan mangga.
Kara memutuskan untuk menemui para tetua desa saat hening dan gulita mendekap malam dalam dingin. Bersama dua orang pengawalnya, Kara meminta petuah tentang apa yang sebetulnya terjadi di atas bukit Ajiwajava sekalian memohon izin untuk mempertimbangkan peluasan patroli ke atas sana. Sebagai pemuda yang baru saja dinobatkan untuk menggenggam kuasa dan amanah keamanan bumi Heradeva, semagat Kara masih seperti tumpukan bara dari kayu besar nan kering yang baru saja dibakar.
“Kara, yang tertua di antara kami pun sebenarnya tidak tahu pasti apa yang terjadi di atas bukit sana. Mpuh Ago yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya untuk berkeliling di antara luasnya desa pun ternyata juga tidak mengerti. Adat yang kita pegang selama ini mungkin sudah saatnya ditulis kembali untuk memastikan bahwa keamanan dan keindahan bumi Heradeva tetap terjaga. Jika boleh usul, tunggu hingga dentuman atau hal aneh yang belum kamu lihat atau dengar terjadi lagi.” Mpuh Jeba—tetua desa yang juga pernah mengawal Mpuh Ago menjelaskan.
“Namun, percayalah, bahwa adat yang melarang kita untuk menyentuh bukit Ajiwajava mungkin memang dibuat sebagai bentuk penghormatan akan kebebasan alam dalam menentukan hidup kita yang ada di bawahnya. Suatu saat jika ancaman untuk kebebasan ini terganggu, tak ada alasan yang tak bisa membatasi kita untuk membuka kembali adat itu. Terus perhatikan dan pantau bukit Ajiwajava. Jika keyakinan untuk pergi ke atas sana sudah sempurna kau dapati, sila untuk mempersiapkan segalanya dan kembalilah secepatnya.” Nyai Kina, tetua wanita yang paling dihormati di bumi Heradeva kemudian menyambung.
Malam makin sunyi. Suara alam dengan desir angin yang terasa berbeda saat hempasannya masih bermanja dengan sang surya makin terasa. Begitu keindahan dan keelokan bumi Heradeva tampak makin merona, air mata Kara tiba-tiba jatuh membasahi pipinya. Meski masih ragu, mungkin inilah waktu bagi dirinya dan Heradeva untuk menyaksikan langsung kegagahan bukit Ajiwajava. Sungai Giyara sepertinya juga telah membentangi jembatan harapan untuk niat baiknya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di atas sana. Pada permukaan halus dari anyaman daun kelapa yang mulai mengering, Kara membaringkan tubuhnya—memejamkan matanya.
#
Suasananya masih sama. Gubuk yang ia bangun dulu masih tetap terasa hangat. Batang pohon besar di bawahnya menopang kuat tubuh ringkih sekalian gubuk kecilnya itu. Pada dinding kayu yang kini sudah mulai berlumut ria sebab hujan yang terus menyirami, ia mendekatkan matanya pada sebuah lubang kecil tempat sinar sang mentari pagi menerobos masuk. Darinya, hamparan daratan kecil nampak di seberang sana. Matanya kembali basah. Pikirannya kembali terlempar jauh ke dasar ingatan. Memori itu memanggil, membawanya melesat jauh pada cerita pilu selanjutnya.
#
“Kara, Kara! Bangun, bangun!” Zabe, pengawal tingkat atas sekaligus sahabat kecil Kara berteriak sambil menggungcang-guncang tubuh lelahnya.
“Kara, sepertinya sudah tiba saatnya. Mpuh Ago dan para tetua desa sudah menunggu kita di pinggir sungai Giyara.” Gego menambahkan dan berusaha menarik tangan Kara untuk segera sadar. Gego adalah pengawal tingkat atas sama seperti Zabe. Bedanya, ia memiliki tubuh yang lebih besar.
Kara menyadari panggilan itu. Ia kemudian membuka mata, memandang langit, kemudian bangkit dengan hembusan nafas panjangnya. Malam ini ia tidak bermimpi apa-apa, tetapi iya yakin alam telah menyimpan mimpi itu untuk ia wujudkan sendiri—tentang keindahan alam Heradeva dan Ajiwajava yang tak boleh disentuh siapapun. Mereka akhirnya beranjak bangun, memandangi bukit Ajiwajawa dengan tatapan api, kemudian segera bergegas menuju sungai Giyara. Dentuman itu samar-samar kembali terdengar oleh Kara. Dentuman yang persis sama dengan apa yang sudah ia dengar sebelumnya.
