
Pada hakikatnya, siapa saja yang lahir dan tumbuh di atas bumi nusantara mutlak memiliki satu kesempatan yang sama untuk mencintai Indonesia. Tanpa pilah dan pilih—tanpa ada yang terkecuali-kan. Setiap pribadi yang lahir dari kekuatan cinta ibu pertiwi, selamanya ia adalah bagian utuh dari NKRI. Entah siapa namanya, apa suku-bahasa-agamanya, dan di mana tempat tinggalnya.
Tahun 2023 lalu, saya memberanikan diri untuk maju pada ajang Pemilihan Duta Bahasa Tingkat Provinsi DKI Jakarta—sebuah pentas pencarian muda-mudi yang cinta lagi pandai berbahasa. Ceritanya, saya pun berhasil lolos ke babak final untuk kemudian bersaing dengan 29 peserta lainnya lewat serangkaian uji kemampuan dan kelayakan. Seperti perlombaan lainnya yang sudah diikuti, saya kira babak final akan selesai dalam satu atau dua hari saja. Ternyata tidak; babak final Pemilihan Duta Bahasa DKI Jakarta Tahun 2023 lalu memakan waktu hingga satu bulan lebih. Lamanya durasi pada babak final tersebut belum seberapa jika dibandingkan dengan babak semifinal dan penyisihan awal yang sudah saya lewati. Akumulasi waktu untuk mencapai panggung di malam puncak memakan waktu sekitar empat bulan lamanya.
Syukur atas buah manis yang berhasil dipetik dari panjangnya proses, posisi terbaik kedua kemudian berhasil saya raih. Sampai sekarang, jika mendapati pertanyaan tentang hal yang membahagiakan setelah melewati proses pemilihan ini, maka saya pasti menjawab dengan cerita mendebarkan saat nama seorang pemuda dari sebuah desa di ujung Pulau Garam sana—yang bahkan tak pernah menyangka bisa berdiri gagah di atas pentas Jakarta—akhirnya menggema dari segala sudut panggung megah itu. Hanya saja, memang bukan ini alasan utama mengapa perjalanan panjang itu sangat mengesankan. Ada cerita menarik lain yang telah mengajarkan saya lebih mendalam tentang arti cinta dan perjuangan yang sesungguhnya.
Inovasi untuk UKBI, Cinta untuk Semua

Pada tahap final, saya diharuskan untuk membuat dan menjalankan sebuah program kebahasaan yang inovatif dan memiliki daya manfaat yang berkelanjutan. Kami biasa menyebutnya dengan krida. Pelaksanaan krida merupakan salah-satu tahap dengan persentase penilaian paling besar selama proses penjurian. Dimulai dengan pembentukan kelompok krida, penyusunan proposal, pemaparan proposal, revisi proposal, pelaksanaan krida, dan berakhir di atas panggung final dengan pemaparan laporan pelaksanaan krida.
Debat panas dengan beragam pendapat tentu tidak bisa dihindari selama masa penyusunan ide krida. Saat itu, saya tergabung ke dalam kelompok Krida 3 bersama lima finalis lainnya. Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia atau UKBI kemudian menjadi tema besar pada krida yang akan kami laksanakan. Meski beragam pemikiran dari masing-masing ambisi untuk menjadi yang terbaik saling tabrak-menabrak, pada akhirnya memori indah lagi menakjubkan itu muncul. Kami sepakat bahwa bahasa Indonesia harus memiliki daya pikat cintanya untuk semua orang—tanpa terkecuali. Akhirnya, melalui UKBI untuk Difabel, perjalanan cinta untuk Indonesia yang lebih inklusif resmi dimulai.
