Tentang Kopi dan Alkohol, Suara Ibu dan Radio Rusak serta Adzan dan Gonggongan Anjing

Photo by Pixabay from Pexels

~ Adzan dan Gonggongan Anjing ~

Pernyataan Menteri Agama kala itu pada dasarnya ingin merepresentasikan kehidupan sosial Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada Bhineka Tunggal Ika. Semboyan pada lambang Garuda Pancasila ini adalah wujud dari satu-kesatuan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda – baik suku, bahasa, budaya serta agama. Keharmonisan hidup yang berdiri tegak di atas banyak perbedaan adalah kekuatan hebat tersendiri untuk Indonesia, di mana masyarakatnya hidup berdampingan, saling menghargai perbedaan dan menghormati hak setiap orang.

Kementrian Agama RI juga tidak hanya berdiri pada satu komunitas agama saja (Islam), melainkan beberapa agama resmi yang ada dan diakui di Indonesia (Kristen, Katholik, Hindu dan Budha). Dalam hal ini, prioritas kerja, visi serta misi tentu secara mutlak tidak hanya diperuntukkan untuk satu golongan/komunitas agama saja. Membuat peraturan demikian, pembatasan kegiatan serta hal-hal lain mengenai tata kehidupan beragama adalah tugas mereka yang berada pada jabatan dengan haknya masing-masing.

Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sudah terbit pada 18 Februari yang lalu. Ada aturan penggunaan pengeras suara masjid/musala luar dan dalam; termasuk waktu penggunaan, batas waktu, ketentuan pada hari-hari besar, volume maksimal, kriteria suara dan lain-lain. Ada baiknya, anda membaca poin-poin lengkapnya pada surat edaran tersebut di sini terlebih dahulu.

Pro dan kontra muncul; entah mengenai peraturan baru tersebut hingga dengan pernyataan dari Menteri Agama RI baru-baru ini yang menuai banyak kontroversi. Sebagai negara demokrasi yang menjamin masyarakatnya untuk mengeluarkan pendapat; mari bersuara.

Menganalogikan itu Bebas, namun Akal Sehat, Etika dan Caranya Harus Tetap Diperhatikan

Pada suatu malam, dua orang pemuda tertangkap di tempat yang berdekatan. Pemuda pertama terbukti meminum alkohol dan mabuk dengan obat-obatan terlarang; sedangkan pemuda kedua sedang meminum secangkir kopi hangat yang ia beli dari sebuah warung. Tanpa basa-basi, petugas yang mendapati keduanya langsung mengamankan mereka atas tuduhan telah memakai obat-obatan terlarang (narkoba). Sang petugas menganggap keduanya sama saja; tanpa mengindahkan bukti dan kenyataan yang ada.

Bagaimana tanggapan anda tentang sikap nonkooperatif petugas ini?

Di sebuah rumah, seorang anak berdesis pelan dengan mengatakan bahwa suara ibunya yang seringkali mengomel mirip radio rusak yang tak perlu ia dengarkan; di tempat lain, sang ibu yang secara langsung mendengarkan perkataan anaknya – kemudian marah dan menganggap bahwa anaknya adalah seorang yang tidak beradab.

Bagaimana tanggapan anda tentang perilaku anak ini?

Beberapa saat yang lalu, seseorang dengan pangkat dan pendidikan tinggi menganalogikan suara panggilan kebaikan dengan suara seekor hewan. Jelasnya, suara panggilan kebaikan tersebut adalah adzan – yang mengandung lafadz suci takbir, syahadatain, dakwah dan tahlil; sedang suara seekor hewan tadi adalah gonggongan anjing.

Sekarang, bagaimana anda menanggapinya?

Dalam adzan yang dikumandangkan, terdapat kalimat takbir tentang pengakuan diri dan jiwa akan kebesaran Tuhan yang Maha Esa, Tuhan semesta alam, Pencipta segala bentuk dan rupa kehidupan – Allah subhanahu wa ta’alaa. Syahadatain merupakan dua kalimat kesaksian tentang pengakuan keesaan Tuhan – bahwa tiada Tuhan selain Ia; serta pengakuan dan kesaksian bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya. Kemudian, ada dua panggilan indah untuk berhenti sejenak dari kesibukan dunia, mengingat setiap dosa, memohon ampunan dan meminta petunjuk akan lurus dan terangnya jalan, lalu bersama mengharap untuk meraih kemenangan. Terakhir, kalimat tahlil yang menjadi kalimat pengakuan (kembali) bahwa tidak ada tuhan selain Allah subhanahu wa ta’alaa.

Melihat pada Fakta yang Ada

Dalam Islam, anjing termasuk binatang yang haram hukumnya untuk menjadi hidangan karena memiliki salah-satu ciri haram; yaitu buas dan bertaring. Selain hal tersebut, lebih dulu, adalah anjing juga termasuk dalam kategori najis mughalladloh; di mana seseorang yang menyentuhnya, harus menyucikan bagian tubuh yang tersentuh dengan menghilangkan tiga unsur najis (bau, rupa dan rasa), kemudian mengakhirinya dengan menyiramkan air mutlak sebanyak tujuh kali (dan menyertai salah-satunya (awal/akhir) dengan debu/tanah). Najis mughalladloh adalah najis paling berat (dari tiga tingkatan najis) pada bab thaharah atau bersuci dalam ilmu Fiqih.