“Bumi Heradeva malam ini mengizinkan panglima terbaiknya untuk pergi menjemput musuh itu. Tunjukkan keberanian kalian dan kirimkan pesan kepada seluruh alam bahwa tak seorang pun pantas membuat kerusakan!” Nyai Kina tegas memerintah sesaat setelah Kara, Zabe, dan Gega sampai di muara.
Pemandangan itu kembali Kara lihat. Sebuah cahaya merah merona dari atas bukit Ajiwajava. Kali ini, jumlahnya tidak hanya satu, tetapi muncul berjejer rapi seperti memiliki pola melingkar dan saling menghadap satu sama lain. Di tengah-tengahnya, sebuah cahaya yang lebih kecil namun lebih terang terpancar jelas. Kara tahu bahwa itu adalah api yang terjaga. Seseorang atau sekelompok orang pasti sengaja menjaganya tetap menyala untuk menentang cahaya sang purnama.
“Berangkatlah, Kara! Yakinkan dirimu bahwa tidak ada adat yang sedang kita langgar saat ini. Zabe dan Gego akan menemani perjalananmu hingga sampai di atas bukit sana. Jika yang sedang menyalakan api itu ternyata benar adalah musuh alam, maka habisi saja mereka tanpa ampun. Tinggalkan mayat-mayatnya agar menjadi peringatan bagi musuh-musuh yang lain. Ribuan tahun sudah kita menahan diri untuk tidak menyentuh keagungan Ajiwajava. Sekarang, mari, kita buktikan apa yang sebenarnya terjadi di atas sana!” Mpuh Ago meyakinkan Kara dan dua temannya sambil lalu mendekat. Ia kemudian menyerahkan tumpukan benda kasat mata dan berbau tidak sedap.
“Benda apa ini, wahai Mpuh Ago?” Kara menutupi hidungnya. Demikian Zabe dan Gego yang terlihat sedikit memalingkan wajah dari benda itu.
“Bawa benda ini bersama kalian. Mpuh, Nyai Kina, dan Mpuh Jeba saja yang baru mengetahui keberadaan benda aneh ini. Setip hari sebelum matahari terbit, kami selalu berjalan menyisiri sungai Giyara untuk mengumpulkan benda ini. Bentuknya aneh. Seperti kulit kayu pohon, tetapi ia tak memiliki warna. Ia juga kedap air sehingga saat ia diletakkan di atas tanah, maka tanah itu tidak akan basah sebab tetesan air hujan. Namun, benda ini seperti merusak rasa air di sungai kita dengan bau yang sungguh tidak enak. Jelaslah bahwa ini bukan milik penduduk Heradeva. Beberapa lembar di antaranya juga tertulis seperti pesan yang entah dari mana bahasanya berasal. Bedanya, tulisan ini tak bisa hilang seperti saat kita menghapus ukiran pada batu di rumah-rumah. Kami sepakat bahwa benda ini bisa menjadi ancaman serius untuk kemurnian sungai Giyara.” Jelas Mpuh Ago sambil meletakkan beberapa lembar benda aneh itu dan menjejerkannya di atas tanah.
“Kara, Zabe, dan Gego, pastikan bahwa kalian menemukan benda sejenis ini di atas sana. Jika kemudian kalian mendapati bahwa benda-benda ini adalah milik orang-orang yang akan kalian cari itu, maka cukuplah bukti bahwa mereka adalah musuh yang belum pernah Heradeva hadapi sebelumnya. Berhati-hatilah!” Mpuh Jeba kemudian melanjutkannya; diikuti dengan anggukan tanda paham dari ketiga pemuda yang sebentar lagi akan memulai misinya itu.
#
Matahari makin meninggi. Sorotan cahaya yang menerobos masuk itu akan makin berkilau dan hangat. Pertanda untuk dirinya agar segera mengeringkan air mata yang sedari tadi membahasahi pipinya, kemudian turun untuk mencari makanan di sekitar. Begitulah hari-harinya ia habiskan untuk sekadar bertahan hidup. Entah sudah berapa ratus malam ia habiskan di tempat ini. Tubuh yang tadinya berisi dan kuat penuh tenaga, sekarang telah menjadi kurus ringkih seperti tak lagi memiliki tenaga untuk sekadar berlari. Masih membekas di kaki kirinya luka dari lesatan benda mungil panas yang waktu itu ia dapati dan membuatnya jatuh ke dalam jurang penuh semak belukar. Untungnya, ia berhasil bertahan dan menyimpan benda mungil itu yang menjadi sangat dingin saat malam membekukan mimpi.