UKBI untuk Difabel adalah program pemodelan ulang tes kemahiran berbahasa yang sebelumnya sudah dikembangkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek RI (sekarang Kemendikdasmen RI). UKBI sendiri sudah resmi diuji-cobakan sejak tahun 2006 silam melalui beragam bentuk dan media. Setidaknya, UKBI Adaptif Merdeka (pemodelan ulang mekanisme uji oleh Badan Bahasa sejak tahun 2021) memiliki satu fungsi dasar untuk meningkatkan kualitas bahasa Indonesia melalui serangkaian uji kemahiran bagi para penuturnya. Hanya saja, tahun 2023 tersebut kami menyadari bahwa UKBI Adaptif Merdeka belum bisa diujikan kepada mereka yang memiliki keterbatasan sensorik. Penutur jati dengan kemampuan berbahasa yang normal tentu bisa leluasa merasakan martabat hebat bahasa Indonesia. Namun, bagaimana dengan mereka yang memiliki karunia kekurangan; pada indra pendengaran misalnya?
Ide pelaksanaan UKBI untuk Difabel muncul sebab kesadaran hati kami akan hal tersebut; di samping peluang kebaharuan pada program yang menjadi keunggulannya. Saat itu, kami menyadari bahwa UKBI Adaptif Merdeka dengan modelnya yang sudah ada ternyata belum memiliki versi yang ramah disabilitas. Sebagai bagian dari fasilitas publik sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2016, maka UKBI harusnya juga sudah menjangkau semua orang tanpa terkecuali. Berkaca pada TOEFL atau IELTS misalnya, keduanya sudah memiliki mekanisme tersendiri untuk diujikan kepada para penyandang disabilitas. Terakhir, Pasal 28H Ayat 2 UUD 1945 tentang penyetaraan dan pemenuhan hak atas kesempatan dan manfaat yang sama juga menjadi landasan dari hadirnya UKBI untuk Difabel.
Menyisir Senyuman, Menebar Kebahagiaan

Saat itu, kami memilih SLB Negeri 5 Jakarta dan SLB B Pangudi Luhur sebagai mitra pelaksana krida. UKBI untuk Difabel dimulai dengan observasi lapangan ke dua target sekolah luar biasa tersebut. Pada kesempatan ini, rasa haru dan takjub tak bisa kami bendung dari lensa mata masing-masing anggota krida. Saya, yang waktu itu baru pertama kali berinteraksi langsung dengan teman-teman difabel, lantas terkesima setelah melihat semangat mereka dalam belajar. Ketukan pelan dalam hati selalu mencegah bibir untuk mengucap banyak kata—mengalihkan fokus pikiran untuk tetap dan terus merenungi keadaan diri pribadi.
“Selama ini, pantaskan saya selalu merasa kurang atas segala hal? Pantaskah saya bermalas-malasan untuk sekadar membuka selembar buku kemudian mulai membaca? Pantaskah saya selalu menghardik keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan semata?”
Senyum indah ketika disapa, anggukan mengerti sesaat setelah memperhatikan, lari-lari kecil dengan riang gembira bersama teman yang mungkin tak lagi sebaya, serta ramainya kelas saat jam pelajaran tiba membuka mata hati dan kesadaran jiwa kami bahwa ternyata dunia akan selalu indah untuk siapa saja. Pada titik ini, tekad untuk menyukseskan setiap detik pelaksanaan krida tentu semakin bulat dan keras. Ternyata, keputusan kami untuk melaksanakan krida begitu tinggi nilainya. Bukan untuk kami semata, tetapi untuk mereka; untuk senyumannya, untuk semangatnya, untuk masa depannya, dan untuk Indonesia yang dicintainya.
Setelah semangat itu terbakar dan membara, kami melanjutkan langkah-langkah berikutnya dengan kepalan tangan penuh gelora. Mulai dari menyusun model tes menyimak bagi teman-teman difabel rungu, membuat mekanisme permainan edukatif, mengotak-atik lembar demi lembar kerangka acuan kegiatan, memetakan kebutuhan dengan anggaran yang sudah ditentukan, menghubungi mitra media untuk publikasi dan laporan, lalu memantapkan strategi untuk kemudian benar-benar terjun ke lapangan.