Seindah dan sesuci kalimat yang berkumandang 5 kali dalam sehari ini; seseorang dengan entengnya menganalogikannya dengan gonggongan seekor anjing?

Pada Kamis, 24 Februari kemarin, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag, Thobib Al Asyhar memberikan klarifikasi bahwa Menteri Agama bukan membandingkan lantunan suara adzan dengan gonggongan anjing; melainkan memberikan contoh bagaimana pengaturan tentang kebisingan pengeras suara. Menurutnya, konteks dalam pernyataan Menteri Agama tersebut – sekali lagi – bukan mengarah pada pembanding-bandingan antara lantunan suara adzan dan gonggongan anjing, namun lebih kepada memberikan contoh bagaimana jika ada sebuah minoritas muslim yang berada di tengah-tengah para tetangga yang memelihara anjing dan menggonggong secara bersamaan; tentu akan sangat mengganggu jika tidak ada toleransi.

Fakta lainnya, peraturan penggunaan pengeras suara di masjid/musala tidak hanya berlaku di Indonesia. Bahkan beberapa negara muslim lainnya; seperti Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, India serta Malaysia juga telah menerapkan peraturan seperti ini (tentu dengan ketentuan-ketentuan lebih lanjut yang berbeda-beda). Baca selengkapnya di sini.

Kemudian, Bagaimana Bijaknya untuk Menanggapi Hal Ini?

Entah bagaimana seharusnya Menteri Agama menyampaikan pendapatnya kemarin, banyak kalangan yang menanggapi pernyataan tersebut dengan negatif. Banyak yang menilai, bahwa pernyataan tersebut sangat tidak pantas untuk dikeluarkan oleh seorang menteri, apalagi beliau merupakan seorang muslim. Pro dan kontra pun bertebaran, dan penulis masuk ke dalam bagian dari mereka yang menyatakan kontra.

Sejatinya, peraturan ini muncul tanpa sebab yang kuat di depan wajah publik. Bahkan sebelumnya, tidak ada kontroversi atau semacam protes keras dari mereka yang non muslim dan muncul ke hadapan publik. Tiba-tiba saja, pengeras suara menjadi pembahasan penting yang harus mendapat tindak-lanjut secara sigap dan cepat. Di mata publik, umumnya, hal ini malah mendapat pandangan buruk bahwa Kementerian Agama RI seakan tidak memiliki pekerjaan atau tugas lain. Kementerian Agama malah sibuk dengan satu hal yang bukan menjadi masalah serius pada kebanyakan daerah. Bahkan di postingan-postingan tentang pernyataan Menteri Agama yang tersebar di media sosial, banyak komentar dari saudara-saudari non muslim yang mengaku tidak terganggu sama-sekali dengan lantunan suara adzan yang berkumandang 5 kali dalam sehari ini.

Selanjutnya, apapun maksud dari pernyataan Menteri Agama yang viral saat ini; masyarakat tetap menganggap bahwa pernyataan yang keluar adalah pernyataan yang membandingkan lantunan adzan yang suci dengan gonggongan seekor anjing. Dalam pernyataan tersebut, ada kata “misal” yang menekankan bahwa Menteri Agama sedang membandingkan kedua suara tersebut.

Kembali ke analogi pada awal tulisan; bahwa seorang petugas tidak bisa dengan seenaknya menganalogikan kedua pemuda adalah sama-sama berbuat jahat (meminum obat-obatan terlarang) hanya karena mereka sedang berdekatan. Si petugas ini seharusnya menerima kenyataan bahwa bersama tak selamanya saling terkait, ia harus melihat bukti dengan jelas – kemudian mengambil keputusan yang adil seadil-adilnya berdasarkan fakta. Sang anak pun, sangat tidak pantas menyebut suara ibunya yang sering mengomel mirip dengan video rusak, karena hal tersebut adalah kebaikan untuk dirinya. Sang anak seharusnya sadar dan melihat dari sudut pandang lain untuk apa ibunya mengomel.

Seorang menteri seharusnya dapat (minimal) melakukan beberapa hal tersebut sebelum mengeluarkan pernyataan; melihat fakta, mengecek bukti yang ada, mengambil keputusan yang sesuai, sadar akan situasi dan kondisi serta bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Fakta Lain

Dalam sebuah hadits;

“Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Maka apabila adzan selesai dikumandangkan, ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqamah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya” ~ HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389)

Jika banyak non muslim yang menyatakan tidak terganggu walaupun tempat tinggalnya bersebelahan dengan masjid; lantas siapa yang merasa terganggu, seperti dalam pernyataan Menteri Agama? Hal ini perlu menjadi catatan.

Sumber

Wikipedia | Kemenag.go.id | RadarBangsa | Suara.com | TribunNews | Muslim.or.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas
error: Tindakan copy-paste tidak diizinkan!