#
“Berangkatlah, Kara, Zabe, dan Gego! Kami akan senantiasa setia menunggu kalian di sini. Pulanglah ketika informasi itu sudah kalian dapatkan. Pastikan tidak ada yang tertinggal dalam misi. Kalian berangkat bertiga, maka kembalilah semuanya dengan kabar kemenangan itu!” Mpuh Ago memeluk mereka bertiga; diikuti Nyai Kina dan Mpuh Jeba.
Langit mulai pudar membiru—pertanda tak lama lagi sang mentari akan membangunkan penduduk Heradeva. Rakitan beberapa potongan bambu dengan tiga dayung dan satu tongkat panjang sudah menanti mereka di pinggir sungai Giyara. Tumpukan makanan dalam kantong besar yang mengembung sepertinya juga sudah Nyai Kina siapkan di atas rakit itu. Mereka membuka tali penambat yang terikat pada pohon besar di pinggir sungai, mulai mendayung, dan perlahan menjauh dari bibir sungai. Setiap dayungan mendorong mereka ke seberang, embun perlahan mulai menghalangi pandangan mereka atas indahnya bumi Heradeva. Mpuh Ago, Nyai Kina, dan Mpuh Jeba juga perlahan menghilang setelah bayangan kegagahan mereka mulai terkikis oleh tebalnya kabut dan jauhnya pandangan.
Gemericik air sesekali menghibur mereka pada tegangnya perjalanan. Sudah lebih dari setengah jarak lebar sungai mereka arungi. Arus yang tenang dan pantulan cahaya dari mentari pagi kian terasa hangat. Kara, Zabe, dan Gego akhirnya sampai di tepian. Mereka bergegas menambatkan rakit dan mengikat tali ke batang pohon terdekat. Pandangan mereka langsung tertuju pada puncak bukit yang terlampau gagah daripada yang mereka bayangi selama ini. Pemandangan hijau dari pagar pepohonan yang menyambut mereka sama persis dengan apa yang ada di desa Heradeva. Sesaat setelah mereka berjalan beberapa langkah, mereka kembali dibuat takjub dengan air yang jatuh dari ketinggian dengan derasnya. Ini kali pertama mereka melihat pemandangan seperti itu.
“Kara! Gego! Kemarilah dan lihat ini!” Zabe memanggil dan buru-buru mengeluarkan titipan benda dari para tetua desa.
“Lihat, benda yang sama yang kita bawa dari desa!” Zabe melanjutkan setelah mereka tiba.
“Mereka pasti di sini!” Kara mengeluarkan busurnya dan mengambil sebuah anak panah; diikuti oleh Gego dengan kapak besarnya dan Zabe dengan dua bilah pedangnya.
Sambil mengendap dan berjalan hati-hati, mereka menyusuri jalan setapak yang nampaknya memang sudah menjadi jalan tetap oleh sekawanan musuh yang berdiam diri di sini. Suasana pagi yang masih kental akan hawa dingin tiba-tiba menjadi tegang dengan desik angin pelan yang bercampur aduk bersama detak jantung mereka. Setiap langkah kaki hampir tak terdengar sama-sekali. Formasi saling membelakangi dan membentuk segitiga yang menjadi andalan mereka selama berpatroli di desa kini mereka bawa ke medan yang baru.
“Berhenti!” Kara tiba-tiba memerintah.
“Lihatlah ke depan!” Kara melanjutkan dengan mata yang tiba-tiba menatap seakan tak percaya.
“Astaga! Kenapa?” Zabe tidak melanjutkan kata-katanya, sedang Gego hanya bisa mendatangi apa yang dipandang Kara dalam-dalam.
Di hadapan mereka, hampir tak terhitung berapa ratus pohon besar yang tinggal dahan dasarnya saja. Itu bukan bekas sambaran sang petir atau hempasan kuat sang angin seperti yang mereka jumpai di desa Heradeva. Seperti ada sesuatu yang sangat besar sudah ditebaskan kepada pohon-pohon itu. Permukaan bekas tebasan itu licin, halus, dan hampir rata. Hal yang sama juga mereka jumpai pada beberapa dahan berukuran sedang yang tersusun sangat rapi. Bayang-bayang musuh yang mungkin puluhan kali lipat lebih besar daripada mereka mulai menghantui.