UKBI untuk Difabel pada akhirnya terlaksana dan tuntas dengan sangat baik. Mudahnya, krida yang kami laksanakan adalah alih wahana UKBI pada sesi tes mendengarkan menjadi tes menyimak video bahasa isyarat. Di sekolah tempat pelaksanaan krida, kami banyak mendapatkan bantuan dari guru-guru hebat yang dengan sabar dan gigih menghadirkan bahasa isyarat bantu untuk kami dalam setiap penyampaian materi ajar dan uji coba program. Pada hari pertama di setiap sekolah, kami mengenalkan beberapa kaidah kebahasaan yang biasanya menjadi materi tes pada UKBI Adaptif Merdeka. Hari kedua, kami melanjutkan pengenalan krida sekaligus pengambilan data dari tes yang mereka ikuti. Pada hari kedua tersebut pula, kami juga memberikan apresiasi kepada pihak sekolah; kemudian beberapa siswa/i yang berhasil memperoleh hasil tes sesuai rentan nilai yang ditargetkan.
Ambisi awal untuk menjadi tim terbaik sekaligus dorongan dari semangat teman-teman difabel dalam mengikuti rangkaian kegiatan ini membuat kami memanjangkan usaha kesuksesan krida. Pada dua minggu terakhir pelaksanaan krida, kami membuka mata publik melalui media sosial Instagram dengan melaksanakan program berbagi cerita bersama pihak-pihak terkait. Saat itu, kami mengenalkan UKBI Adaptif Merdeka secara umum bersama Ikatan Duta Bahasa DKI Jakarta pada hari pertama; Advokasi Hak atas Informasi dan Pendidikan Ramah Difabel bersama Yayasan Dwituna Rawinala pada hari kedua; lalu Perwujudan Impian Program Pemberdayaan Difabel bersama Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta pada hari ketiga.
Perayaan Cinta Tulus untuk Indonesia yang Inklusif

Layaknya senja yang mengukir cahaya emasnya di ujung cakrawala setelah sang mentari menebar kehangatan pada semesta, UKBI untuk Difabel akhirnya sampai pada tahap akhir yang ditunggu-tunggu. Laporan pelaksanaan krida dilaksanakan langsung di atas panggung kehormatan. Gugup yang teraduk rata dengan rasa lega, bangga, dan bahagia membuat kami melangkahkan kaki dengan mantap; menatap mata para juri, pengurus ikatan, serta para anggota dari empat kelompok krida lainnya. Setengah jam berdiri dan saling sokong dengan menjawab setiap pertanyaan dari juri ternyata berlalu begitu cepat.
Perjuangan panjang penuh makna bersama teman-teman difabel ini pada akhirnya membuat Krida UKBI untuk Difabel bertengger di posisi puncak sebagai krida pilihan dan terbaik tahun 2023. Selain uji lapangan yang dinilai berhasil dengan rangkap bukti kekuatan krida pada kuantitas dan kualitas para pesertanya, tiga dari enam anggota krida juga berhasil meraih predikat sebagai Duta Bahasa DKI Jakarta Terbaik tahun 2023 (Terbaik II Putra, Terbaik II Putri, dan Terbaik III Putra). Selanjutnya, UKBI untuk Difabel kemudian resmi maju ke tingkat nasional untuk mengawal DKI Jakarta dalam ajang lanjutan tersebut. Lagi-lagi, dengan bangga dan bahagia, UKBI untuk Difabel berhasil membawa tim DKI Jakarta menundukkan perlawanan provinsi lainnya dan menyabet predikat Terbaik I Duta Bahasa Nasional tahun 2023.
Kami kira—saya terutama dan tentunya—keberhasilan ini bukan semata-mata kami capai karena ambisi yang sedari awal melambung tinggi. Akan tetapi, ketulusan dari setiap satu jejak yang kami langkahkan melahirkan rasa cinta yang teramat untuk Indonesia yang inklusif. Jika diizinkan untuk sekali lagi melipat kertas menjadi pesawat dengan coretan pesan sebelum diterbangkan ke langit biru masa depan, kami akan memastikan bahwa pesan yang tertulis di sana tidak luput dari permintaan kepada siapa saja untuk melibatkan teman-teman difabel pada setiap inci gerak kehidupan. Mereka punya dinamika hidup yang sama-sekali tidak berbeda; mereka kuat, mereka tangguh, mereka ada dengan mimpinya masing-masing.
Referensi tulisan:
UKBI untuk Difabel dalam dokumenter (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7) | Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI (1, 2) | UKBI untuk Difabel di Instagram (1)