“Sepertinya musuh-musuh yang harus kita hadapi tidak mudah. Pastikan untuk memulai serangan begitu musuh-musuh itu nampak dan jangan sampai ada celah!” Kara berbisik pelan—diikuti dengan anggukan dan sikap siaga dari Zabe dan Gego.
Mereka mengubah arah, memanjat gundukan tanah dan pepohonan menuju tempat yang lebih tinggi. Tak berselang lama, Kara akhirnya melihat mereka. Tak sama. Benar-benar berbeda. Mereka bertubuh lebih besar, berbulu, dan sepertinya sedang bernyanyi dan bercengkrama ria. Kara mengalihkan fokusnya kepada kobaran api di tengah-tengah mereka. Seperti sedang memanggang sesuatu di atasnya. Zabe kemudian memberikan sinyal itu. Gego mengangguk pelan. Kara mengerti maksud mereka berdua. Formasi itu, api yang berada di tengah-tengah dari beberapa lampu remang mirip sekali dengan yang mereka lihat dari desa.
“Habisi!” Kara mengguman pelan.
Zabe melompat dari dahan tinggi dan langsung menusukkan dua bilah pedangnya kepada pundak salah-satu musuhnya itu. Panik dan teriakan dengan bahasa yang tidak sama-sekali mereka mengerti kemudian bergema di udara. Gego datang dengan kapak besarnya dan menghantam siapa saja yang hendak melarikan diri. Kara, dengan bidikan panahnya yang tak pernah meleset, melesatkan anak panah tajamnya tepat pada setiap kepala dari musuh-musuhnya itu. Musuh silih berganti tumbang. Tak ada perlawanan. Mereka hanya berteriak dan lari seperti memang tak ada hasrat atau ambisi untuk bertarung.
Dor!
Zabe tumbang. Darah mengalir deras dari pundaknya. Kara yang melihatnya terkejut. Siapa musuh yang menyentuh Zabe sedang tak seorang pun ada di sana.
Dor!
Gego berteriak kesakitan. Ia mencoba mengayunkan kapan besarnya ke sembarang arah. Tak ada musuh yang datang. Kara yang melihat kejadian itu dari atas batu besar di belakangnya makin panik. Ia kemudian menaiki sebuah pohon besar untuk mengambil pandangan yang lebih tinggi.
Dor!
Gego akhirnya tumbang dan tak bisa bergerak. Kara makin panik dengan suara ledakan yang belum juga ia temui sumbernya. Sesaat sebelum melompat dan menghampiri Zabe dan Gego, segerombolan musuh datang dan mengurungi Gego dengan jaring dari rantai besi. Mereka bukan musuh yang sudah dihabisi sebelumnya. Meski mirip, mereka seperti berpakaian seirama dan memiliki sesuatu yang panjang dan berlubang di ujungnya. Mereka berjalan dengan posisi siaga yang hampir sama. Kara membatalkan rencananya untuk menghampiri dua temannya yang sudah tergeletak tak berdaya itu. Matanya tiba-tiba sembab dengan deru nafas yang mulai tak teratur.
“Biadab!” Kara kembali membidik, kali ini dengan tiga anak panah sekaligus. Amarah yang tak lagi bisa ia bendung kemudian menarik busur dan mendorong bilah tajam anak panah itu, membelah udara dingin, melesat dengan kecepatan tinggi, dan menancap tepat pada masing-masing tubuh musuhnya itu.
Dor!
Kara tak sempat menghindar sempurna, Kaki kirinya tiba-tiba seperti mati rasa setelah rasa sakit luar biasa itu menghantam tulang betisnya. Ia jatuh di antara dahan-dahan pohon, membentur bebatuan, dan berakhir di sebuah dasar jurang yang basah nan gelap gulita.
#
Gubuk itu masih kokoh di atas tanah kenangannya. Ia kembali datang setelah beberapa buah segar di genggamannya berhasil dibawa. Sebelum kembali membuka pintu dan kembali meratapi ingatannya, ia menyalin informasi tulisan pada kulit pisang yang sepertinya akan kering lagi. Ia ingin menyimpan informasi ini sebelum benar-benar kembali ke seberang sana. Sayangnya, informasinya tak kunjung lengkap sebab ia sebetulnya tak mengerti apa yang ia tulis. Ia hanya menjiplak tulisan satu-per-satu dari sebuah benda besar yang setiap beberapa kali interval waktu mendatangi lokasinya. Benda itu seperti berjalan tanpa kaki, hanya ada empat bulatan besar yang menggelinding dengan mulus.
Sesaat sebelum kembali menutup rapat pintu gubuknya itu, ia dikejutkan dengan sebuah penampakan yang ada di hadapannya. Makhluk itu persis mirip dengan yang dilihatnya waktu pertarungan itu. Musuh-musuhnya kini ada di hadapannya; hanya sendiri, hanya sendiri. Namun, naluri menyerangnya sudah ia simpan baik-baik. Ia tau bahwa di belakang makhluk itu pasti ada musuh-musuhnya yang lain. Mereka pasti menunggunya untuk beraksi kemudian membunuhnya tanpa ampun.
Makhluk itu berbicara, seperti sedang menyapanya tetapi dengan bahasa yang tetap tidak ia mengerti. Saat kulit pisang yang baru ditulisnya itu terlihat, makhluk itu seperti memintanya. Ia berpikir bahwa ini adalah kesempatannya untuk mendengarkan langsung apa sebenarnya informasi yang ada di sana. Setelah membaca pelan dengan mengerutkan wajahnya, makhluk itu memanggil temannya dan memperlihatkan apa yang baru saja ia temui.
Ia mengulangi perlahan apa yang diucapkan oleh kedua makhluk itu. Ia hanya bisa menebak bagian mana yang diucapkan dari obrolan mereka. Samar-samar, informasi itu mulai berhasil ia raba dalam ingatan lalu ia rajut dengan sempurna. Setelah memastikan bahwa itulah informasi yang benar. Ia langsung berteriak dan menyerang kedua makhluk itu; mencabik-cabik apa saja yang ada pada mereka, menggigit apa saja yang bisa ia gigit, lalu berlari pergi setelah rasa takut dan tangisan ia rasakan dari keduanya.
Benda besar itu di sana. Ia memandangi sebentar dan memastikan tulisan di kulit pisang itu sudah benar sama dengan yang ada di depan benda itu. Kali ini, makhluk-makhluk itu sepertinya tidak lagi membawa senjata atau jaring. Mereka hanya menggunakan tongkat untuk menakut-nakutinya dan berusaha menahan jarak antara dirinya dan mereka. Meski bingung, tubuh ringkihnya kemudian membawanya untuk berlari secepat mungkin menuju arah sungai. Tangisan itu kembali pecah, dalam larinya ia tak pernah berpikir bagaimana tetua di seberang sana sudah terlampau lama menunggu.
“Zabe, Gego, saya akan segera kembali! Tunggulah!”
Ia menambah daya cepat larinya itu berkali-kali lipat. Terjatuh, bangkit, tersandung, bangkit, terperosok, kemudian bangkit kembali. Ia sudah menanti lama untuk hal ini. Ia ingin segera berjumpa denga penduduk di seberang sana. Meski sebetulnya ia tidak yakin, sebab pemandangan setiap hari dari lubang kecil di gubuknya itu tak lagi sama. Pepohonan di sana sepertinya sudah disihir sehingga tak lagi berwarna hijau. Bentuknya pun, saat terakhir kali ia lihat, sudah tak lagi seperti pepohonan yang ia ketahui; kotak dan seperti bersemai warna putih pucat saat siang, dan memancarkan cahaya remang sama persis seperti di atas bukit Ajiwajava saat malam tiba.
Ia terus berlari sambil menggali dalam-dalam hatinya untuk menanam dendam dan murka. Ia bersumpah untuk Ajiwajava, Giyara, Heradeva, Zabe, juga Gego untuk kembali setelah tugasnya ini selesai. Ia menambatkan permohonan pada alam untuk memberikan kesempatan agar ia tetap hidup agar bisa membalaskan kejadian malam itu tanpa ampun. Ia tidak tahu apakah dengan itu semua akan kembali. Yang pasti, makhluk-makhluk biadab itulah yang selama ini mengancam hidupnya dan alam tempat tinggalnya. Mereka membabat habis pepohonan dan mencemari air dengan benda-benda aneh itu. Ia terus berlari. Sesekali bergumam pelan dengan ucapan kedua makhluk itu yang masih diingatnya.
Kebun manusia.. kebun manusia.. kebun manusia..